Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fiksi Horor dan Misteri] Dimana Pengantinku?

29 September 2016   21:09 Diperbarui: 29 September 2016   21:15 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"WIS PECAH PAMORE!!"

Kendi berisi air tujuh sumur itu dipecahkan mbah Siti saat ritual siraman usai dilaksanakan. Reihan beranjak untuk berganti baju dan melakukan ritual sungkeman sebagai tanda minta restu pada kedua orang tuanya. Hari ini adalah hari terakhirnya berstatus lajang, besok titik balik kehidupannya. Suci gadis manis yang ia kenal tiga bulan lalu bersedia menjadi istrinya.

Lima hari yang lalu bapak dan simboknya telah memasang bleketele di depan rumah sebagai tanda akan ada seorang anak akan dilepas memasuki gerbang pernikahan. Semua dilaksanakan dengan cepat, dua minggu yang lalu acara nontoni sekaligus lamaran dan besok jatuh hari baik untuk mereka menikah.

Perkenalannya dengan Suci memang terbilang unik, bagaimana tidak dia berkenalan justru pada saat dia mancing di waduk Lalung. Malam itu dia kehabisan bensin untuk pulang, Suci yang kebetulan tinggal dekat waduk menawarkan mampir kerumahnya. Reihan sempat heran kok ada perempuan cantik dini hari keliaran di jalan, tapi menurut Suci di sedang mencari anjingnya yang melarikan diri dari rumah.

Mereka bertukar nomer telepon dan saling mengontak. Beberapa kali mereka janjian bertemu saat makan siang. Sebagai pekerja di sebuah pabrik plastik yang jam kerjanya terbagi dengan tiga shift, Reihan lebih sering berhubungan dengan Suci lewat telepon dan sosmed. Sampai sebulan lalu dia memberanikan diri mengutarakan perasaan tertariknya pada Suci. Gayung bersambut, Suci menerimanya bahkan memintanya untuk segera melamar pada walinya, karena Suci anak yatim piatu.

"Aku mencari suami mas, bukan sekedar pacaran!" kata Suci waktu itu. Dia mengatakan itu sepulang mereka berjalan-jalan di PGS dan berbelanja batik, dan Reihan dibelikan sebuah ikat pinggang kulit. "Ya Dik! Umurku juga sudah cukup untuk menikah, tapi terus terang saja penghasilanku tidak banyak. Apa kamu ndak menyesal jadi istriku nanti!" tanya Reihan sambil meremas tangan Suci.

Suci tertawa kecil, " Kalau aku mencari suami berharta ya mending cari duda kaya atau jadi simpanan saja to Mas!" jawab Suci mencubit lengan Reihan. Karena hari itu jatah libur Reihan, mereka dapat lebih lama bersama. Dan memutuskan untuk pergi melancong ke Tawangmangu. Mereka berdua menikmati suasana pegunungan yang indah. Namun naas seperti biasa, Tawangmangu sering kali turun kabut dan hujan sekalipun daerah lain tidak hujan. Reihan dan Suci terpaksa mencari penginapan di sekitar Kalisoro.

Entah setan apa yang merasuki mereka, atau karena terbawa suasana dan hawa dingin yang menusuk tulang. Mereka larut dalam nafsu yang seharusnya tidak dilakukan sebelum menikah. Namun tidak ada penyesalan karena memang mereka memutuskan untuk segera menikah.

"Rei... Cepat ganti bajunya, jangan melamun saja!" seru mbah Siti dari luar kamar dan membuyarkan lamunanya. "Iya Mbah, sudah selesai!" jawab Reihan sambil cepat cepat memakai beskap dan menyelipkan keris di belakang punggungnya. Reihan keluar kamar dan melanjutkan ritual sungkeman. Organ tunggal yang disewa orangtuanya menyemarakkan acara ngangkatke anak ** malam ini.

Keesokan harinya rumah Reihan semakin ramai. Beberapa orang penatua kampung sudah siap mbesan**ke rumah Suci. Mereka berangkat beriringan dengan dua mobil. Sepanjang jalan Reihan diolok-olok tentang malam pertama yang akan dijalani nantj malam. Perjalanan yang seharusnya dapat ditempuh selama setengah jam ternyata lebih lama. Mereka berputar-putar di sekitar waduk Lalung namun tak sampai di tempat yang dituju.

"Le, lak ora kliru ta dalane!** Kemaren waktu nglamar kita belok ke kiri setelah pohon mahoni. Lha kok sekarang ndak ada jalan ke kiri?" tanya Simbok mulai gelisah. Reihanpun juga resah, beskap yang dikenakan basah oleh keringat yang mengucur deras. "Ndak Mbok? Kan aku sudah sering ke sini. Tapi ini memang mengherankan kok ndak ada jalan masuk ya Mbok?" jawab Reihan tak kalah gelisah.

"Mbokdhe, kita tanya saja ke penduduk daripada malu kalau terlambat acara ijab kabule lho!" seru Lik Marto dari kursi belakang. Dan akhirnya setelah empat kali berputar, mereka sepakat menanyakan alamat Suci pada warga yang nongkrong di warung soto dekat waduk.

"Suci? Maksudmu mbak Suci penunggu pohon mahoni pinggir jalan itu?" tanya seorang warga. Mereka tersentak mendengar pertanyaan itu, apalagi Reihan tersulut emosinya merasa dilecehkan karena dianggap mengada-ada.

"Penunggu pohon mahoni gundulmu kuwi! Aku sering ke rumahnya, duduk ngobrol sampai malam. Siamg hari kami jalan-jalan ke PGS kok dibilang penunggu pohon mahoni. Kamu kira dia hantu? Wong aku bisa memegangnya, mencium nya bahkan aku pernah tidur dengannya di Tawangmangu kok! Masa dibilang hantu!" cecar Reihan berapi-api.

"Oalah Mas.. Mas, sampeyan ini kok ngeyel to! Mbak Suci itu memang penunggu pohon situ, dia memang sering menggangu pemuda yang suka melamun di waduk Lalung situ! Sik... Sik apa sampeyan wetone Rebo Pon? Kalau iya ya pantes jadi incerane mbak Suci! Sudah balik saja Mas sampeyan jadi korban yang kesekian dari si Mbak? Syukur alhamdulillah sampeyan belum melakukan ijab kabul, biasane kalau sudah dalam waktu seminggu ditemukan mati kalap di waduk!" ibu penjaga warung itu menyaut dan menjelaskan panjang lebar pada rombongan pengantar penganten itu.

Reihan jatuh terduduk, ingatannya melayang pada sosok Suci yang dikencaninya tiga bulan terakhir. Rasanya masih tidak percaya dengan perkataan pemilik warung tersebut. Air matanya meleleh membasahi wajahnya yang pucat pasi, sementara rombongan yang mengantarkannya gaduh dengan persepsi masing-masing.

"Sing sareh ya lee..ayo bali wae. Mula ta jangan suka melamun dan perbanyak ibadah!" kata pak RT menenangkan Reihan. Dan memapahnya kembali ke mobil yang akan membawanya kembali pulang. Reihan mengikuti jalan bapak simboknya yang lunglai, hatinya teramat sakiteratapi nasib buruk yang menimpa dirinya.

"Lik, terus dimana pengantenku?" tanya Reihan berulang-ulang sebelum tidak sadatkan diri.

#poeds 290916

Tulisan ini diikutsertakan dalam evet Fiksi Horor dan Misteri grup Fiksiana Community[caption caption="Fiksi horor dan misteri"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun