Â
Malam itu menunjukkan pukul delapan seperempat, saat bapak menyuruhku pulang duluan. "Nggak usah bantu tutup warung Dhe! Besok saja pagi-pagi temani Emakmu ke pasar. Masih libur kan?" kata Bapak seraya mengusirku. Aku tersenyum, bapakku memang jarang mengijinkan aku nongkrong di warung baksonya. Alasannya biar aku fokus kuliah dan tidak tergoda menjadi SPG seperti pelanggan-pelanggan warung.
Â
Aku mengayuh sepedaku dengan santai, rumahku tak seberapa jauh dari warung. Saat aku menyandarkan sepeda aku melihat ada sesosok tubuh tergeletak di depan pintu. Takut-takut kudekati sosok tersebut, ternyata Bi.
Â
"Dia selingkuh Dhe!" desis Bi saat kurengkuh kepalanya di dadaku. Jantungku berdenyut dengan keras, mulut Bi berbau alkohol, matanya tidak bercahaya, dan ketika ku sibak lengan bajunya aku menemukan titik bekas suntikan baru di kulit Bi. Aku tidak tahu apakah aku harus bahagia karena Bi putus dengan Dona ataukah aku harus sedih karena Bi kembali memakai barang haram itu. Dua jam setelah banyak bicara tentang luka yang dialaminya, Bi.pulang dengan talsi yang kupanggil meninggalkan motornya di rumahku.
Â
Semalaman aku tak bisa tidur, perasaanku tidak enak. Dan paginya, tidak biasanya Emak membangunkanku, di luar ada mas Tejo sopir keluarga Bi menungguku dengan tidak sabar. Tubuhku serasa melayang saat ku dengar dari mulut mas Tejo kalau Bi ditemukan meninggal pagi ini.
***
Di ruang tamu rumah Bi, banyak kolega ayah Bi yang hadir. Ibu Bi membimbingku mendekat ke peti jenasah, aku tidak menangis. Tidak! Aku tidak menangis saat itu, sekalipun aku melihat sayatan lebar di pergelangan tangan Bi aku tidak menangis. Emak sudah berpesan kalau aku tidak boleh mengeluarkan air mata setitikpun di depan jenasah Bi.
Â