Ketakutan terhadap yang asing (xenofobia) adalah sebuah paradoks yang semakin menglobal saat ini. Sesungguhnya semakin kita takut pada yang lain semakin kita merasa tertampar akan liyan. Dalam pandangan Elias Canetti (Crowds and Power 1905, hal.15) menguraikan bahwa manusia pada dasarnya memiliki ketakutan untuk bersentuhan dengan yang asing (the fear of being touched of the unknown). Ketakutan manusia ini membuatnya selalu berusaha untuk tidak bersentuhan dengan yang asing. Canetti memandang manusia atau pribadi yang lain (liyan) sebagai pribadi yang menakutkan.
Berbeda dengan Canetti, Paus Fransiskus mengangap orang lain khususnya kaum migran (diidentikan drngan kata orang asing) sebagai undangan untuk memulihkan dimensi-dimensi esensial dari eksistensi kristianitas dan kemanusian setiap orang. Dalam pesannya pada hari migran sedunia pada tahun 2019, Paus menegaskan bahwa migrasi (orang asing) adalah tentang kita yang adalah bagian dari keluarga besar 'kemanusian kita'. Kisah tentang migrasi dan orang asing inilah yang memikat saya untuk membahas tema identitas sebagai orang asing dalam Kitab Rut.
Identitas Orang Asing: Dalam Kitab Rut
Rut 1 mengisahkan bahwa ada sebuah usaha dari keluarga Elimeleh untuk meninggalkan tanah mereka Betlehem. Hal ini disebabkan karena adanya krisis kelaparan di tanah airnya. Gambaran perpindahan mereka ini mengingatkan kita dengan nasib para pengungsi yang melakukan perpindahan karena krisis kelaparan di daerahnya masing-masing. Seperti Elimelekh yang pindah sekeluarga demikian juga lazimnya para pengungsi dalam usaha untuk mempertahankan kehidupan mereka. Perpindahan dari Betlehem (Yehuda) ke Moab adalah tanda peleburan ke dalam budaya baru. Memasuki daerah orang lain berarti memasuki ranah asing dan keterasingan.
Kitab Rut mengawali kisahnya dengan perpindahan keluarga Elimelekh dari Betlehem-Yehuda ke tanah Moab. Ketika berada di tanah Moab, kisah berlanjut dengan kematian keluarga Naomi -- hubungan antara bencana kelaparan dan kematian.[3] Setidaknya ada tiga kematian dalam kitab ini, kematian suami Naomi, Elimelekh (Rut 1:3) dan kematian kedua anak Naomi (Rut 1:5), suami Rut dan Orpha. Dari kematian ini terjadi transisi sosial, Naomi dan Rut menjadi wanita janda dan kisah tentang kedua wanita ini menjadi narasi-narasi selanjutnya dalam kitab ini.
Victor H. Matthews (2006, hal. 36 dan 49) dalam komentarnya menegaskan bahwa keluarga Rut hidup sebagai pendatang (orang asing) di tanah Moab. Hal ini menunjukan bahwa mereka sebenarnya meninggalkan Yehuda dan menjadi orang asing di Moab. Biasanya orang-orang yang pergi meninggalkan daerahnya disebabkan oleh alasan-alasan tertentu. Dalam kisah awal kitab Rut ini kita melihat adanya perpindahan atau migrasi dan keharusan untuk menjadi orang asing. Demikian dengan Rut yang juga memilih mengikuti Naomi menantunya, kembali ke Israel sebagai jalan menjadi orang asing.
Keberanian Naomi dan Rut Untuk Menjadi Orang Asing
Keputusan Naomi untuk menghakiri persinggahan keluarganya di Moab dan kembali ke konteks sosialnya sendiri merupakan upaya keduanya untuk menyelesaikan krisis awalnya (janda - kemiskinan) dan untuk mendapatkan 'hukuman sosila' atas rumah tangganya yang hampir punah.
Menariknya dalam perjalanan kembali ke Israel pasca-kematian suami dan kedua anaknya, Naomi masih memberikan kesempatan kepada menantunya memilih untuk tetap tinggal di Moab. Keberanian wanita Moab ini adalah sebuah konsekuensi kesetiannya terhadap Naomi. Berbeda dengan Orpah yang memilih untuk tunduk dan taat pada perintah Naomi, Rut memaksa Naomi untuk menemani dirinya. Naomi menyetujui keinginan Rut.
Bagai ditimpa tangga peristiwa kehidupan Naomi selalu mengalami kemalangan, setelah suaminya meninggal, kedua anaknya Mahon dan Kylon yang telah menikah dengan Orpa dan Rut juga meninggal. Kisah ini berlanjut dengan keputusan Naomi untuk kembali ke daerah asalnya. Sebagai janda tua ia ingin melanjutkan hidupnya dari belas kasih orang-orang setanah airnya. Tetapi persoalan muncul di sini adalah nasib kedua menantunya.
Dengan hati keibuan dan pengenalan akan latar belakang kebudayaan budayanya Naomi meminta kedua menantunya untuk segera pergi meninggalkan Naomi sendirian dan kembali ke rumah orang tua mereka masing-masing. Anjuran ini ditanggapi secara berbeda oleh kedua menantunya. Orpa memilih untuk menuruti permintaan mertuanya dan kembali ke rumah orangtuanya, sementara Rut memilih untuk tetap mengikuti mertuanya. Kesediannya untuk menerima tawaran ini menunjukan kesediannya untuk menjadi orang asing di tanah asing. Kisah ini sepintas menggambarkan kisah kehidupan dan perjuagan di tanah asing.
Hal yang intrinsik dari kisah Kitab Rut ini adalah dimensi multi-cultural, dua kelompok etnis, Moab dan Israel. Sesungguhnya dalam konteks ini, ada percampuran budaya, yang berarti hidup dalam budaya berbeda. Naomi dan keluarganya meninggalkan Israel dan menjadi orang asing di Moab dan Rut meninggalkan Moab menjadi pendatang di Israel sebagai orang asing juga. Persis inilah yang menjadi fokus perhatian saya dalam paper, sebagaimana menjadi satu ketakutan yang muncul di zaman modern ialah xenophobia. Keluarga Naomi hidup sebagai pendatang (orang asing) di tanah Moab.
Menjadi saudara bagi yang lain tanpa menegasi identitas masing-masing. Persoalan yang akan menjadi masalah besar dalam sebuah kehidupan bersama adalah ketika satu sama lain memilih untuk melupakan identitas masing-masing. Tokoh dalam kitab Rut, khususnya Naomi dan Rut tidak menolak identitas mereka. Mereka mau menjadikan sesama sebagai saudara. Menjadi saudara bagi yang lain dapat menjadi para pembawa kabar baik dan buahnya dapat dirasakan secara nyata dan konkret oleh orang-orang di sekitar kita. Salah satu ketakutan yang muncul di zaman modern adalah xenophobia. Ketakutan terhadap yang asing paradoks semakin menglobal semakin kita takut pada yang lain.
Dialog sosial untuk sebuah masyrakat adalah hal yag penting dibangun dalam kehidupan bermasyrakat. Dalam kitab rut kita mendengar kisah bahwa keluarga Elimelekh berpindah dari Betlehem ke Moab. Studi mengenai sejarah peradaban dan kemanusiaan, menunjukan bahwa sejarah asal muasal 'homo sapiens' telah menunjukan bahwa perpindahan manusia dari satu wilayah ke wilayah lainya, sama tuanya dengan dengan spesies manusia itu sendiri.
