Pernah mengalami gatal-gatal setelah makan udang? Eksim ketika terpapar udara terlalu dingin? Sering mengalami asma yang datang dan pergi? Atau mata berair, gatal, bengkak setelah mengkonsumsi obat-obatan tertentu? Iya, apa yang kamu alami bisa jadi adalah alergi.
Tapi, tahukah peningkatan alergi secara global berada pada kisaran sekitar 30-40% populasi dunia. Menurut data statistik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ratusan juta orang di dunia menderita alergi rinitis dan diperkirakan lebih dari 300 juta orang menderita asma, dilansir laman Global allergy and Airways.
Alergi diperkirakan akan semakin meningkat sejalan dengan peningkatan polusi udara dan suhu lingkungan. Pasalnya, perubahan suhu lingkungan ini akan mempengaruhi jumlah serbuk sari, ada tidaknya serangga penyengat, dan ada tidaknya jamur yang berhubungan dengan penyakit alergi. Penyakit-penyakit tersebut antara lain asma; rinitis; anafilaksis; alergi obat, makanan, dan serangga; eksim; dan urtikaria dan angioedema, masih dilansir laporan yang sama.
Terlepas, dari semua faktor eksternal, alergi sedikit banyaknya juga dipengaruhi faktor internal, seperti :
1. Stress berlebih yang terjadi secara terus-menerus dapat memicu gejala alergi
Beberapa penelitian, dilansir laman MedicineNet, telah membuktikan hubungan antara stres dan alergi:
- Anak-anak dengan riwayat asma yang pada masa kanak-kanaknya mengalami peningkatan stres, lebih mungkin terkena alergi asma.
- Selama periode stres tinggi, banyak orang mengalami alergi rinitis, asma, dan eksim.
- Hormon stres dalam darah dapat memperburuk alergi hidung.
Pada dasarnya, stres adalah cara tubuh merespons lingkungan yang berpotensi berbahaya. Ketika seseorang dalam kondisi stress, kelenjar adrenal memproduksi kortisol, dampaknya detak jantung dan tekanan darah meningkat, aliran darah ke otak meningkat. Jika berlebihan dan terjadi secara terus-menerus, hal ini dapat menyebabkan sakit maag, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, depresi, kecemasan, dan banyak masalah kesehatan lainnya.
Disamping kortisol, tubuh juga melepaskan histamin. Dalam situasi stress kronis, terjadi peningkatan kortisol dan histamin yang berdampak pada sel-sel sistem kekebalan tubuh yang kemudian dapat memperburuk gejala alergi. Hal ini menjadi lingkaran setan, sebab stres dapat memicu gejala alergi, tetapi perjuangan melawan alergi juga dapat menyebabkan stres.
Masih dilansir laman MedicineNet cara mengatasi gejala alergi akibat stres :
- Identifikasi pemicu stres dan cara mengatasinya.
- Tidur malam yang cukup.
- Latih teknik relaksasi seperti meditasi atau latihan pernapasan.
- Berolahragalah secara rutin, karena aktivitas fisik dapat melepaskan hormon senang sekaligus melawan stres. Selain itu, tubuh juga melepaskan hormon epinefrin, yang bertindak sebagai dekongestan alami yang membuat pernapasan lebih mudah.
- Tindak lanjuti dengan obat alergi sesuai resep dokter
2. Beberapa alergi diwariskan secara genetik
Sudah bukan rahasia lagi bahwa alergi sangat umum terjadi di era modern ini di hampir seluruh dunia. Beberapa alergi memang diwariskan secara genetik dari orangtua, antara lain asma, eksim atopik, demam dan alergi makanan.
Kondisi alergi yang diwariskan ini mengikuti pola serupa yang disebut allergy march. Yaitu, perjalanan alergi pada anak sejak usia dini hingga menjelang akhir usia 18 tahun.
Misalnya, anak-anak yang pada awalnya mengalami eksim atopik yang kemudian mereda, selanjutnya akan mengalami gejala asma dan kemudian rinitis. Beberapa anak juga akan mengalami beragam kondisi alergi dan berlangsung seumur hidup, dilansir News Medical & Life Science.
Beberapa keluarga cenderung mengalami alergi dibandingkan keluarga lainnya. Oleh karenanya, anak-anak yang terlahir dari keluarga tersebut berisiko lebih tinggi menderita alergi. Kecenderungan alergi yang diwariskan secara genetik disebut atopik.
Masih dilansir laporan yang sama, diperkirakan lebih dari separuh anak yang lahir dalam keluarga atopik akan mengidap penyakit alergi, sedangkan anak yang tidak memiliki riwayat alergi dalam keluarganya adalah satu dari lima anak. Risiko ini semakin meningkat jika kedua orang tua menderita alergi. Anak-anak tidak selalu mengalami kondisi alergi yang sama seperti anggota keluarga lainnya. Justru, penelitian menunjukkan kecenderungan genetik terhadap alergi bersifat umum, dibandingkan kondisi alergi tertentu yang lebih spesifik.
Genetika bukan satu-satunya penyebab alergi, sebab tak semua anak yang terlahir dari keluarga atopik akan mengalami alergi. Oleh karenanya, beberapa anak yang tak memiliki riwayat alergi dalam keluarga bisa saja menderita alergi. Kemungkinan besar ada faktor lain yang terlibat dalam perkembangan penyakit alergi, misalnya: terpapar asap, hewan dan produk peternakan, kucing dan anjing peliharaan, keberadaan di tempat penitipan anak, infeksi virus, vaksinasi, obat-obatan, polusi udara, diet.
3. Perubahan mikrobioma usus membuat individu rentan terhadap alergi
Mikrobiota adalah semua bakteri yang hidup ada dan selamanya ada tubuh kita.Triliunan bakteri hidup di usus kita, artinya 99% tubuh kita mengandung mikroba. Mikrobiota ini ada di berbagai area tubuh, misalnya kulit, organ pernapasan, bahkan pencernaan salah satunya di usus.
Fungsi mikrobiota di organ pencernaan untuk mencerna sari makanan, mengubah beberapa makanan menjadi vitamin, juga merawat sistem kekebalan tubuh terutama di saluran pencernaan. Jadi, mikrobiota yang bagus akan berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh yang baik. Sebaliknya, mikrobiota yang jelek berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh yang buruk, menurut Dr Agung Dwi Wahyu Widodo, dilansir laman Universitas Airlangga.
Oleh karena itu, sistem kekebalan tubuh yang jelek akibat mikrobiota usus yang buruk akan menjadikan seseorang gampang mengalami radang, gampang sakit dan berpengaruh pada respon tubuh berlebihan seperti alergi, tambahnya.
Sebagaimana dilansir laman Allied Digestive Health, bahwa orang yang rentan terhadap alergi makanan cenderung memiliki komunitas mikrobioma yang kurang beragam dibandingkan mereka yang tidak alergi. Banyak faktor yang dapat menurunkan jumlah mikrobiota di usus, misalnya antibiotik. Anak-anak yang mengonsumsi antibiotik dan penghambat asam dalam enam bulan pertama kehidupannya berisiko tinggi mengalami asma dan reaksi alergi lainnya.
Pun, hal ini berlaku untuk orang dewasa. Saluran pencernaan orang dewasa memiliki sejumlah bakteri dan jamur yang bagus. Namun, perubahan mikrobioma usus membuat individu rentan terhadap alergi. Selain peningkatan jumlah antibiotik, pola makan rendah serat, bergula, dan tinggi lemak serta zat aditif makanan dapat membahayakan kesehatan usus, sel kekebalan, dan seluruh sistem kekebalan tubuh.
4. Trauma dan gangguan mental dapat meningkatkan resiko alergi
Dilansir Cleveland Clinic, selama beberapa dekade terakhir, para peneliti telah menunjukkan bagaimana trauma di awal kehidupan dapat berdampak pada perkembangan penyakit kronis. Selain penyakit mental, korban kekerasan terhadap anak juga lebih rentan terkena alergi dan asma, gangguan autoimun, osteoarthritis, penyakit kardiovaskular, dan gangguan metabolisme.
Beberapa karakteristik spesifik seperti kualitas tidur yang buruk, peningkatan stres, berat badan yang berlebih, dan jaringan sosial yang terbatas juga sering dialami korban kekerasan pada anak yang kemudian mempengaruhi perkembangan penyakit kronis. Semua karakteristik ini terbukti lebih meningkatkan peradangan pada korban kekerasan pada anak dibandingkan pasien yang tak mengalami kekerasan pada anak. Pasien-pasien ini mungkin berisiko meninggal lebih muda akibat efek peradangan kronis.
Dalam beberapa penelitian, sebagaimana dilansir Journal of Psychosomatic research berjudul “Rates of and Factors Associated with Atopy and Allergies in Posttraumatic Stress Disorder as Compared to Controls” tahun 2022, bahwa atopi terkait dengan peningkatan resiko PTSD (Post Traumatic Stress Disorder).
PTSD yaitu gangguan mental akibat kejadian traumatis. Efek ini, khususnya, berhubungan dengan tingkat alergi rinitis yang lebih tinggi. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan jalur yang menghubungkan alergi rinitis dan PTSD. Pasalnya, hanya sedikit penelitian yang menyelidiki hubungan antara atopik dan PTSD.
Namun demikian, telah terbukti bahwa peristiwa kehidupan traumatis mempunyai efek pada kulit, seperti sensasi kulit yang tidak menyenangkan (terbakar, gatal), gejala sensorik negatif (mati rasa) dan allodynia, akibat perubahan signifikan pada sumbu hipotalamus-hipofisis Adrenal (HPA) dan sumbu simpato-adrenal-medula.
Penemuan dari sebuah studi kasus terdapat peningkatan kecenderungan asma, rinitis dan dermatitis atopik pada pasien dengan PTSD. Hal ini barangkali menunjukkan adanya ketidakseimbangan kekebalan tubuh pada pasien PTSD yang mungkin terkait dengan penyebab asma.
Masih berdasarkan laporan dalam jurnal yang sama, bahwa terdapat hubungan sebab akibat antara atopik dan penyakit mental. Yaitu berupa siklus negatif dimana atopik menyebabkan tekanan psikologis, termasuk didalamnya terdapat komponen stres, kecemasan, dan depresi.
Begitu pun sebaliknya, tekanan psikologis mempengaruhi atopik dengan meningkatkan peradangan, mempengaruhi fisiologi saluran napas, mempengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan serta perilaku kesehatan yang meningkatkan paparan individu terhadap pemicu atopi.
Khususnya, keterkaitan atopik dan alergi dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan depresi mayor, gangguan kecemasan umum, dan gangguan panik. Walaupun beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara atopik dan sejumlah gangguan kejiwaan, tetapi kekuatan hubungannya bergantung pada kondisi atopik.
Beragam faktor eksternal dapat mempengaruhi perkembangan alergi, tetapi kecenderungan faktor internal juga berperan. Jika itu berasal dari faktor eksternal, kamu bisa menghindari eksposur terhadap alergen. Namun, jika itu berasal dari faktor internal tentu kamu harus mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat dan upayakan berkonsultasi dengan dokter terkait penyakitmu.
referensi gambar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H