Mohon tunggu...
Fransiskus Sardi
Fransiskus Sardi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lulus dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Program Filsafat

Follow ig @sardhyf dan ig @areopagus.2023 “Terhadap apa pun yang tertuliskan, aku hanya menyukai apa-apa yang ditulis dengan darah. Menulislah dengan darah, dan dengan begitu kau akan belajar bahwa darah adalah roh” FN

Selanjutnya

Tutup

Film

"The Platform", Semoga Malam Minggu Hujan

15 September 2021   23:13 Diperbarui: 15 September 2021   23:15 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Fransiskus Sardi, Oepaha NTT

Dari Laki Lucky

Setiap malam minggu, teman angkatan saya di 'Penjara Suci', selalu memposting status di Whatsappnya. Statusnya demikian: "SEMOGA MALAM INI HUJAN". Postingan ini PASTI akan selalu ada di layar story wa setiap malam minggu. Tidak peduli malam minggu akan hujan atau tidak, dia tetap saja konsisten dan setia memposting tulisan tersebut. Terkabul atau tidak, itu bukan urusannya, yang penting dia memiliki harapan,semoga malam minggu hujan.

SEMOGA MALAM MINGGU HUJAN, Sebagai 'mantan Napi', saya meraba-raba kalau pembuat story adalah seorang yang sangat peduli dengan situasi negara. Dia mengharapkan malam minggu hujan supaya tidak ada satu manusiapun yang berkeliaran selama masa pandemi. 

Pembuat story memiliki hati keibuan, berjiwa nasionalis, dan pencinta NKRI dan ada banyak barisan litani kebaikan yang patut disematkan untuknya. Dalam paradigma saya, postingan tersebut adalah gambaran kedewasaan dan karakter positif dari pembuat story.

The Platform, Malam Minggu di kos

Saya akhirnya memutuskan untuk menghabiskan malam minggu untuk menonton film. Hujan atau tidak, saya akan selalu menonton satu film di setiap akhir pekan. 

Beberapa minggu lalu, saya menonton film The Platform. Film ini bercerita tentang menara berukuran besar bernama "Vertical Self-Management Center, dimana penghuni yang secara berkala bertukar secara acak antara lantai, diberi makan melalui platform yang awalnya berisi hidangan makanan, yang secara bertahap turun ke setiap lantai. Semua hidangan sejatinya cukup untuk semua penghuni sel,

El Hoyo demikian judul bahasa Spanyol dari Film The Platform, genre horor-thriller disutradarai oleh Galder Gaztelu-Urrutia. El Hoyo atau The Platform ditulis oleh David Desola dan Pedro Rivero. Film ini merupakan pemenang People's Choice Award di Toronto International Festival Film tahun 2019 (TIFF), Festival Film Internasional Toronto. 

Dibintangi oleh Ivn Massagu, Antonia San Juan, Zorion Eguileor, Emilio Buale, serta Alexandra Masangkay. Film The Platform berdurasi sembilan puluh empat menit. The Platform mengisahkan tentang sistem kehidupan manusia, dan nilai tentang betapa peliknya persoalan kehidupan manusia. Paling penting lagi adalah bagaimana cara mempertahankan kehidupan dalam keadaan tertekan. Saya menonton film ini dengan subtitle Indonesia.

Film The Platform mengisahkan tokoh call Goreng (Ivn Massagu) yang berjuang mempertahankan kehidupan selama enam bulan dalam sebuah penjara vetikal, di mana sel-sel tahanan bertumpuk hingga 333 sel. 

Goreng masuk ke dalam penjara secara sukarela demi iming-iming mendapat gelar diploma. Biasanaya para tahananan diperkenankan untuk membawa satu barang pilihan yang disediakan oleh pengelola. Sebelum masuk ke dalam sel tersebut ada interview pribadi.

Goreng memilih membawa sebuah novel karya Miguel de Cervantes berjudul Don Quijote (Quixote). Novel dengan jumlah 863 halaman ini diterbitkan dalam dua volume pada tahun 1605 dan 1615 dengan judul lengkapnya 'Don Quixote de la Mancha'. 

Kita lanjutkan tentang filmnya, ketika Goreng terbangun di sel beton yang ditandai dengan angka 48 teman satu selnya, Trimagasi, menjelaskan bahwa mereka berada di penjara bergaya menara tempat makanan dikirim melalui platform yang bergerak dari atas ke bawah melalui lubang besar di lantai dan langit-langit.

Film ini tidak menggambarkan seseorang sebagai yang pribadi bermoral baik atau buruk. Kisah dalam film lebih berusaha membangkitkan gairah tanya  dalam situasi-situasi dilematis. Apa yang akan kita lakukan jika menemukan diri kita berada di lantai 250 atau di lantai 48, dilantai 333, atau dilantai 6. Lantai berapapun kita berada, di situ kita akan memahami hidup kita.

Film ini mengajarkan tentang solidaritas dan bagaimana mengatakan cukup untuk sesuatu yang semestinya cukup. Saking menantangnya, walaupun fobia darah, alur film ini memaksa saya bertahan menonton sampai akhir. Solidaritas! Bagaimana menghidupkam solidaritas di ambang maut. 'Makan atau dimakan' kata Trimagasi.

Para tahanan yang berada di lantai atas akan memiliki peluang untuk menikmati banyak jenis makanan. Semakin kebawah semakin sedikit sisa makanannya,bahkan kosong untuk sampai pada tingkat terendah. Maka makan dan memakan menjadi persoalan baru untuk lantai paling rendah. Ada di lantai paling atas, memberikan kesempatan yang besar untuk para penghuniya memakan semua makanan yang dihidangkan. Tidak peduli apakah mereka yang ada di lantai bawah akan mendapat porsi makan.

Gambaran, dari atas ke bawah, mungkin bisa di tempatkan dalam kacamata sistem kapitalisme, yang mana yang di atas menguasai yang di bawah. Yang bermodal menguasai yang miskin dan papa. 

Borjuis menguasai proletar. 

Menurut komentar teman kosan saya inilah fenomena kehidupan yang sebenarnya ingin disiratkan The Platform. Kesenjangan dalam masyarakat sosial ternyata tidak semata ada antara yang miskin dan kaya, tetapi juga antara yang memiliki akses dekat dengan sumber daya. 

Distribusi sumber daya (dalam film digambarkan dengan makanan) seharusnya dilaksankan dengan baik, tetapi cendrung kebablas.

Praktek sistem politik juga merupakan sisi lain yang disoroti film ini, sebagaimana pemimpin yang berjiwa sosialis terjatuh atau cendrung tirani. Goreng dan Baharat (representasi sosialis) berjuang untuk membagi makanan secara adil agar bisa sampai pada sel 250. 

Dalam proses pendistribusian tersebut kekerasan terjadi. Bagi saya ini adalah gambaran kehidupan saat ini. Penguasa atau kaum sosialis cendrung terjerumus dalam praktek kekerasan, 'solidaritas kotor' kadang terjadi dalam praksis hidup manusia.

The Platform adalah gambaran menarik nan menantang tentang realita kehidupan. 

Perpindahan dari ruang tahanan yang satu ke tahanan yang lain adalah gambaran dinamika perjalanan hidup manusia: roda berputar, kadang di atas, kadang di bawah, tertindas dan menindas, makan dan dimakanm dst. 

Bagaimanapun kita menempatkan diri ketika berada 'di atas':  kapitalis, sosialis dan penguasa, dan ketika berada 'di bawah': marginal, kaum papa dan miskin. Akhirnya, saya biarkan imajinasi dan interpretasi kita berperang. 

Bagi saya dengan kesimpulan open ended, The Platform, tidak mengubah dunia, tapi bisa mengubah penonton. 

Mungkin kita! Jika anda punya waktu luang di malam minggu, entah hujan atau tidak, nontonlah the platform. Di sana ada kisah tentang kehidupan yang sangat menarik. SEMOGA MALAM MINGGU HUJAN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun