Semua umat kristiani sejak awal dipanggil untuk menjadi kudus (bdk. Lumen Gentium. art. 33). Panggilan menuju kekudusan terpatri dalam diri manusia yang sering dipandang sebagai Citra Allah atau Imago Dei. Kekudusan manusia juga tidak terlepas dari tujuan sejarah kisah penciptan semesta oleh Allah. Pada awal penciptaan, Allah sudah mengudusakan semua ciptaan-Nya '...Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya...'(Kej.2:3).
Peristiwa pengudusan oleh Allah ini adalah tanda dasar bahwa manusia diciptakan untuk menjadi kudus. Bahkan hal ini juga diwariskan dalam DNA manusia yang sering disebut sebagai rekan kerja Allah (cocreator). Namun seiring berjalannya waktu, manusia jatuh dalam keadaan dosa. Degradasi keadaan manusia berawal dari titik ini -- kejatuhan manusia (dosa manusia pertama, Adam dan Hawa) -- menjadi tanda kejatuhan dan dosa bagi manusia generasi selanjutnya (next generation). Dosa manusia pertama adalah dosa melanggar hukum Tuhan atau tidak taat pada perintah Tuhan (bdk. Kej. 2:16-17). Peristiwa ini menunjukan bahwa akan selalu ada aspek relasional dan sosial dalam keberdosaan manusia, yakni antara Tuhan dan manusia atau juga antara pribadi manusia.
Dalam Perjanjian Lama ditegaskan bahwa 'dosa sebagai perlawanan atau pemberontakan terhadap Allah. Akar dosanya adalah kehendak bebas manusia yang memilih untuk mengkhianati kebebasan yang adalah anugerah dari Allah' (bdk. Peter Aman, Moral Dasar: 2016, 148 & 149). Sementara dalam pemahaman Perjanjian Baru, dosa dan pertobatan dikaitkan dengan erat dan tidak terpisahkan. Bahkan Yesus sendiri memulai pewartaan-Nya dengan seruan akan pertobatan (bdk. Mat. 3:7-10, Luk. 3:7). Dosa memang menjauhkan diri dari Allah: tidak taat (Luk.15:21) dan melakukan kejahatan, (Mat: 7:23).
Dosa dalam Perjanjian Baru adalah realitas kehidupan manusia yang jauh dari Allah yang memberikan kebebasan pada manusia. Dosa selalu berhubungan dengan mereka yang beriman pada Allah sedangkan bagi yang tidak memiliki iman tindakannya dinilai dari salah atau jahat. Dosa menunjukan ketidakmampuan manusia untuk memahami kebebasan dari Allah. Kebebasan yang dijalankan sebebas-bebas dan tanpa alur jelas adalah akar dari dosa. Singkatnya Perjanjian Baru menilai kesalahan dalam menginterpretasi kebebasan adalah cikal bakal adanya dosa.
Untuk membangun kembali relasi yang putus dengan Allah ini maka dibutuhkan suatu tindakan pertobatan. Gereja Katolik memiliki tradisi sakramen rekonsiliasi bagi umatnya yang sudah berada jauh dari koridor 'perintah' Tuhan (berdosa). Ketidataatan atau dosa manusia tersebut membawa manusia pada satu sikap penyesalan. Penyesalan adalah jalan untuk membangun kembali relasi dengan Tuhan. Penyesalan ini diejahwantahkan melalui sakramen pertobatan atau rekonsiliasi.
Sakramen rekonsiliasi menjadi momen untuk kembali, saat untuk kembali bergandeng tangan bersama Tuhan. Perlu digarisbahwahi bahwa, Tuhan yang Mahakasih tidak pernah menjauhkan diri-Nya dari manusia, manusialah yang kadang lelah atau "malas" mencari kerahiman Tuhan itu sendiri. Maka adalah keberuntungan besar, apabila ada kesadaran akan keterbatasan-keterbatasan dalam diri manusia. Kesadaran ini yang tentunya dengan sendiri membangun kembali relasi dengan Tuhan.
Penyesalan tanpa tindakan nyata adalah kesia-siaan, karenaya dibutuhkan buah yang baik dari tindakan penyesalan dalam sakramen rekonsilasi tersebut, misalnya berbuat baik terhadap sesame manusia. Dorongan berbuat baik inilah yang disebut sebagai cikal bakal adanya nilai-nilai moral dalam kehidupan umat beriman.
Moralitas selalu berhubungan dengan 'cara berada serta kualitas pribadi sebagai manusia -- tentang baik dan buruk tindakan manusia' (bdk. Peter Aman). Itulah sebabnya moralitas selalu mengandung suatu tuntutan untuk berbuat baik dan menolak yang jahat. Kehidupan moral yang baik dalam paradigma kristiani adalah buah dari kerjasama antara manusia dan rahmat Allah.
Oleh rahmat Allah orang sadar akan kemalangannya dan menyatakan kelemahannya. Manusia yang bertobat dan menyadari kelemahannya (sakramen rekonsilasi) pada dasarnya mengandung perkembangan moral yang terjadi dalam relasi dengan sesama. Ini adalah hal penting dari sakramen rekonsiliasi, ada kesadaran manusia untuk kembali pada tindakan kebaikan.
Gambaran relasi antara sakramen rekonsilasi dan perkembangan nilai moral adalah demikian 'seorang berdosa membutuhkan pertobatan dan buah dari pertobatan adalah menjalani kehidupan yang baik di mata sesame, kehidupan baik adalah gambaran orang yang memiliki moral baik'.
Sakramen rekonsiliasi amat penting dalam hidup umat beriman, karena memberikan damai dan memulihkan relasi dengan Allah dan sesama. Aspek relasional dalam sakramen rekonsiliasi tidak hanya berimplikasi pada hubungan dengan Allah, tetapi relasi antar manusia.
Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium 11 menjelaskan bahwa 'mereka yang menerima sakramen tobat memperoleh pengampunan dari Allah dan sekaligus didamaikan dengan Gereja'. Perdamaian dengan Gereja berarti berada dalam relasi etis dan tanggung jawab serta menghayati nilai-nilai kebaikan dalam hidup bersama (nilai moral kristiani).
Katekismus Gereja Katolik 1431 memberikan empat unsur pertobatan yang mana terjadi perubahan radikal orientasi dalam hati dari yang berpaling dari jalan Allah menuju pada Allah (pertama), menolak untuk bertindak buruk atau jahat khususnya pada setiap tindakan yang sudah dilakukan sebelum rekonsiliasi (kedua), keinginan untuk mengubah hidup dan harapan akan dibantu oleh Allah pada hal-hal baik (ketiga) dan mengubah hidup pada kebahagian atau tidak susah dan sedih (keempat).
Dari uraian ini dapat diketahui nilai-nilai moral yang muncul dalam tradisi pengakuan dosa. Pengakuan dosa bukan hanya menjadikan pribadi seseorang kudus, tetapi bersedia mengubah pada keyakinan untuk berkanjang dalam kebaikan dan hidup damai dengan sesama manusia. Agustinus menekankan pertobatan berarti perubahan moral, kembali pada tata laku yang baik (bdk. Civitate Dei). Hal ini mengafirmasi adanya perkembangan moral dalam tradisi pengakuan tersebut.
Dalam tradisi rekonsiliasi, hal penting dari pihak manusia yang berdosa adalah pengakuan untuk menyadari dan menerima diri sebagai pendosa dan menjalankan kehidupan yang baru. Hidup baru dalam tata laku sebagai orang yang sudah bertobat berarti membangum relasi yang harmonis dengan Allah dan diejahwantahkan dalam hidup baik. Di sini tampak aspek perkembangan moralitas pribadi seorang kristiani sebagai buah dari sakramen rekonsilasi.
Pengajaran demikian biasaya ada dalam penitensi yang diberikan pada saat pengakuan, yang mana para imam biasanya selalu berusaha menasihati adanya niat dan tindakan atau perilaku untuk berubah dari yang buruk menuju hal-hal yang baik. Kekristenan meyakini pertobatan manusia tidak hanya pelaksaan 'ritual formal melalui sakramen rekonsilasi, tetapi mesti diwujudkan dalam hidup sehari-hari' (Wiliam Chang, Pengantar Teologi Moral, 201). Dimensi sosial-moral pertobatan menggambarkan tradisi ini memiliki impikasi etis pada kehidupan umat beriman kristiani. Di sini tampak bahwasannya tradisi pengakuan memiliki pengaruh pada moral kristiani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H