Hujan turun deras dari lepas subuh hingga sekarang tanpa jeda. Langit terasa muram, jam masih menunjukkan pukul dua siang tapi suasananya persis dengan suasana petang. Jarang sekali terlihat lalu lalang manusia di depan rumah kontrakanku, mungkin karena hujan jadi mereka malas keluar rumah kalau bukan ada keperluan mendesak.
Tok Tok Tok.
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Saat pintu kubuka, sekotak pizza hangat yang mengeluarkan aroma harum menggoda seleraku. Apalagi saat lapar seperti ini, tapi aku tak merasa menelpon restoran pizza untuk memesannya, jadi ini untuk siapa? " Dari mbak Tyas buat mas Raga!" pengantar pizza menjelaskan.
Kubawa kotak pizza ke depan jendela yang menghadap jalan. Dari balik jendela kulihat seorang perempuan muda yang berdiri di tengah hujan. Perempuan itu lagi, batinku. Kuraih ponselku dan mulai memencet nomer Tyas, seorang teman yang kukenal dari peristiwa salah sambung yang menggelikan. Tyas tiga bulan yang lalu, bahkan aku belum pernah bertemu dengannya, tapi dia begitu baik denganku. Berkali-kali dia mengirimkan sesuatu untukku sepertinya dia tahu saat-saat dompetku menipis.
"Hallo!" suara Tyas terdengar setelah nada sambung ke empat. "Tengkyu ya sist! Kamu baik banget ma aku, padahal kita belum pernah bertemu. Aku jadi malu." kataku menjawab sapaannya, suaranya yang selalu bergetar seakan kedinginan.
"Biasa aja kali Ga! Kamu juga baik, mau dengerin curhatanku. Padahal orangtuaku saja tidak pernah ada waktu untukku. Hari ini kamu pake kaos yang kukirim seminggu yang lalu kan?" sahut Tyas lagi.
"Iya, makasih sekali lagi ya Ty! Kamu selalu baik semoga Tuhan yang membalas semua kebaikanmu!" kataku menutup pembicaraan sore ini.
Tyas selaku menceritakan penderitaan yang dia alami, sebagai anak tunggal seorang pengusaha dia tidak pernah merasakan kasih sayang yang utuh dari kedua orang tuanya. Ibunya meninggal saat dia masih berumur lima tahun, dan ayahnya menyibukkan diri dengan pekerjaannya sampai larut malam. Tyas hanya bertemu ayahnya saat makan pagi yang kaku, ayahnya hanya bertanya bagaimana pelajarannya kemaren dan berapa banyak uang yang dia butuhkan hari ini. Satu-satunya kasih sayang diterimanya dari mbak Asih pembantu rumah tangganya.
Menurut ceritanya dia kuliah di tempat yang sa denganku, tapi aku belum pernah bertemu dengannya. Bodoh sekali aku, setiap di kampus aku selalu lupa dengannya hingga tak terbesit untuk mencarinya. Tapi besok, aku harus mencarinya.
***
"Mbak mbak, mau tanya kenal dengan Valencia Tyas anak psikologi semester empat nggak ya?" tanyaku pada seorang gadis yang kebetulan melintas saat aku memasuki gedung fakultas psikologi. "Tyas? Valencia Tyas? Nggak salah yang dicari Mas? Tyas kan sudah meninggal enam bulan yang lalu?" kata gadis itu. Berkali-kali aku menyanggahnya tapi semua sia-sia. Perdebatan kami berakhir dengan diselipkannya sesobek kertas berisi alamat Tyas ke dalam tanganku.