Beragam aksi dan kampanye go green untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kondisi lingkungan mulai marak bermunculan. Kampanye bertemakan go green tidak terbatas pada aksi demonstrasi dengan turun ke jalan saja, tetapi juga merambah media sosial.
Topik-topik sustainable living, zero waste, eco-friendly, dan hal serupa menjadi persona tersendiri bagi akun-akun influencer di media sosial. Kampanye go green kini bukan hanya sebuah gerakan melestarikan lingkungan, melainkan telah berkembang menjadi tren dan gaya hidup dalam masyarakat.
Kemunculan akun-akun influencer yang membangun persona sebagai penggiat sustainable living dan ecofriendly menggait banyak pengikut. Influencer yang kerap dianggap sebagai key opinion leader dalam masyarakat dapat dengan mudahnya mempromosikan produk dengan klaim-klaim greenwashing tanpa riset lebih dalam terkait pembuktian klaim tersebut.Â
Key opinion leader atau mereka yang dianggap sebagai sosok yang dapat dipercaya dan memiliki pengaruh terhadap massa yang besar dapat menjadi perpanjangan tangan dari praktik greenwashing industri besar.
Mereka yang terinspirasi atas dasar kesadaran menjaga lingkungan akan mengikuti gaya hidup ecofriendly yang tampak pada media sosial dengan membeli produk-produk dengan klaim eco-friendly yang dipromosikan para influencer.
Peningkatan kesadaran sebagian masyarakat akan isu lingkungan menjadi pemantik bagi industri-industri yang belum menjadikan kesejahteraan lingkungan sebagai prioritasnya.Â
Penggiat sustainable living pun beralih pada produk-produk yang lebih ramah lingkungan dan menghindari produk dari perusahaan dengan industri yang terindikasi merusak lingkungan. Melihat segmen pasar gaya hidup "hijau" yang kian meningkat, perusahaan dipaksa memutar otak agar tidak kehilangan konsumennya.
Perusahaan industri berat yang kian terdesak dengan gerakan aktivisme lingkungan melakukan berbagai cara untuk memasarkan produk-produknya. Agar tetap dapat menarik perhatian publik dan tetap relevan dengan isu terkini, perushaan mulai melabeli produknya dengan jargon-jargon ramah lingkungan. Klaim biodegradable, organik, nature friendly dan jargon serupa mulai tersemat pada produk komersial. Â
Hal ini dilakukan sebagai strategi perusahaan untuk mempromosikan bahwa produk serta seluruh proses produksinya tidak berdampak buruk pada lingkungan.
Hanya Sebatas Klaim Kosong
Tampak dari permukaan, klaim-klaim ramah lingkungan pada produk terdengar meyakinkan. Akan tetapi, bukan tidak mungkin klaim-klaim tersebut hanya klaim sepihak yang belum teruji kebenarannya. Klaim yang tidak berdasar pada uji secara sains ini kemudian hanya menjadi bagian dari strategi promosi dan pemasaran produk-produknya.Â
Agenda perusahaan demi menciptakan persepsi dalam masyarakat bahwa produknya ramah lingkungan ini disebut dengan istilah greenwashing. Istilah greenwashing pertama dikenalkan oleh Jay Westervelt pada 1980-an.Â
Kritik yang disampaikan pada esai garapannya memuat inti sari yang sama, yaitu bagaimana industri mengelabui konsumen dengan klaim-klaim ramah lingkungan tak berdasar.
Klaim tersebut dibuat untuk menarik konsumen yang peduli dengan masalah lingkungan serta menambah keuntungan perusahaan.
Fenomena greenwashing kini dapat terlihat dari produk-produk kemasan sekali pakai yang mulai mencantumkan klaim-klaim pro lingkungan dalam memasarkan produknya. Mulai ditemukan kemasan sekali pakai dengan klaim biodegradable atau dapat terurai secara alami oleh lingkungan.Â
Beberapa produk fast fashion, industri tekstil yang perputarannya sangat cepat dan mengikuti tren, juga memberi klaim bahwa produknya menggunakan bahan daur ulang.
Akan tetapi, tidak ada landasan pasti yang menjamin berapa lama dan bagaimana caranya bahan kemasan tersebut terurai secara alami. Tidak ada pula penjelasan dan bukti terkait persentase bahan daur ulang yang digunakan untuk memproduksi pakaian tersebut.
Promosi yang sarat akan greenwashing melalui berbagai media, dari iklan hingga promosi oleh para key opinion leader, dapat berdampak buruk pada aktivisme lingkungan yang sesungguhnya.Â
Masyarakat yang kemudian mengenali praktik greenwashing dapat mengambil sikap untuk mewaspadai dan selektif terhadap produk yang akan dikonsumsi. Akan tetapi, maraknya praktik greenwashing juga dapat menimbulkan skeptisisme dalam masyarakat terhadap gerakan peduli lingkungan yang sesungguhnya.
Gempuran informasi melalui internet pada era globalisasi ini menjadi salah satu hal yang memengaruhi kesadaran masyarakat akan masalah lingkungan.
Hal ini salah satunya terlihat dari pencarian kata kunci "ramah lingkungan" pada Google yang tampak meningkat selama lima tahun terakhir.Â
Masyarakat mulai mencari tahu bagaimana cara menerapkan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan. Dari banyaknya cara untuk mewujudkannya, menggunakan produk-produk dengan klaim eco-friendly dan meninggalkan produk dari perusahaan dengan citra perusak lingkungan tampak seperti hal yang menjanjikan.
Kesadaran masyarakat akan permasalahan lingkungan juga memengaruhi perubahan perilaku konsumen dalam membeli produk, sehingga konsumen menginginkan produk yang ramah lingkungan (Giarti & Santoso, 2015). Maraknya promosi produk dengan klaim-klaim ramah lingkungan yang tidak berdasar seakan merusak kepercayaan masyarakat untuk mulai menerapkan gaya hidup eco-friendly.Â
Persepsi greenwashing muncul dari keyakinan para konsumen bahwa suatu perusahaan tengah melakukan tindak komunikasi untuk memasarkan produknya sebagai produk yang ramah lingkungan. Akan tetapi, klaim dalam promosi tersebut tidak diwujudkan dalam tindakan yang nyata.
Oleh karena itu, konsumen membangun persepsi negatif yang membuat mereka tidak mau membeli produk perusahaan tersebut.
Persepsi negatif terhadap klaim-klaim ramah lingkungan pada produk di pasaran dapat berdampak pada perjuangan mewujudkan Sustainable Development Goals. Ketidakpercayaan terhadap produk-produk ramah lingkungan dapat menimbulkan kecurigaan, keraguan, hingga sikap skeptis terhadap produk-produk dengan klaim serupa. Skeptisisme dalam masyarakat yang tidak diiringi literasi dan pemikiran kritis dapat membangun stigma buruk tentang produk ramah lingkungan.
Produk ramah lingkungan dapat dianggap sebagai akal-akalan industri untuk meraup lebih banyak keuntungan melalui segmen pasar penggiat lingkungan.Â
Persepsi produk ramah lingkungan yang telanjur dianggap greenwashing akan mempersulit pemasaran produk-produk yang secara nyata mempraktikkan produksi ramah lingkungan.Â
Stigma negatif tersebut dapat menurunkan minat masyarakat dalam membeli produk dari industri dengan klaim ramah lingkungan. Hal ini dapat menghambat tercapainya poin-poin SDGs terkait pilar pembangunan lingkungan. Oleh sebab itu, masyarakat perlu memiliki sumber informasi yang relevan dan terpercaya terkait isu-isu lingkungan.
Peningkatan kesadaran yang diiringi dengan aksi kepedulian terhadap kondisi lingkungan tentu sebuah kemajuan yang baik. Akan tetapi, hal ini perlu diiringi dengan pengetahuan untuk memilah informasi terkait isu lingkungan.Â
Sumber informasi terkait gaya hidup ramah lingkungan tidak bisa semata-mata didapat dari satu sumber bacaan atau sekadar berdasarkan pada omongan influencer media sosial yang tidak memiliki latar belakang relevan.
Mempercayai klaim-klaim ramah lingkungan dengan mentah-mentah tanpa terlebih dahulu melakukan riset dan validasi klaim dari berbagai sumber bacaan dapat berujung pada jebakan klaim greenwashing perusahaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H