Mohon tunggu...
Sarah Hafifah
Sarah Hafifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Selamat datang di tulisan artikel saya!

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Fenomena Parental Burnout dan Strategi Pencegahannya dalam Pola Asuh Anak

17 Oktober 2024   01:07 Diperbarui: 27 Desember 2024   22:42 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

  Oleh: Sarah Hafifah

Mata Kuliah: B.indonesia

   

A. PENDAHULUAN  

Keluarga yang bahagia dari berbagai aspek adalah impian setiap sepasang insani yang terikat dalam hubungan pernikahan. Setiap pasangan dalam rumah tangga kelak akan menjadi orang tua bagi anak-anak yang terlahir atas hasil dari hubungan pernikahan yang terjalin. Setelah menikah, justru perencanaan selanjutnya adalah menentukan bagaimana seorang anak bisa mendapatkan hak didikan dan menerima pola asuh serta kasih sayang yang baik dari orang tuanya disamping pemenuhan berupa materi, nilai gizi pada makanan, nilai agama, Pendidikan sekolah, dan masih banyak lagi.

Tidak dipungkiri lagi, kehadiran seorang anak adalah impian setiap orang tua. Seorang anak adalah suatu anugerah yang datang dari Tuhan sebagai bentuk titipan berharga, sehingga orang tua manapun memikul tanggung jawab yang besar untuk membesarkan anak dengan pola asuh terbaik. Transisi menjadi orang tua dianggap sebagai salah satu pencapaian dalam hidup yang mendatangkan kebahagiaan (Ila Nursalida Ali Amran and Zilal Saari, 2021). Namun, bagi sebagian orang tua mengasuh anak bukanlah hal yang mudah dan dapat menjadi sebuah hal yang dirasa paling berat. Pada dasarnya peran orang tua adalah membimbing, mendidik, menjaga, dan melakukan pengawasan pada anak-anak. Karakter yang dimiliki setiap anak tentunya berbeda-beda.

Dalam masa pertumbuhan anak, buah hati memiliki tahap pertumbuhan yang beragam. Demikian juga dalam pembentukan karakter anak. Orang tua harus memahami perihal tersebut. Tidak jarang ditemukan anak yang sedang mengalami masa pertumbuhan cenderung aktif, sulit dan bahkan masih dalam masa belajar untuk mengenali emosional yang ada pada diri, situasi seperti itu dapat kita temukan dimana saja, tindakan-tindakan seperti perlawanan, perubahan suasana hati yang cepat dalam waktu singkat, membuat orang tua kewalahan, sehingga orang tua hendaknya stabil secara mental dan emosional untuk menghadapi situasi semacam ini. Belum lagi permasalahan diluar konteks pola asuh seperti persoalan finansial, manajemen waktu dalam dunia kerja, dan masih banyak lagi. Hal itu bukan lagi sebagai bentuk tuntuan bagi orang tua, tetapi stabil secara emosional sudah menjadi suatu keharusan demi langkah yang tepat dalam pola asuh anak.

 Akan tetapi ada banyak orang tua di luar sana yang lelah secara mental dalam pengasuhan anak dan kelelahan ini sering kali disalah artikan oleh banyak kalangan karena minimnya edukasi mengenai kelelahan mental pada orang tua. Untuk itu, perlu dilakukan langkah yang tepat untuk memaksimalkan emosional dan Kesehatan mental pada orang tua dalam pola asuh anak melalui pembahasan kali ini agar bisa memberikan informasi serta edukasi yang bisa menambah pengetahuan dan meminimalisir kelelahan mental dalam pola asuh atau yang dikenal sebagai Parental Burnout

 

  • PEMBAHASAN

Jadi, apa itu Parental Burnout?

Parental burnout adalah kondisi kelelahan yang intens yang terkait dengan peran sebagai orang tua, di mana seseorang merasa terputus secara emosional dari anak-anaknya dan meragukan kemampuannya untuk menjalankan peran orang tua dengan baik. Parental burnout merupakan suatu kondisi umum yang mungkin terjadi pada orangtua, namun dengan berbagai konsekuensi yang berdampak besar (Rahmani and Nashori, 2024). Definisi “Parental” mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan orang tua atau peran mereka dalam membesarkan dan merawat anak-anak. Sedangkan definisi “Burnout” adalah kondisi kelelahan mental, emosional, dan fisik yang intens, biasanya disebabkan oleh stres berkepanjangan atau frustrasi yang berlebihan.

Konsep burnout pertama kali diperkenalkan oleh Freudenberger pada tahun 1974. Burnout orang tua secara progresif menjadi masalah sosial yang serius di zaman modern sebagai akibat dari kontraksi antara harapan yang menuntut dan sedikit energi dalam mengasuh anak. Orang tua merasa sangat terkuras oleh pengasuhan sehingga sekadar memikirkan peran mereka sebagai orang tua membuat mereka merasa telah mencapai batas kesabaran. Akibatnya, mereka menjadi jauh secara emosional dari anak-anak mereka, tidak jarang menimbulkan ketegangan dalam hubungan antara orang tua dan anak. Pada hubungan antara orang tua dan anak, pola asuh terhadap anak tidak lagi berjalan dengan baik bahkan bisa memicu emosi negatif orang tua tersalurkan saat bercengkrama dengan buah hati, akibatnya juga bisa berdampak pada emosional anak

Ada banyak tantangan bagi orang tua saat membesarkan seorang anak. Jika kita melihat sekeliling, marak sekali kasus penelantaran bahkan kekerasan pada seseorang anak dalam ruang lingkup rumah tangga yang bahkan terjadi bukan tanpa sebab. Sebenarnya ada banyak motif yang mendasari terjadinya hal tersebut, Akan tetapi hal yang jarang disadari oleh banyak kalangan terutama orang tua yang sudah memiliki seorang anak adalah tingkat kesadaran mereka terhadap kesehatan mental mereka sebagai orang tua yang masih sangat rendah karena banyak orang tua yang merasa terbebani emosionalnya selama menghadapi banyak problema pada anak, hingga beban emosional itu berkembang menjadi suatu tekanan yang mempengaruhi pola pengasuhan pada anak.

Menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat 2.982 kasus yang terkait dengan pelanggaran perlindungan anak sepanjang tahun 2021. Dari jumlah tersebut, pengaduan terbanyak berkaitan dengan korban kekerasan fisik atau psikis, yang mencapai 1.138 kasus. Secara rinci, terdapat 574 kasus di mana anak menjadi korban penganiayaan, sementara 515 kasus lainnya melibatkan anak sebagai korban kekerasan psikis. Kekerasan yang dialami anak umumnya berasal dari lingkungan terdekat mereka seperti keluarga dan sekolah, di mana kedua lingkungan tersebut seharusnya menjadi tempat yang mampu melindungi dan memberikan rasa aman bagi anak-anak.

Tingginya persentase orang tua yang mengalami kelelahan itu sejalan dengan peningkatan kasus kekerasan anak yang dilakukan orang tua. Hal ini terjadi karena beban pengasuhan yang menyebabkan stres kronis yang sulit ditangani (Mlili, Ahabrach and Cauli, 2021). Di Indonesia, pada rentang tahun 2020- 2021 diketahui bahwa dari 164 responden, 15% orang tua (24 peserta) mengalami parental burnout tingkat tinggi, 64% orang tua (105 peserta) mengalami parental burnout tingkat sedang, dan 21 % orang tua (35 peserta) mengalami burnout tingkat rendah (Fazny, 2021).

Berdasarkan penelitian inovatif mereka mengenai gejala kelelahan mengonseptualisasikan empat dimensi kelelahan orangtua (Mikolajczak and Roskam, 2018), di antaranya orang tua merasa lelah terhadap perannya karena beranggapan bahwa menjadi orang tua adalah peran yang sangat menguras emosi, adanya perasaan bahwa diri sendiri tidak dapat menjadi orang tua sebaik orang tua mereka, perasaan muak dengan peran orang tua yang menyebabkan orang tua tidak menikmati waktu yang di habiskan bersama anak dan tidak bahagia dengan peran pengasuhan, dan orang tua secara emosional menjauhkan diri dari anak dengan membatasi interaksi.

Parental burnout termanifestasi melalui empat gejala utama. Pertama-tama, orang tua merasa lelah bahkan sangat lelah dengan peran pengasuhan mereka. Kemudian, dalam upaya untuk menghemat sedikit energi yang mereka miliki, orang tua yang kelelahan akan melepaskan diri secara emosional dari anak-anaknya. Setelah itu, orang tua tidak lagi menikmati kebersamaan dengan anak-anak mereka dan kehilangan kesenangan dalam mengasuh anak sampai terkadang mereka tidak mampu lagi menjalankan perannya sebagai orang tua. Gejala-gejala di atas terkadang bisa dialami oleh setiap orang tua. Hal yang membuat parental burnout menjadi kondisi psikologis yang mengkhawatirkan adalah jumlah gejala dan frekuensi yang dialami (Rahmani and Nashori, 2024).

Akan tetapi hal tersebut dianggap biasa terjadi oleh orang tua yang sedang mengalami tekanan atau bahkan orang lain yang tidak mengalami hal tersebut hingga ironisnya minim sekali dukungan dari orang-orang di sekitar terhadap orang tua yang sedang berada di fase ini. Bahkan, bukannya banyak menerima dukungan, orang tua yang sedang mengalami Parental Burnout cenderung dihadapkan dengan tuntutan dari lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial agar bisa menjadi orang tua yang sempurna dalam pengasuhan anak. walau seperti apapun situasinya. Apabila dibiarkan tekanan mental dalam pengasuhan anak akan mendatangkan depresi, kelelahan mental dan fisik yang luar biasa, serta stress tingkat tinggi.

      Menurut teori keseimbangan antara risiko dan sumber daya, kelelahan orang tua terwujud ketika orang tua bergulat dengan tuntutan pengasuhan kronis tanpa sumber daya yang cukup untuk mengatasinya. Seperti yang diusulkan oleh teori tersebut, untuk mengurangi penipisan sumber daya lebih lanjut, orang tua yang kelelahan mungkin cenderung mengadopsi perilaku mengabaikan atau mengendalikan terhadap anak mereka yang mengarah pada manifestasi gaya pengasuhan yang negatif (Van Bakel, Van Engen and Peters, 2018)

      Dalam beberapa survei, sebanyak 60 persen orang tua melaporkan pernah mengalami rasa lelah pada suatu waktu. Namun, banyak orang tua yang enggan mengakui bahwa mereka mengalami kelelahan mental. Sebagian orang tua beranggapan bahwa kelelahan dalam pola asuh adalah hal yang biasa terjadi serta adanya dorongan yang berbentuk paksaan terhadap diri sendiri untuk selalu berusaha menguatkan diri, tanpa ada yang bisa memvalidasi kelelahan mental dan emosionalnya. Sehingga mereka tidak menerima bantuan. Orang-orang sering kali percaya bahwa mereka diharapkan menjadi manusia super dalam hal mengasuh anak-anak mereka, dan kelelahan dapat membuat orang tua merasa tidak mampu.

   Studi terkini telah menunjukkan bahwa parental burnout pada orangtua memiliki dampak yang cukup signifikan dan sangat berpotensi merusak. Terkait dampak yang di timbulkan terhadap orang tua yang beresiko menimbulkan ide bunuh diri dan melarikan diri, tetapi juga dapat menyebabkan masalah eksternal seperti kecanduan zat dan gangguan perilaku serta gangguan tidur (Mikolajczak et al., 2018). Paparan yang berkepanjangan terhadap kondisi negatif ini mengakibatkan penurunan signifikan dalam kepuasan hidup dan kesejahteraan subjektif individu, dan sangat mungkin menyebabkan gejala depresi (Van Bakel, Van Engen and Peters, 2018)

Parental Burnout juga memberi dampak signifikan terhadap tumbuh kembang anak yang dapat bervariasi tergantung pada tingkat keparahan burnout. Anak-anak dari orang tua yang mengalami burnout berisiko lebih tinggi mengalami masalah emosional. Mereka mungkin kurang mendapat dukungan emosional yang dibutuhkan untuk perkembangan yang sehat (Roskam, Raes and Mikolajczak, 2017). Parental Burnout umumnya menyebabkan pengabaian terhadap sang anak, hal ini dapat berdampak pada pemenuhan kebutuhan fisik anak, yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fisik mereka. Anak-anak dari orang tua yang mengalami burnout mungkin berisiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan mental seperti kecemasan atau depresi (Gawlik, Melnyk and Tan, 2024). Burnout parenting dapat mengganggu interaksi positif antara orang tua dan anak. Hal ini dapat berdampak pada kemampuan anak dalam mengembangkan keterampilan sosial dan membentuk hubungan yang sehat (Roskam, Raes and Mikolajczak, 2017). Orang tua yang mengalami kelelahan umumnya mengurangi interaksi dan stimulasi yang berkualitas terhadap anak, sehingga dapat berpotensi menghambat perkembangan kognitif anak. Burnout parental dapat meningkatkan risiko masalah perilaku pada anak, termasuk perilaku agresif atau menarik dirI (Hansotte et al., 2021). Kemudian dapat dapat mempengaruhi perkembangan emosional dan sosial jangka Panjang karena gejala parental burnout dapat memicu terganggunya pembentukan kelekatan yang aman antara orang tua dan sang anak.

Parental Burnout sudah sangat mengkhawatirkan dan semakin marak dialami oleh banyak orang tua. Namun tingkat kesadaran terhadap hal itu juga masih sangat minim sehingga apabila tidak mendapatkan penanganan yang tepat akan dikhawatirkan memperburuk kondisi kelelahan mental. Untuk menanggapi hal tersebut, berikut ini beberapa solusi guna mengatasi dampak parental  burnout pada orang tua, di antaranya sebagai berikut:

1. Praktik Mindfulness dan Relaksasi

Meditasi mindfulness dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan orang tua (Moreira, Gouveia and Canavarro, 2018). Ini merupakan Teknik meditasi yang melatih seseorang untuk fokus pada apa yang terjadi di sekitarnya dan emosi yang dirasakan. Seperti melakukan meditas duduk, meditasi berjalan,meditasi pernapasan, dan masih banyak lagi. Manfaat yang dapat dirasakan seperti meningkatkan interaksi positif antara anak dan orang tua, mengurangi stres, membantu mengelola gejala depresi, meregulasi emosi dan meningkatkan kesadaran diri terhadap orang tua.

2. Peningkatan Dukungan Sosial

Membangun jaringan dukungan dengan keluarga, teman, atau kelompok orang tua dapat mengurangi isolasi dan stress. Seperti melakukan kegitan-kegiatan positif Bersama keluarga atau sekelompok orang dengan beragam kegatan positif dapat membangun jaringan emosional yang positif dan empati yang lebih erat.

3. Manajemen Waktu dan Penyeimbangan Peran

Strategi untuk menyeimbangkan tuntutan pengasuhan dengan kebutuhan pribadi dan professional (Mikolajczak and Roskam, 2018). Hendaknya orang tua mampu memahami bahwa pentingnya menyeimbangkan kebutuhan diri yang semestinya didapatkan demi kestabilan emosional disamping kesibukan diri dalam pengasuhan anak agar bisa  bisa mencegah datangnya gejala stress dan depresi yang dikhawatirkan bisa berdampak pada pola asuh anak.

4. Terapi Kognitif-Perilaku (CBT)

CBT dapat membantu orang tua mengatasi pikiran negatif dan mengembangkan strategi coping yang lebih efektif. (Roskam, Raes and Mikolajczak, 2017). Hal ini dilakukan bentuk psikoterapi yang berfokus pada hubungan antara pikiran, perasaan, dan perilaku. Tujuannya adalah mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif yang dapat mempengaruhi emosi dan tindakan pada siapapun.

5. Pelatihan Regulasi Emosi

Teknik untuk mengelola emosi dapat membantu orang tua mengatasi stres dan mencegah burnout (Mikolajczak, Gross and Roskam, 2019). Perlunya pemahaman orang tua mengenai pengelolaan emosi yang baik agar orang tua dapat mengatasi stress supaya tidak sampai burnout. Contohnya, ketika orang tua dihadapkan dengan situasi sulit dalam pengasuhan anak yang rentan mengalami permasalahan pada masa pertumbuhannya. Anak akan cenderung mengalami perunahan suasana hati dalam waktu singkat, aktif secara berlebihan, atau kesulitan dalam beradaptasi di lingkungannya, sehingga mengharuskan orang tua untuk melatih regulasi emosi yang baik dalam masa pengasuhan.

6. Mengurangi Perfeksionisme

Strategi untuk mengatasi ekspektasi yang tidak realistis dan mengurangi tekanan untuk menjadi orang tua "sempurna"(Sorkkila and Aunola, 2020). Segala sesuatu yang dilakukan dengan standar yang tinggi dan sempurna dalam pengasuhann anak akan menjadi suatu tuntutan yang dibuat sendiri oleh orang tua, sehingga menghasilkan kelelahan pada orang tua dan berdampak buruk pada orang ta. Hendaknya, ini bisa menjadi catatan penting untuk semua orang tua yang sedang mengasuh anak agar tidak menuntut diri menjadi seseorang yang perfeksionis dalam pemgasuhan.

7. Program Intervensi Berbasis Kelompok

Program dukungan kelompok yang dipimpin profesional dapat memberikan edukasi dan dukungan emosional. Seperti kontribusi dari Psikolog, Psikiater, tenaga konseling, serta dukungan dari pihak pemerintah dalam membentuk program semacam ini tentunya dapat memperlua jangkauan program ini agar bisa sampai di tengah-tengah Masyarakat

8. Self-Compassion

Mengembangkan sikap yang lebih baik dan pengertian terhadap diri sendiri dapat mengurangi stres pengasuhan. Orang tua juga perlu memberikan validasi pada emosional diri dan kelelahan yang dirasakan selama masa pengasuhan. Bila perlu, berikan apresiasi pada diri terhadap hal baik apapun yang datang pada diri sendiri.

9. Peningkatan Kualitas Tidur

Strategi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur dapat membantu mengurangi kelelahan dan meningkatkan kesejahteraan. Memiliki waktu tidur yang berkualitas terbukti dapat memberikan efek positif bagi kesehatan mental.

10. Penerapan Batas yang Sehat

Menetapkan batas yang jelas dalam pengasuhan dan kehidupan pribadi dapat membantu mencegah kelelahan (Gérain and Zech, 2018). Banyak manfaat yang bisa dirasakan apabila solusi yang satu ini diterapkan, salah satunya membantu menjaga keseimbangan antara peran sebagai orang tua dan individu, mencegah kelelahan emosional dan fisik, memungkinkan waktu untuk pemulihan dan self-care. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan praktik self-compassion, ingat bahwa batasan yang sehat menguntungkan seluruh keluarga, dan gunakan sistem reward untuk mendorong anak menghormati batasan.

C. KESIMPULAN

Parental Burnout merupakan masalah serius yang dihadapi banyak orang tua di era modern, yang dapat berdampak negatif tidak hanya pada kesehatan mental orang tua, tetapi juga pada perkembangan anak. Tekanan dari tuntutan peran orang tua yang tinggi, ditambah dengan kurangnya dukungan emosional, menyebabkan banyak orang tua merasa kewalahan dan terputus secara emosional dari anak-anak mereka. Hal ini dapat mengakibatkan perilaku pengabaian, masalah kesehatan mental, serta ketegangan dalam hubungan keluarga.

Penting bagi orang tua untuk mengenali tanda-tanda kelelahan ini dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi serta mencegah Parental Burnout. Melalui praktik mindfulness, peningkatan dukungan sosial, dan manajemen waktu yang baik, orang tua dapat memperbaiki kesejahteraan mental mereka. Solusi yang tepat dan dukungan yang memadai akan membantu orang tua menjalani peran mereka dengan lebih baik, sehingga dapat memberikan pengasuhan yang sehat dan penuh kasih kepada anak-anak mereka. Permasalahan ini hendaknya menjadi perhatian khusus bagi siapa saja termasuk orang tua yang sudah memiliki seorang anak agar peduli terhadap diri dan setiap tahapan pola asuh yang diberikan kepada anak. Peneliti juga harus memperbanyak studi mengenai Parental Burnout agar bisa ditelaah lebih mendalam dan ketika disampaikan ke khalayak umum bisa menarik banyak orang untuk memberikan perhatian lebih terhadap hal ini. Dengan meningkatnya kesadaran dan pemahaman tentang Parental Burnout, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi orang tua dan anak, serta membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA

 

Van Bakel, H.J.A., Van Engen, M.L. and Peters, P. (2018) ‘Validity of the Parental Burnout Inventory among dutch employees’, Frontiers in Psychology, 9(MAY), pp. 1–9. Available at: https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.00697.

Fazny, B.Y. (2021) ‘Analysis of parental burnout conditions during the Covid-19 pandemic in Indonesia’, Journal of Advanced Guidance and Counseling, 2(2), pp. 109–122. Available at: https://doi.org/10.21580/jagc.2021.2.2.9200.

Gawlik, K.S., Melnyk, B.M. and Tan, A. (2024) ‘Burnout and Mental Health in Working Parents: Risk Factors and Practice Implications’, Journal of Pediatric Health Care [Preprint], (February). Available at: https://doi.org/10.1016/j.pedhc.2024.07.014.

Gérain, P. and Zech, E. (2018) ‘Does informal caregiving lead to parental burnout? Comparing parents having (or Not) children with mental and physical issues’, Frontiers in Psychology, 9(JUN), pp. 1–10. Available at: https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.00884.

Hansotte, L. et al. (2021) ‘Are all Burned Out Parents Neglectful and Violent? A Latent Profile Analysis’, Journal of Child and Family Studies, 30(1), pp. 158–168. Available at: https://doi.org/10.1007/s10826-020-01850-x.

Ila Nursalida Ali Amran and Zilal Saari (2021) ‘Menangani Kelesuan Upaya Ibu Bapa (Parental Burnout) Di Musim Pandemik Covid-19 Dealing With Parental Burnout in the Covid-19’, Jurnal ’Ulwan, 2(6), pp. 74–92. Available at: https://unimel.edu.my/journal/index.php/JULWAN/article/view/894.

Mikolajczak, M. et al. (2018) ‘Consequences of parental burnout: Its specific effect on child neglect and violence’, Child Abuse and Neglect, 80(October 2017), pp. 134–145. Available at: https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2018.03.025.

Mikolajczak, M., Gross, J.J. and Roskam, I. (2019) ‘Parental Burnout: What Is It, and Why Does It Matter?’, Clinical Psychological Science, 7(6), pp. 1319–1329. Available at: https://doi.org/10.1177/2167702619858430.

Mikolajczak, M. and Roskam, I. (2018) ‘A theoretical and clinical framework for parental burnout: The balance between risks and resources (BR2)’, Frontiers in Psychology, 9(JUN). Available at: https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.00886.

Mlili, N. El, Ahabrach, H. and Cauli, O. (2021) ‘Hair cortisol concentration as a biomarker of sleep quality and related disorders’, Life, 11(2), pp. 1–19. Available at: https://doi.org/10.3390/life11020081.

Moreira, H., Gouveia, M.J. and Canavarro, M.C. (2018) ‘Is Mindful Parenting Associated with Adolescents’ Well-being in Early and Middle/Late Adolescence? The Mediating Role of Adolescents’ Attachment Representations, Self-Compassion and Mindfulness’, Journal of Youth and Adolescence, 47(8), pp. 1771–1788. Available at: https://doi.org/10.1007/s10964-018-0808-7.

Rahmani, F.P. and Nashori, F. (2024) ‘Menurunkan Parental Burnout Ibu Dengan Anak Usia Prasekolah: Efektifkah Pelatihan Mindfulness Spiritual Berbasis Islam? Reducing Parental Burnout Among Mothers of Preschool Children: Is Islamic-Based Spiritual Mindfulness Training Effective?’, Motiva: Jurnal Psikologi, 7(1), p. 38. Available at: https://doi.org/10.31293/mv.v7i1.7704.

Roskam, I., Raes, M.E. and Mikolajczak, M. (2017) ‘Exhausted parents: Development and preliminary validation of the parental burnout inventory’, Frontiers in Psychology, 8(FEB), pp. 1–12. Available at: https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.00163.

Sorkkila, M. and Aunola, K. (2020) ‘Risk Factors for Parental Burnout among Finnish Parents: The Role of Socially Prescribed Perfectionism’, Journal of Child and Family Studies, 29(3), pp. 648–659. Available at: https://doi.org/10.1007/s10826-019-01607-1.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun