Sebagai mahasiswa salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Jatinangor, sudah kebal rasanya ketika lokasi kampus sarjana saya disalah pahami berada di Bandung. Dalam bayangan orang-orang, berkuliah di Unpad acap kali dikaitkan dengan ragam romansa Bandung dan glorifikasi akan betapa nikmatnya tinggal di Bandung, ketimbang berada di Ibu Kota.Â
Padahal, tinggal di kota minim fasilitas transportasi umum dan dilengkapi jalanan super macet juga tidak nikmat-nikmat amat---tetapi ini akan jadi bahasan di lain waktu, sekarang mari fokus pada Jatinangor dan segudang problematikanya.
Meskipun belum cukup populer eksistensinya, siapa sangka kecamatan kecil di Kabupaten Sumedang ini menjadi rumah untuk empat perguruan tinggi, yaitu Institut Pemerintah Dalam Negeri (IPDN), Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Padjadjaran.Â
Kehadiran empat perguruan tinggi besar ini membuat Jatinangor terasa hidup berkat aktivitas para mahasiswa. Setelah kurang lebih dua tahun sepi akibat pandemi dan kegiatan serba online, kini Jatinangor perlahan kembali ramai dengan riuh rendah mahasiswa, para pedagang---mulai dari penjual perabotan kosan hingga ayam geprek---dan tak terkecuali beragam kendaraan yang melintasi jalan raya.
Indekos yang satu persatu mulai penuh menandakan kembalinya aktivitas para mahasiswa di kampus. Rombongan mahasiswa serta pelajar setempat berjalan di pinggir jalan raya Jatinangor yang tampak polos tanpa trotoar sudah jadi pemandangan setiap harinya. Lumrah pula ditemui mahasiswa yang saling menunggu agar bisa menyeberang jalan bersama, sebab sudah jadi rahasia umum bahwa menyeberang di jalan raya Jatinangor memang cukup menegangkan. Serasa ikut survival game.
"Belum jadi anak Unpad kalau nyeberang di gerlam masih nungguin orang" Bunyi cuitan yang diunggah di akun Twitter @DraftAnakUnpad. Gerlam, singkatan dari Gerbang Lama, adalah gerbang yang biasa digunakan pejalan kaki untuk masuk ke wilayah Unpad. Sebagai salah satu kawasan yang selalu ramai di Jatinangor, penyeberangan menuju Gerlam dari arah kantor kecamatan memiliki zebra cross dengan peletakan yang cukup unik.Â
Pasalnya, zebra cross diletakkan tepat setelah tikungan yang menurun, sehingga sulit bagi penyeberang untuk melihat kendaraan dari arah tikungan. Belum cukup dengan keunikan tersebut, perlu diingat bahwa jalan raya hampir selalu dilewati kendaraan besar. Dari pagi hingga pagi lagi, tak terhitung berapa banyak truk dan bus yang melewati jalan raya dengan kecepatan yang kadang cukup tinggi. Kendaraan kecil seperti motor pun turut andil dalam mempersulit hidup pejalan kaki dengan laju kendaraan yang tinggi.
Sulitnya menyeberang di titik tertentu Jatinangor mungkin terdengar sepele. Akan tetapi, ini sebetulnya adalah wujud ketidakmampuan pemerintah untuk memenuhi hak pejalan kaki dengan memberi kenyamanan dan keamanan. Keluhan tentang betapa menyeramkannya menyeberang jalan tak hanya muncul dari satu dua orang.Â
Selama beberapa waktu terakhir telah banyak mahasiswa yang menyuarakan keresahan yang sama, tetapi tak tahu harus mengeluh ke mana dan hanya berakhir sebagai keluhan di media sosial.
Wacana pembangunan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) sebelumnya pernah terdengar pada awal 2020. Saat Menteri PUPR, Mochamad Basoeki Hadimoeljono, berkunjung untuk meresmikan Rumah Susun di kawasan Unpad, BEM Kema Unpad sempat mengusulkan pengadaan JPO di sekitar Unpad.Â