Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[SBB] Bayang Bi

15 Oktober 2016   10:31 Diperbarui: 15 Oktober 2016   10:36 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Malam itu menunjukkan pukul delapan seperempat, saat bapak menyuruhku pulang duluan. "Nggak usah bantu tutup warung Dhe! Besok saja pagi-pagi temani Emakmu ke pasar. Masih libur kan?" kata Bapak seraya mengusirku. Aku tersenyum, bapakku memang jarang mengijinkan aku nongkrong di warung baksonya. Alasannya biar aku fokus kuliah dan tidak tergoda menjadi SPG seperti pelanggan-pelanggan warung.

 

Aku mengayuh sepedaku dengan santai, rumahku tak seberapa jauh dari warung. Saat aku menyandarkan sepeda aku melihat ada sesosok tubuh tergeletak di depan pintu. Takut-takut kudekati sosok tersebut, ternyata Bi.

 

"Dia selingkuh Dhe!" desis Bi saat kurengkuh kepalanya di dadaku. Jantungku berdenyut dengan keras, mulut Bi berbau alkohol, matanya tidak bercahaya, dan ketika ku sibak lengan bajunya aku menemukan titik bekas suntikan baru di kulit Bi. Aku tidak tahu apakah aku harus bahagia karena Bi putus dengan Dona ataukah aku harus sedih karena Bi kembali memakai barang haram itu. Dua jam setelah banyak bicara tentang luka yang dialaminya, Bi.pulang dengan talsi yang kupanggil meninggalkan motornya di rumahku.

 

Semalaman aku tak bisa tidur, perasaanku tidak enak. Dan paginya, tidak biasanya Emak membangunkanku, di luar ada mas Tejo sopir keluarga Bi menungguku dengan tidak sabar. Tubuhku serasa melayang saat ku dengar dari mulut mas Tejo kalau Bi ditemukan meninggal pagi ini.

***

Di ruang tamu rumah Bi, banyak kolega ayah Bi yang hadir. Ibu Bi membimbingku mendekat ke peti jenasah, aku tidak menangis. Tidak! Aku tidak menangis saat itu, sekalipun aku melihat sayatan lebar di pergelangan tangan Bi aku tidak menangis. Emak sudah berpesan kalau aku tidak boleh mengeluarkan air mata setitikpun di depan jenasah Bi.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun