Mohon tunggu...
Fransiskus Sardi
Fransiskus Sardi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lulus dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Program Filsafat

Follow ig @sardhyf dan ig @areopagus.2023 “Terhadap apa pun yang tertuliskan, aku hanya menyukai apa-apa yang ditulis dengan darah. Menulislah dengan darah, dan dengan begitu kau akan belajar bahwa darah adalah roh” FN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

LONTO LEOK: Demokrasi Warisan Budaya Manggarai

23 September 2021   16:02 Diperbarui: 23 September 2021   16:17 1919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk Menyatukan Kata atau Pendapat

Sebagai suatu forum, lonto leok merupakan kesempatan untuk merundingkan sesuatu secara bersama-sama. Lonto leok yang ideal dikatakan berhasil jika mampu menyamakan persepsi dan menyatukan aspirasi para peserta berbeda-beda. Semua partisipan lonto leok diharapkan dapat nai ca anggit (sehati sejiwa), dan berusah menghindari kemungkinan woleng curup (perbedaan pendapat). Dengan demikian visi kelompok untuk kekompakan seperti muku ca pu'u (pisang serumpun) terjamin atau terwujud.

 Untuk Menyatukan Langkah atau Praksis Hidup Masyrakat

Sebagai forum strategis, lonto leok menjadi medan untuk menyatukan langkah dan menyelaraskan derap atau irama gerak bersama. Pada tataran ini setiap peserta lonto leok diharapkan untuk tuka ca leleng (tidak berbeda arah) dan sasaran perjuangan dengan berusaha menghindari kemungkinan untuk woleng lako, (berjalan sendiri-sendiri -- terpisah dari forum.

Sebuah Sumbangsih

Sebuah adagium yang sangat familiar dalam kalangan akademis menyatakan bahwa waktu berubah, manusia juga berubah. Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Herakleitos bahwasanya tidak ada yang statis di dunia ini, semuanya mengalir seperti air. Seiring berjalanya waktu, tradisi lonto leok tidak hanya dipakai sebagai konsolodasi adat dalam menyelesaikan masalah sosisl, tetapi juga sebagai media konsolodasi politik di era demokrasi modern. 

Saya meyakini bahwa kebiasaan bermusyawarah untuk mufakat adalah tradisi yang lazim dijalankan oleh setiap masyarakat di setiap kebudayaan. Konsentrasi kita pada saat ini adalah bagaimana tradisi lonto leok dalam tradisi Manggarai tersebut mempengaruh konsep kehidupan masyrakat umum. Dengan dijalannya tradisi ini, masyarakat mulai menyadari akan nilai persaudaraan dan kesatuan dalam masyrakat. 

Esensi dasar dari tradisi ini adalah membentuk sikap hidup yang mencintai nilai-nilai kesatuan dalam hidup bersama. Setiap persoalan selalu memiliki solusi dan orang Manggarai selalu meyakini bahwa perkara jika diurus dengan menekankan nilai persatuan akan bisa diselesaikkan dengan cepat. Nilai-nilai seperti inilah yang menjadi sumbangan bagi masyarakat umum.

 Catatan Akhir

[1] Lingko adalah tanah milik umum yang jika dibagi akan membentuk seperti jaring laba-laba. Proses pembagiaanya diukur dari titik pusat yang berada persis ditengah-tengah lingko tersebut yang sering disebut lodok. Batas-batas dari tanah tersebut disebut dengan istilah cicing atau langang: batas.

[2] Pius Pandor, Menyambut dan Memuliakan Sesama Dalam Ritus Inisiasi Sosial Tiba Meka Orang Manggarai, dalam ‘Kearifan Lokal Pancasila, Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan’, Jogjakarta; Kanisius, 2015, 218.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun