Di beranda rumah, saya duduk merenung sambil menatap senja. Yaa… senja… Senja akan selalu indah, kata pacarku kala kami bersua di ujung dermaga kala itu.
Saya mengenang kembali semua kisah-kisah kami menikmati indahnya semua pantai di kotaku setiap akhir pekan. Pantai dan senja selalu menjadi tempat favorite kami untuk berbagi suka dan kepenatan hidup.
Kami selalu berjuang menghilangkan semua kelelahan selama kuliah sepekan di alam indah itu. Biasanya kami selalu mengunjungi pantai di setiap petang, hanya untuk menyaksikan indahnya sang mentari yang perlahan pergi di sore hari.
Biasanya saat-saat seperti itu, kami selalu beradu pandang di bawah saksi bisu alam yang dihiasi senja.
Kekasihku berceloteh banyak tentang senja, dan saya hampir tidak bisa mengingat semua syair-syair indahnya tentang senja. Namun, ada satu hal yang selalu membekas di hatiku.
Dia berkali-kali mengatakan bahwa senja yang indah selalu ada setiap petang, entah bagaimana dan apapun keadaannya. Di saat hujan pun senja masih indah tersenyum dari balik awan tebal.
Awalnya aku berpikir itu biasa-biasa saja, karena senja memang akan selalu ada, walaupun dia tidak pernah bertahan lama memancarkan keindahannya.
Aku baru memahami betapa dalam dan bermakna ucapannya itu setelah senja itu benar-benar pergi dan tidak pernah bisa kami tatap lagi berdua di pantai favorite kami.
Awan tebal selalu ada setiap hari, dan aku tidak pernah bisa menjadi saksi kepergiannya. Dia pergi dan beralih selamanya oleh kelamnya gelap malam, dan aku membisu kikuk di balkon ini sendiri sepanjang hari.
Entah mengapa, hari ini Sang Khalik mengizinkan aku untuk kembali menatap senja, tapi dari bubungan rumahku. Lama dia pergi, kini ia kembali lagi mewarnai langit sore.