Orang Asing dan Panggilan Mengasihi
Migrasi merupakan penggerak bagi perkembangan peradaban manusia. Dalam perspektif biblis dan teologis, migrasi merupakan realitas umat Allah karena secara inheren menjadi bagian dari sejarah keselamatan (salvation story as a moving reality): migrasi manusia pertama, Kej 3:23); migrasi Abraham (kej.12;1-7) migrasi dari Kanaan ke Mesir dan sebaliknya (Kej 46 dan Kel.12), migrasi pasca Babel (2 Raj.25) dan pengungsian kelarga kudus dari Betlehem ke Mesir.
Allah yang menyelamatkan adalah Allah yang bemigrasi, Allah yang menemani perjalanan dari orang asing di tanah-tanah asing. Yesus sendiri bahkan yang datang kedunia dalam diri Maria sebenarnya adalah usaha untuk menemukan 'realitas asing'. Yesus mau ada bersama dan menemani. Visi teologis yang demikian tentunya membawa implikasi penting tentang cara berada dan cara bertindak setiap umat beriman dihadapan para kaum migran atau pengungsi.
Dalam Kitab Rut kita melihat status orang asing dan identitas ini sangat ditekankan. Nama Rut sering diikuti latarbelakangnya sebagai orang Moab. Identitas etnis mempengaruhi perlakuan orang-orang Israel atas dirinya. Neil Glover dalam artikelnya, melihat bahwa pendekatan antropogis kadang berimplikasi negatif. Memang ada pengakuan, Rut bisa menjadi orang Israel, sebagaimana dalam bab 4 kita melihat adanya pengakuan setelah ia diterima sebagai orang Isral dalam komunitas Betlehem. Hal ini sesuai dengan konstruksi tentang etnis identitas, dimana keturunan biologis tidak selalu diperlukan untuk kepemilikan sebuah etnis.
Ada tiga interpretasi yang bisa dilihat untuk menunjukan identitas Rut: Pertama, Rut menjadi orang Israel atas sumpah setia Naomi, (Rut. 1:6), kedua, penerimaan oleh komunitas Betlehem adalah tanda Rut menjadi dan masuk dalam budaya Israel, hal ini memenuhi kriteria keanggotaan Rut. (Rut 4:11), ketiga menolak dua kemungkina diatas sebagai buah pemikiran dari orang-orang yang memegang teguh pada kesetian pada komunitas. Penerimaan dan penyambutan dapat menghapus Gen biologis tetapi tidak pernah secara utuh dan sepenuhya sebagai orang Israel.
Salah satu deskripsi yang sangat menonjol adalah identitas Rut sebagai orang Moab, sebuah kelompok yang cendrung dinilai buruk dalam status identitas sosial. Streotipe ini mengeneralisasi semua orang Moab, dan juga Rut.[10] Orang Israel memang mengakui orang Moab sebagai Kerabat (Ul. 2:8-9) tetapi penghinaan atas asal muasal orang Moab karea Inses masih menjadi persoalan dalam mengafirmasi relasi mereka (Kej. 19:30-38).
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, kesetiaan dapat kita jumpai dan diteladani dari kehidupan Rut, perempuan saleh dari Moab, yang menikah dengan seorang yang berbeda baik kepercayaannya maupun latar belakang budaya. Seiring berjalannya waktu Rut yang telah mengamati, mengalami, dan merasakan sendiri kebaikan dan kepercayaan yang dianut oleh suami dan juga menantunya, kemudian memutuskan untuk juga meyakini kepercayaan suaminya.
Ditengah kehidupan Rut sebagai perempuan asing, ia semakin percaya kepada Tuhan, Allah Israel dan memilih tetap ikut dengan mertuanya kembali ke Yehuda daripada tinggal dibangsanya sendiri. Keberaninnya untuk menjejaki kaki mengikuti Naomi adalah bukti bahwa dirinya mampu melampui batas liminal. Rut mau menjadi asing demi kebaikan orang lain. Inilah panggilan kemanusian, sebagaimana Paus Fransiskus serukan dalam pesannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H