Riwayat singkat
Agustinus (354-430) dilahirkan di Tagaste, kota kecil di Kartago (sekarang Tunis) dari sebuah keluarga yang memiliki latar belakang iman yang berebeda.
Ayahnya seorang penganut agama romawi kuno, dan ibunya Monika adalah seorang penganut agama kristen yang saleh. Ia sendiri sudah mengenal ajaran kristiani, tetapi belum sungguh-sungguh mendalami kehidupan kristiani.
Masa mudanya dipenuhi dengan bebagai macam kesenanga duniawi. Ia menyebutnya sebagai 'kejahatan nafsu daging, kegilaan nafsu birahi yang liar. Pada usia mudanya juga ia belajar filsafat Yunani kuno. Ia mengajar logika dan filsafat selam sembilan tahun.
Ia kemudian menganut ajaran neo-Platonisme. Kehangatan spiritual dari ajaran Plotinos menjadi jembatan baginya untuk menjadi kristen. Ia dibaptis pada malam paskah tahun 387 oleh Ambrosius, tahun 391 ditahbiskan menjadi seorang imam dan 395 diangkat menjadi uskup di wilayah Hippo. (bdk. Simon Lili, Petualangan Intelektual 110-111). Ia wafat pada tanggal 28 Agustus 430.
Hidup Batin: Terarah dan Dekat Dengan Allah dan Diri Sendiri
Kekhasan pandangan Agustinus adalah keterarahan atau fokus gagasannya pada Allah: 'aku mengenal diriku hanya didalam terang kebenaran dari Dia, yang selalu mengenal (menciptakan) aku' Bagi saya keterarahan pemikirannya pada Tuhan merupakan bentuk kesadaran dan kedalaman dari hidup batin Agustinus, Karenanya dalam tulisan ini saya melihat kedekatan, keterarahan gagasan dan hidupnya itu sebagai bentuk hidup batin atau spiritualnya. Kedekataanya juga pada Tuhan tidak terlepas dari pengalaman masa mudanya, sebagaimana dikatakan Simon Lily 'jiwa resah yang mendambakan Allah'.
Kedekatan Allah dengan manusia disadari Agustinus dengan suatu intensitas yang sangat luar biasa. 'Agustinus menyadari bahwa pengetahuan filsafat yang diperolehnya tidak akan pernah mengantarnya pada kebenaran sejati. Ia merasa kurang puas dengan filsafat-filsafat yang tidak sampai pada kebenaran itu sendiri, yang tidak sampai pada Allah' (The Fathers, 251).
Ia menghendaki filsafat tidak hanya menghantar pada seorang Allah yang hanya merupakan hipotesis terakhir dari kosmologia, melainkan Allah yang benar, Allah yang memberikan kehidupan dan masuk dalam hidup pribadi manusia. Tidak cukup baginya untuk berfilsafat (rasio) saja tanpa praksis hidup baik yang berada dalam relasi keintiman (dekat dan terarah) dengan sang Kebenaran (iman).
Iman dan rasio menjadi dua kekuatan yang menuntun pada pengetahuan dan menemukan kebenaran untuk percaya pada Allah. Agustinus menguraikan bahwa dengan iman manusia dapat mengembangkan pengetahuan, begitu juga sebaliknya dengan pengetahuan manusia dapat meneguhkan imannya.
Crede ut intelligas, intellige ut credas: percaya untuk bisa mengetahui dan upayakan pengetahuan agar dapat percaya, menjadi kekhasan idenya (The Fathers, 252). Dua unsur ini dalam kacamata saya adalah sebuah bentuk kesadaran dari Agustinus akan pentingnya memahami tidak hanya dengan rasio, tetapi juga dengan hati atau batin.