"Maaf!" kata Bhorrin dari seberang telepon.
"Nggak cukup hanya kata maaf Rin! Ini sudah yang ke berapakali kamu mengingkari janjimu hanya karena game. Aku bosan Rin! Lebih baik kita putus saja, daripada kita akan terus saling menyakiti!" sahut Zee tersendat menahan tangis.
Bhorrin terhenyak saat mendengar sambungan telepon di putus sepihak. Dia merasa sangat bersalah pada Zee tapi nggak mampu menahan hasratnya untuk menerima tantangan sesama gamer. Perlahan dia menutup matanya yang terasa perih, Zee nggak tahu dia menjadi gamer bukan sekedar menyalurkan hobby tapi juga mencari uang untuk membayar kuliahnya, karenanya dia seringkali lupa menepati janji bahkan membatalkan janji dengan Zee.
***
Zee membanting pintu kamarnya sekuat tenaga, getarannya terasa sampai ke kamar Judah adiknya. Judah yang merasa terganggu menghampiri Zee di kamarnya.
"Ngapain sih lo Zee? Kayak orang kesetanan tahu!" sentak Judah kesal.
"Diem lo anak kecil! Lo tuh sama aja dengan Bhorrin, kalau udah ngegame lupa segalanya!" Zee menjawab dengan kesal.
"Jiah, kenapa gue? Dengar Zee kadang hidup jangan terlalu serius lah! Sesekali lo perlu juga ngegame biar gag butek otak lo!" seru Judah sambil menyeringai.
"Bodo ah! Pergi sana gue mau tidur!" kata Zee mengusir Judah.
***
Entah berapa lama Zee tertidur, dia terbangun karena merasa silau dan panas menyegat kulitnya. Zee terkejut karena terbangun di tengah padang pasir yang sepi, sementara matahari sudah meninggi. Tenggorokannya terasa kering, Zee menggapai ke sebelah kanannya yang selalu tersedia segelas air. Tapi bukan gelas yang di dapatinya melainkan botol dati kuningan dengan tutup seperti sumbat kamar mandi.