Dilema Realita
Setiap pengaruh dan perubahan yang terjadi tidak pernah terlepas dari perkembangan teknologi yang menelurkan globalisai dan digitalisasi. "Seandainya dulu tidak ada televisi, mungkin sekarang tradisi lokal tidak dilupakan oleh anak-anak, anak-anak sekarang lebih suka nonton goyang-goyang di televisi ketimbang melestarikan kebudayaan lokal dan hampir 9 dari 10 anak sudah tidak mengenal kebudayaan lokalnya lagi, khususnya yang sekarang berusia SD-SMP".
Demikian pengakuan Bapak Tomas Ola bulan Januari 2020 lalu via cerita whatsapp. Ia adalah seorang tokoh adat di Manggarai Timur. Pengakuan ini hemat saya adalah bentuk kecemasan akan lunturnya kebudayaan masyarakat dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan asing. Namun tidak bisa ditolak lagi bahwa kebudayaan selalu berkembang seiring perkembangan zaman.
Keprihatinan di atas melahirkan keambiguaan dalam bersikap untuk menghadapi setiap perkembangan tersebut. Di satu sisi kebudayan Barat memperkaya masyarakat dan di sisi lain tentunya menghambat perkembangan kebudayaan local apabila tidak ada keberanian untuk mempromosikannya. Masyarakat seperti berada dalam posisi dilematis.
Pada tulisan ini, saya membatasi bahwa yang akan dibahas adalah pengaruh dari tradisi lonto leok masyarakat Manggarai terhadap nilai-nilai persatuan dan persaudaraan dalam masyarakat lokal dan bagaimana sumbangsihnya bagi masyarakat luas. Terlepas dari kecemasaan generasi tua terhadap generasi muda yang menurut pengakuan mereka sudah melupakan budaya. Concern saya dan kita bersama adalah bagaimana tradisi lonto leok menjadi kekayaan dan nutrisi dalam mewariskan kebudayaan dan menjadikan tradisi lonto leok sebagai warisan yang tetap dijaga dalam aliran darah generasi milenial.
Term lonto leok berasal dari kata lonto yang berarti duduk dan leok yang berarti melingkar. Secara literer lonto leok berarti duduk melingkar. Tradisi duduk melingkar merupakan suatu khazanah budaya yang sebenarnya sesuai dengan model atau bentuk rumah adat orang Manggarai, juga sepadan dengan letak lahan pertanian di lingko.[1] Masyarakat Manggarai, memahami istilah 'lonto leok, atau lonto cama' juga sebagai tradisi kumpul bersama atau musyawarah yang dilakukan oleh beberapa orang.[2]
Lonto leok merupakan warisan budaya yang mana para tokoh masyarakat berkumpul bersama dan membangun ruang perjumpaan untuk membahas hal-hal mengenai cita-cita dan mengevaluasi kehidupan. Lonto leok menjadi media untuk saling bertukar pikir, bercerita, bersenda gurau, bertukar pengalaman dan pengetahuan tentang fenomena kehidupan. Lonto leok menekankan nilai kebersamaan dan pentingnya perjumpaan langsung dalam hidup sebagai medium untuk bersolider. Lonto leok merupakan contoh perjumpaan empat mata antarmuka, atau perjumpaan face to face.
Tempat pelaksanaan lonto leok adalah mbaru gendang (rumah adat). Mbaru gendang merupakan rumah adat atau rumah induk untuk rumah-rumah yang ada di sebuah kampung. Eksisitensi rumah gendang bukan terletak pada ukurannya, melainkan pada fungsi sebagai tempat tinggal pemimpin adat (tu'a adat) dan tempat berlangsungnya kegiatan adat yang menyangkut hidup bersama dalam sebuah kampung. Mbaru Gendang merupakan tempat neki weki ranga manga kudut bantang pa'ang olo ngaung musi (tempat berkumpul semua warga kampung untuk bermusyawarah mufakat).
Pius Pandor dalam tulisannya 'Menyibak Praksis Lonto Leok dalam Demokrasi Lokal Manggarai' mendefenisikan tradisi lonto leok sebagai model demokrasi lokal yang mengatur semua tata kehidupan orang Manggarai seperti pemeliharaan perdamaian dan keamanan, penegakan hukum adat, kesatuan dan persatuan, pemeliharaan kesusilaan dan sopan santun, pembagian tanah (lingko), pemeliharaan lingkungan hidup, partisipasi dalam upacara adat.[3]
Setiap masyarkat memiliki tugas dan tanggung jawab mengambil bagian dalam semua urusan masyarakat. Nilai-nilai yang ditekankan dalam tradisi lonto leok ini ialah nilai kesatuan dan persatuan. Setiap pribadi dalam sebuah masyarakat merupakan pribadi bebas sekaligus terikat kewajiaban untuk melindungi dan menghormati kemerdekaan sesama warganya. Adapun sumbangan dari tradisi lonto leok antara lain:
Untuk Menyatukan Kata atau Pendapat
Sebagai suatu forum, lonto leok merupakan kesempatan untuk merundingkan sesuatu secara bersama-sama. Lonto leok yang ideal dikatakan berhasil jika mampu menyamakan persepsi dan menyatukan aspirasi para peserta berbeda-beda. Semua partisipan lonto leok diharapkan dapat nai ca anggit (sehati sejiwa), dan berusah menghindari kemungkinan woleng curup (perbedaan pendapat). Dengan demikian visi kelompok untuk kekompakan seperti muku ca pu'u (pisang serumpun) terjamin atau terwujud.
Untuk Menyatukan Langkah atau Praksis Hidup Masyrakat
Sebagai forum strategis, lonto leok menjadi medan untuk menyatukan langkah dan menyelaraskan derap atau irama gerak bersama. Pada tataran ini setiap peserta lonto leok diharapkan untuk tuka ca leleng (tidak berbeda arah) dan sasaran perjuangan dengan berusaha menghindari kemungkinan untuk woleng lako, (berjalan sendiri-sendiri -- terpisah dari forum.
Sebuah Sumbangsih
Sebuah adagium yang sangat familiar dalam kalangan akademis menyatakan bahwa waktu berubah, manusia juga berubah. Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Herakleitos bahwasanya tidak ada yang statis di dunia ini, semuanya mengalir seperti air. Seiring berjalanya waktu, tradisi lonto leok tidak hanya dipakai sebagai konsolodasi adat dalam menyelesaikan masalah sosisl, tetapi juga sebagai media konsolodasi politik di era demokrasi modern.
Saya meyakini bahwa kebiasaan bermusyawarah untuk mufakat adalah tradisi yang lazim dijalankan oleh setiap masyarakat di setiap kebudayaan. Konsentrasi kita pada saat ini adalah bagaimana tradisi lonto leok dalam tradisi Manggarai tersebut mempengaruh konsep kehidupan masyrakat umum. Dengan dijalannya tradisi ini, masyarakat mulai menyadari akan nilai persaudaraan dan kesatuan dalam masyrakat.
Esensi dasar dari tradisi ini adalah membentuk sikap hidup yang mencintai nilai-nilai kesatuan dalam hidup bersama. Setiap persoalan selalu memiliki solusi dan orang Manggarai selalu meyakini bahwa perkara jika diurus dengan menekankan nilai persatuan akan bisa diselesaikkan dengan cepat. Nilai-nilai seperti inilah yang menjadi sumbangan bagi masyarakat umum.
Catatan Akhir
[1] Lingko adalah tanah milik umum yang jika dibagi akan membentuk seperti jaring laba-laba. Proses pembagiaanya diukur dari titik pusat yang berada persis ditengah-tengah lingko tersebut yang sering disebut lodok. Batas-batas dari tanah tersebut disebut dengan istilah cicing atau langang: batas.
[2] Pius Pandor, Menyambut dan Memuliakan Sesama Dalam Ritus Inisiasi Sosial Tiba Meka Orang Manggarai, dalam ‘Kearifan Lokal Pancasila, Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan’, Jogjakarta; Kanisius, 2015, 218.
[3] Pius Pandor, ‘Menyibak Praksis Lonto Leok dalam Demokrasi Lokal Manggarai’ 443.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H