Goreng memilih membawa sebuah novel karya Miguel de Cervantes berjudul Don Quijote (Quixote). Novel dengan jumlah 863 halaman ini diterbitkan dalam dua volume pada tahun 1605 dan 1615 dengan judul lengkapnya 'Don Quixote de la Mancha'.
Kita lanjutkan tentang filmnya, ketika Goreng terbangun di sel beton yang ditandai dengan angka 48 teman satu selnya, Trimagasi, menjelaskan bahwa mereka berada di penjara bergaya menara tempat makanan dikirim melalui platform yang bergerak dari atas ke bawah melalui lubang besar di lantai dan langit-langit.
Film ini tidak menggambarkan seseorang sebagai yang pribadi bermoral baik atau buruk. Kisah dalam film lebih berusaha membangkitkan gairah tanya dalam situasi-situasi dilematis. Apa yang akan kita lakukan jika menemukan diri kita berada di lantai 250 atau di lantai 48, dilantai 333, atau dilantai 6. Lantai berapapun kita berada, di situ kita akan memahami hidup kita.
Film ini mengajarkan tentang solidaritas dan bagaimana mengatakan cukup untuk sesuatu yang semestinya cukup. Saking menantangnya, walaupun fobia darah, alur film ini memaksa saya bertahan menonton sampai akhir. Solidaritas! Bagaimana menghidupkam solidaritas di ambang maut. 'Makan atau dimakan' kata Trimagasi.
Para tahanan yang berada di lantai atas akan memiliki peluang untuk menikmati banyak jenis makanan. Semakin kebawah semakin sedikit sisa makanannya,bahkan kosong untuk sampai pada tingkat terendah. Maka makan dan memakan menjadi persoalan baru untuk lantai paling rendah. Ada di lantai paling atas, memberikan kesempatan yang besar untuk para penghuniya memakan semua makanan yang dihidangkan. Tidak peduli apakah mereka yang ada di lantai bawah akan mendapat porsi makan.
Gambaran, dari atas ke bawah, mungkin bisa di tempatkan dalam kacamata sistem kapitalisme, yang mana yang di atas menguasai yang di bawah. Yang bermodal menguasai yang miskin dan papa.
Borjuis menguasai proletar.
Menurut komentar teman kosan saya inilah fenomena kehidupan yang sebenarnya ingin disiratkan The Platform. Kesenjangan dalam masyarakat sosial ternyata tidak semata ada antara yang miskin dan kaya, tetapi juga antara yang memiliki akses dekat dengan sumber daya.
Distribusi sumber daya (dalam film digambarkan dengan makanan) seharusnya dilaksankan dengan baik, tetapi cendrung kebablas.
Praktek sistem politik juga merupakan sisi lain yang disoroti film ini, sebagaimana pemimpin yang berjiwa sosialis terjatuh atau cendrung tirani. Goreng dan Baharat (representasi sosialis) berjuang untuk membagi makanan secara adil agar bisa sampai pada sel 250.
Dalam proses pendistribusian tersebut kekerasan terjadi. Bagi saya ini adalah gambaran kehidupan saat ini. Penguasa atau kaum sosialis cendrung terjerumus dalam praktek kekerasan, 'solidaritas kotor' kadang terjadi dalam praksis hidup manusia.