Mohon tunggu...
Sarah Teplaka
Sarah Teplaka Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya suka menulis dan bercerita

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Teman Sejati Bab 2

4 Juli 2024   16:12 Diperbarui: 4 Juli 2024   16:21 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tengah bermain basket (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Sebelumnya.

Widya bicara panjang lebar diseberang telepon itu, Bunga mendengar dengan seksama walaupun ia sudah lelah dan telinganya terasa panas hingga…

“Tunangan?”

Mata Lia terbelalak tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar itu, Bunga menutup panggilan telepon itu. Tubuh Bunga lemas seakan tak ada lagi gairah untuk hidup begitu mendengar kabar itu. Pandangan Bunga juga mulai kabur tapi ini bukan karena depresi lebih tepatnya karena ia sudah lapar.

"Gue laper banget nih, kita makan yuk," ajak Bunga tak berdaya.

Sepanjang jalan menuju ke restoran, Lia tak mengeluarkan sepatah katapun, ia tahu kalau Bunga diam membisu seperti ini artinya harinya sangat berat dan Lia tak mau menambah beban di dalam hati Bunga saat ini.

"Kita makan disini ya," ucap Lia seraya memarkirkan mobilnya. Bunga hanya diam saja, ia tak perduli lagi saat ini. Bunga hanya ingin makan saja, mengisi perut yang sudah keroncongan itu. Lia dan Bunga bergegas turun dari mobil. Bunga segera masuk ke dalam restoran sedangkan Lia langsung mengurus makanan yang akan mereka pesan itu.

Bunga duduk sendiri, merenung apa yang baru saja dikatakan oleh mamanya barusan.

Perjodohan anak SMA memang ada ya? Kok Bunga baru tahu ya, Ma. 

Itu pesan yang baru saja Bunga kirim ke Widya, mamanya. Antara bingung serta sedih kini tengah bercampuk aduk di dalam hati Bunga saat ini. Ia tak menyangka hal ini akan ia alami. Bunga masih ingin berteman dengan banyak orang bahkan lawan jenis namun rasanya hal ini tak adil bagi dirinya.

"Eh cupu, loe kesini juga ya?" tanya salah seorang siswa SMA yang datang bersama gerombolannya.

Bunga mengangkat kepalanya, ia menatap mereka lalu berkedip beberapa kali dan...

Bruk...

Salah satu dari mereka melemparkan tasnya ke meja makan hingga menghasilkan bunya yang begitu keras. Bunga akhirnya tersadar kalau mereka adalah anak SMA Angkasa yang tadi mengejek dirinya karena tak sengaja menabrak teman mereka itu.

"Minggir loe, kita mau makan disini," ucap salah seorang siswa bertubuh tambun itu.

Lalu seorang anak laki-laki datang, ia masih mengenakan baju basketnya lalu menepuk pundak seorang anak perempuan, "Kita cari tempat lain aja, dia kan udah duluan duduk disitu."

"Ya ampun, Liam. Loe bener-bener ngegemesin banget sih, bae banget loe jadi orang."

"Biarin aja Liam, dia aja yang cari tempat lain."

Liam mendekati Bunga, "Loe engga usah pindah, biar kami aja yang cabut dari sini ya."

Dada Bunga berdebar kencang, tatapan mata serta tutur kata itu begitu menghanyutkan sehingga Bunga tak merespon sama sekali, mematung tak bergerak bahkan setelah Liam dan teman-temannya pergi.

Lia melirik anak SMA yang baru saja meninggalkan Bunga itu, ia khawatir kalau penyamaran Bunga terungkap. Lia bergegas menemui Bunga, dengan baki berisi makanan dan minuman itu. Ia berlari dan mengecek kondisi...

Bunga mematung sedangkan Lia sudah panik setengah mati.

"Kamu engga papa?"

Bunga mengelengkan kepalanya namun rona merah tersipu itu tak dapat ia tutup karena nampak begitu jelas diwajahnya yang putih bersih itu.

Cie...

Lia meledek Bunga lalu Bunga langsung mengambil soft drink yang ada dihadapannya lalu menyedot habis minuman itu tanpa sisa.

***

Sesampainya di rumah, Widya langsung menyambut puteri semata wayangnya itu dengan pelukan hangat namun Bunga menepisnya. Ia segera berlari menuju ke kamarnya.

"Angelica kenapa ya?" tanya Widya khawatir. Lia menggelengkan kepalanya, ia juga tak tahu menahu apa yang tengah dirasakan oleh gadis muda itu.

Widya segera naik ke lantai dua rumah itu untuk mengecek kondisi Angelica setelah Lia pamit pulang. Tangan Widya sudah bersipa untuk mengetuk pintu kamar namun rupanya pintu itu tak ditutup. Widya segera masuk ke dalam kamar, ia menatap Angelica yang tengah memeluk boneka beruangnya itu.

"Capek ya?" tanya Widya seraya berjalan mendekati ranjang Angelica. Tak ada suara yang keluar untuk menyahut, Angelica memilh bungkam, ia tak mau beradu argumen seperti yang kerapkali ia lakukan saat tak setuju dengan pendapat Widya.

"Tadi gimana sekolahnya? Baguskan ya?" tanya Widya sekali lagi. Angelica mengangguk.

Widya mengelus rambut hitam panjang itu dengan lembut, "Mama tahu kamu pasti kagetkan waktu denger berita itu tapi Mama merasa kamu harus tahu sekarang."

Angelica menatap mata Widya, "Ma, ini tuh aneh banget. Masa Mama sama Papa mau ngejodohin aku."

Widya berhenti mengelus rambut puterinya itu, ia memegang tangan Angelica lalu menatap sepasang mata cokelat itu, dalam, "Kamu sudah SMA dan banyak yang suka sama kamu. Kami hanya takut kamu sudah terlalu cinta sama seseorang padahal kamu sudah kami jodohkan sejak kecil."

"Ma, inikan jamannya udah beda loh. Bukan lagi jaman Siti Nurbaya, Ma!"

Widya mengerti kegundahan hati anaknya itu, namun ia juga tak bisa mengingkari janji yang sudah ia buat bersama dengan sahabat baiknya itu. Widya dan Rudi tetap melanjutkan perjodohan itu entah Angelica suka atau tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun