Dalam beberapa penelitian, sebagaimana dilansir Journal of Psychosomatic research berjudul “Rates of and Factors Associated with Atopy and Allergies in Posttraumatic Stress Disorder as Compared to Controls” tahun 2022, bahwa atopi terkait dengan peningkatan resiko PTSD (Post Traumatic Stress Disorder).
PTSD yaitu gangguan mental akibat kejadian traumatis. Efek ini, khususnya, berhubungan dengan tingkat alergi rinitis yang lebih tinggi. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan jalur yang menghubungkan alergi rinitis dan PTSD. Pasalnya, hanya sedikit penelitian yang menyelidiki hubungan antara atopik dan PTSD.
Namun demikian, telah terbukti bahwa peristiwa kehidupan traumatis mempunyai efek pada kulit, seperti sensasi kulit yang tidak menyenangkan (terbakar, gatal), gejala sensorik negatif (mati rasa) dan allodynia, akibat perubahan signifikan pada sumbu hipotalamus-hipofisis Adrenal (HPA) dan sumbu simpato-adrenal-medula.
Penemuan dari sebuah studi kasus terdapat peningkatan kecenderungan asma, rinitis dan dermatitis atopik pada pasien dengan PTSD. Hal ini barangkali menunjukkan adanya ketidakseimbangan kekebalan tubuh pada pasien PTSD yang mungkin terkait dengan penyebab asma.
Masih berdasarkan laporan dalam jurnal yang sama, bahwa terdapat hubungan sebab akibat antara atopik dan penyakit mental. Yaitu berupa siklus negatif dimana atopik menyebabkan tekanan psikologis, termasuk didalamnya terdapat komponen stres, kecemasan, dan depresi.
Begitu pun sebaliknya, tekanan psikologis mempengaruhi atopik dengan meningkatkan peradangan, mempengaruhi fisiologi saluran napas, mempengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan serta perilaku kesehatan yang meningkatkan paparan individu terhadap pemicu atopi.
Khususnya, keterkaitan atopik dan alergi dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan depresi mayor, gangguan kecemasan umum, dan gangguan panik. Walaupun beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara atopik dan sejumlah gangguan kejiwaan, tetapi kekuatan hubungannya bergantung pada kondisi atopik.
Beragam faktor eksternal dapat mempengaruhi perkembangan alergi, tetapi kecenderungan faktor internal juga berperan. Jika itu berasal dari faktor eksternal, kamu bisa menghindari eksposur terhadap alergen. Namun, jika itu berasal dari faktor internal tentu kamu harus mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat dan upayakan berkonsultasi dengan dokter terkait penyakitmu.
referensi gambar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H