Mohon tunggu...
Fransiskus Sardi
Fransiskus Sardi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lulus dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Program Filsafat

Follow ig @sardhyf dan ig @areopagus.2023 “Terhadap apa pun yang tertuliskan, aku hanya menyukai apa-apa yang ditulis dengan darah. Menulislah dengan darah, dan dengan begitu kau akan belajar bahwa darah adalah roh” FN

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Berdamai dengan Corona ala Sisifus dan Ayub

12 September 2021   19:50 Diperbarui: 12 September 2021   20:24 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Penderitaan dan kebahagian adalah dua putra dari satu bumi' demikian kata Camus dalam mitos tersebut. Keduanya tak terpisahkan. Bagi saya disinilah titik temu antara mite tersebut dengan pandemi Covid-19; berdamai dengan penderitaan; berdamai dengan makhluk renik, bernama corona. 

Berdamai dengan corona dalam permenungan saya bukan berarti menyerahkan diri untuk diserang dan dijangkit oleh virus. Berdamai dengan corona berarti berjuang untuk mulai menerima sebuah gaya hidup normal baru (new normal life) di tengah wabah seperti Sisifus di tengah penderitaannya. 

Kalau manusia terbiasa untuk menerima kebaikan, lalu mengapa harus menolak penderitaan. Berada dalam kesusahan (penderitaan) bisa membuat kita kembali bersyukur atas apa yang telah kita miliki dalam sejarah perjalanan hidup kita.

Menerima penderitaan (wabah corona) sebagai bagian dari hidup, atau pun sebagai sebuah pola hidup baru adalah hal yang memang cukup sulit untuk diterima dalam keseharian hidup manusia. 

Rutinitas keseharian yang biasanya selalu dalam relasi sosial sebaga makhluk sosial, perlahan geser oleh kecemasan dan sikap mawas diri. 

Kebutuhan psikologis untuk membangun intimitas dibatasi oleh sebuah wabah. Setiap pribadi selalu merasa was-wasan berinteraksi dengan liyan. Ada ketakutan untuk berelasi secara terbuka di ruang publik, dengan motif untuk mengurangi penyebaran dan penularan makhluk renik ini.

Ketidakjelasan kapan berakhirnya wabah ini juga membuat kita mesti berjuang untuk berdamai dengan covid-19, dan resolusi pasca wabah. Membiasakan diri untuk menerima wabah menjadi hal penting saat ini. Ayub dalam kisah Kitab Suci, bisa juga digambarkan sebagai tokoh yang mampu menerima penderitaan. 

Seperti Sisifus yang awalnya meronta-ronta dan menolak penderitaan, Ayub juga demikian. Ayub menolak untuk mengutuk Allah, dan bahkan ia menerima semua penderitaanya dengan suatu sikap penyerahan diri yang total. Ia memiliki keyakinan bahwa tulah yang menimpanya akan segera berakhir. 

Adalah sebuah kebohongan jika harus memberontak, jika pemberontakan itu tidak menemukan hasil. Kisah Ayub dalam Kitab Suci dan mitos Sisisfus, bagi saya bisa mewakili bentuk pemberontakan dengan mendiamkan penderitaan itu sendiri, menerimanya dengan lapang dan mengakuinya sebagai bagian dari hidup.

Di tengah wabah saat ini, kita diajak untuk belajar dari Sisifus dan Ayub, khususnya dalam kaitannya sikap penerimaan akan penderitaan. 

Menyadari penderitaan sebagai hal yang tak terpisahkan dari hidup seperti Sisifus dan melapangkannya dalam doa yang khusuk dan berkanjang seperti Ayub pada saat mendapat tulah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun