"Ayolah Dhe ! Atau perlu kujemput kau langsung?" tanya Dona padaku. Kehela nafasku panjang-panjang, dua pertentangan bergejolak dalam hati. Haruskah aku pergi jika kepergianku hanya akan membuka luka lama yang belum sepenuhnya mengering.
***
"Aku jatuh cinta Dhe ! Akhirnya aku bisa jatuh cinta!" seru Bi sahabat sekaligus kakakku dengan mata berbinar. "Diiihhhh!!! Siapa gadis sial itu? Kasihan banget dijatuh cintain cowok bau macem kamu Bi?" ledekku sambil memukul bahunya. "Dona! Anak psikologi juga tapi adik kelasmu." kata Bi lagi.Â
Â
Bi, Elang Binar Senja, laki-laki itu kukenal waktu OSPEK yang memperlakukan mahasiswa baru seperti binatang. Bi, satu-satunya senior yang punya hati, yang tidak merendahkanmahasiswa miskin sepertiku. Kami bersahabat sejak hari terakhir masa OSPEK, saat dia menawarkan tumpangan padaku yang kehabisan angkutan umum dan sudah berjalan hampir dua kilometer jauhnya.
Â
Persahabatan kami bukan persahabatan biasa, dia putra tunggal dokter terkenal di Jakarta Selatan sedang aku hanya anak tukang bakso yang mempunyai kesempatan kuliah di kampus terkenal ini. Bi mengajarkan banyak hal padaku, Bi yang membuatku mencintai musik cadas, Bi yang meracuniku dengan baladanya Iwan Fals dan aku tahu Bi seorang pecandu putaw. Tapi Bi melarangku menyentuh barang haram itu, sekalipun saat-saat sakaw aku ada di sampingnya. Dan Bi jatuh cinta, satu kata luar biasa yang membuatku takjub.Â
Â
Setelah hari itu, Bi mulai menjaga jarak denganku. Pulang dan pergi kuliah kembali aku mengandalkan Kopaja dan angkutan umum. Sesekali Bi menemuiku di kantin saat menunggu Dona selesai jam kuliahnya. Kami berbincang seadanya, dan Bi bercerita dia sudah mulai membersihkan diri dari putaw. Aku senang sekali, sangat senang
 Bagiku, asal Bi bahagia bersama atau tidak denganku itu bukan masalah.
***
Â
Malam itu menunjukkan pukul delapan seperempat, saat bapak menyuruhku pulang duluan. "Nggak usah bantu tutup warung Dhe! Besok saja pagi-pagi temani Emakmu ke pasar. Masih libur kan?" kata Bapak seraya mengusirku. Aku tersenyum, bapakku memang jarang mengijinkan aku nongkrong di warung baksonya. Alasannya biar aku fokus kuliah dan tidak tergoda menjadi SPG seperti pelanggan-pelanggan warung.
Â
Aku mengayuh sepedaku dengan santai, rumahku tak seberapa jauh dari warung. Saat aku menyandarkan sepeda aku melihat ada sesosok tubuh tergeletak di depan pintu. Takut-takut kudekati sosok tersebut, ternyata Bi.
Â
"Dia selingkuh Dhe!" desis Bi saat kurengkuh kepalanya di dadaku. Jantungku berdenyut dengan keras, mulut Bi berbau alkohol, matanya tidak bercahaya, dan ketika ku sibak lengan bajunya aku menemukan titik bekas suntikan baru di kulit Bi. Aku tidak tahu apakah aku harus bahagia karena Bi putus dengan Dona ataukah aku harus sedih karena Bi kembali memakai barang haram itu. Dua jam setelah banyak bicara tentang luka yang dialaminya, Bi.pulang dengan talsi yang kupanggil meninggalkan motornya di rumahku.
Â
Semalaman aku tak bisa tidur, perasaanku tidak enak. Dan paginya, tidak biasanya Emak membangunkanku, di luar ada mas Tejo sopir keluarga Bi menungguku dengan tidak sabar. Tubuhku serasa melayang saat ku dengar dari mulut mas Tejo kalau Bi ditemukan meninggal pagi ini.
***
Di ruang tamu rumah Bi, banyak kolega ayah Bi yang hadir. Ibu Bi membimbingku mendekat ke peti jenasah, aku tidak menangis. Tidak! Aku tidak menangis saat itu, sekalipun aku melihat sayatan lebar di pergelangan tangan Bi aku tidak menangis. Emak sudah berpesan kalau aku tidak boleh mengeluarkan air mata setitikpun di depan jenasah Bi.
Â
Hujan yang turun deras seusai pemakamanlah yang menyelamatkanku. Aku menangis tanpa seorangpun tahu, aku berduka tanpa seorang sadar akan keberadaanku. Dan aku terus berduka meski enam belas tahun sudah berlalu. Setiap hujan datang aku mencumbui kenangan bersama Bi. Persahabatan kami murni, tanpa dinodai asmara.Â
***
"Dhe, kamu masih di situ kan?" suara Dona di telepon menyadarkanku. " Tolonglah Dhe! Aku sudah mencari terapis kemana-mana dan namamu yang selalu disodorkan kepadaku. Hilda anakku didiagnosa streotypic self injury karena kecanduan meth. Dan mereka merekomendasikankamu sebagai konselor dan terapis. Kamu bisa kan Dhe? Demi persahabatan kita di masa lalu!"
Â
Persahabatan? Ku pejamkan mata yang tiba-tiba memerih. " Ya Don! Nanti aku jadwalkan, minggu depan kita bertemu di Center saja ya!" jawabku mengakhiri percakapan kami. Kuletakkan telepon di sandarannya, kulayangkan pandangaku ke arah jendela. Hari ini hujan cukup deras, suara tetesannya bergemuruh, sama seperti perasaanku saat ini. Profesiku yang mempertemukanku dengan masa lalu, semoga aku bisa memaafkan walaupun mustahil melupakan yang pernah terjadi.
Â
#poeds 151016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H