Misalnya, anak-anak yang pada awalnya mengalami eksim atopik yang kemudian mereda, selanjutnya akan mengalami gejala asma dan kemudian rinitis. Beberapa anak juga akan mengalami beragam kondisi alergi dan berlangsung seumur hidup, dilansir News Medical & Life Science.Â
Beberapa keluarga cenderung mengalami alergi dibandingkan keluarga lainnya. Oleh karenanya, anak-anak yang terlahir dari keluarga tersebut berisiko lebih tinggi menderita alergi. Kecenderungan alergi yang diwariskan secara genetik disebut atopik.Â
Masih dilansir laporan yang sama, diperkirakan lebih dari separuh anak yang lahir dalam keluarga atopik akan mengidap penyakit alergi, sedangkan anak yang tidak memiliki riwayat alergi dalam keluarganya adalah satu dari lima anak. Risiko ini semakin meningkat jika kedua orang tua menderita alergi. Anak-anak tidak selalu mengalami kondisi alergi yang sama seperti anggota keluarga lainnya. Justru, penelitian menunjukkan kecenderungan genetik terhadap alergi bersifat umum, dibandingkan kondisi alergi tertentu yang lebih spesifik.
Genetika bukan satu-satunya penyebab alergi, sebab tak semua anak yang terlahir dari keluarga atopik akan mengalami alergi. Oleh karenanya, beberapa anak yang tak memiliki riwayat alergi dalam keluarga bisa saja menderita alergi. Kemungkinan besar ada faktor lain yang terlibat dalam perkembangan penyakit alergi, misalnya: terpapar asap, hewan dan produk peternakan, kucing dan anjing peliharaan, keberadaan di tempat penitipan anak, Â infeksi virus, vaksinasi, obat-obatan, polusi udara, diet.
3. Perubahan mikrobioma usus membuat individu rentan terhadap alergi
Mikrobiota adalah semua bakteri yang hidup ada dan selamanya ada tubuh kita.Triliunan bakteri hidup di usus kita, artinya 99% tubuh kita mengandung mikroba. Mikrobiota ini ada di berbagai area tubuh, misalnya kulit, organ pernapasan, bahkan pencernaan salah satunya di usus.Â
Fungsi mikrobiota di organ pencernaan untuk mencerna sari makanan, mengubah beberapa makanan menjadi vitamin, juga merawat sistem kekebalan tubuh terutama di saluran pencernaan. Jadi, mikrobiota yang bagus akan berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh yang baik. Sebaliknya, mikrobiota yang jelek berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh yang buruk, menurut Dr Agung Dwi Wahyu Widodo, dilansir laman Universitas Airlangga.
Oleh karena itu, sistem kekebalan tubuh yang jelek akibat mikrobiota usus yang buruk akan menjadikan seseorang gampang mengalami radang, gampang sakit dan berpengaruh pada respon tubuh berlebihan seperti alergi, tambahnya. Â
Sebagaimana dilansir laman Allied Digestive Health, bahwa orang yang rentan terhadap alergi makanan cenderung memiliki komunitas mikrobioma yang kurang beragam dibandingkan mereka yang tidak alergi. Banyak faktor yang dapat menurunkan jumlah mikrobiota di usus, misalnya antibiotik. Anak-anak yang mengonsumsi antibiotik dan penghambat asam dalam enam bulan pertama kehidupannya berisiko tinggi mengalami asma dan reaksi alergi lainnya.
Pun, hal ini berlaku untuk orang dewasa. Saluran pencernaan orang dewasa memiliki sejumlah bakteri dan jamur yang bagus. Namun, perubahan mikrobioma usus membuat individu rentan terhadap alergi. Selain peningkatan jumlah antibiotik, pola makan rendah serat, bergula, dan tinggi lemak serta zat aditif makanan dapat membahayakan kesehatan usus, sel kekebalan, dan seluruh sistem kekebalan tubuh.
4. Trauma dan gangguan mental dapat meningkatkan resiko alergi
Dilansir Cleveland Clinic, selama beberapa dekade terakhir, para peneliti telah menunjukkan bagaimana trauma di awal kehidupan dapat berdampak pada perkembangan penyakit kronis. Selain penyakit mental, korban kekerasan terhadap anak juga lebih rentan terkena alergi dan asma, gangguan autoimun, osteoarthritis, penyakit kardiovaskular, dan gangguan metabolisme.Â
Beberapa karakteristik spesifik seperti kualitas tidur yang buruk, peningkatan stres, berat badan yang berlebih, dan jaringan sosial yang terbatas  juga sering dialami korban kekerasan pada  anak yang kemudian mempengaruhi perkembangan penyakit kronis. Semua karakteristik ini terbukti lebih meningkatkan peradangan pada korban kekerasan pada anak dibandingkan pasien yang tak mengalami kekerasan pada anak. Pasien-pasien ini mungkin berisiko meninggal lebih muda akibat efek peradangan kronis.