Konsep burnout pertama kali diperkenalkan oleh Freudenberger pada tahun 1974. Burnout orang tua secara progresif menjadi masalah sosial yang serius di zaman modern sebagai akibat dari kontraksi antara harapan yang menuntut dan sedikit energi dalam mengasuh anak. Orang tua merasa sangat terkuras oleh pengasuhan sehingga sekadar memikirkan peran mereka sebagai orang tua membuat mereka merasa telah mencapai batas kesabaran. Akibatnya, mereka menjadi jauh secara emosional dari anak-anak mereka, tidak jarang menimbulkan ketegangan dalam hubungan antara orang tua dan anak. Pada hubungan antara orang tua dan anak, pola asuh terhadap anak tidak lagi berjalan dengan baik bahkan bisa memicu emosi negatif orang tua tersalurkan saat bercengkrama dengan buah hati, akibatnya juga bisa berdampak pada emosional anak
Ada banyak tantangan bagi orang tua saat membesarkan seorang anak. Jika kita melihat sekeliling, marak sekali kasus penelantaran bahkan kekerasan pada seseorang anak dalam ruang lingkup rumah tangga yang bahkan terjadi bukan tanpa sebab. Sebenarnya ada banyak motif yang mendasari terjadinya hal tersebut, Akan tetapi hal yang jarang disadari oleh banyak kalangan terutama orang tua yang sudah memiliki seorang anak adalah tingkat kesadaran mereka terhadap kesehatan mental mereka sebagai orang tua yang masih sangat rendah karena banyak orang tua yang merasa terbebani emosionalnya selama menghadapi banyak problema pada anak, hingga beban emosional itu berkembang menjadi suatu tekanan yang mempengaruhi pola pengasuhan pada anak.
Menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat 2.982 kasus yang terkait dengan pelanggaran perlindungan anak sepanjang tahun 2021. Dari jumlah tersebut, pengaduan terbanyak berkaitan dengan korban kekerasan fisik atau psikis, yang mencapai 1.138 kasus. Secara rinci, terdapat 574 kasus di mana anak menjadi korban penganiayaan, sementara 515 kasus lainnya melibatkan anak sebagai korban kekerasan psikis. Kekerasan yang dialami anak umumnya berasal dari lingkungan terdekat mereka seperti keluarga dan sekolah, di mana kedua lingkungan tersebut seharusnya menjadi tempat yang mampu melindungi dan memberikan rasa aman bagi anak-anak.
Tingginya persentase orang tua yang mengalami kelelahan itu sejalan dengan peningkatan kasus kekerasan anak yang dilakukan orang tua. Hal ini terjadi karena beban pengasuhan yang menyebabkan stres kronis yang sulit ditangani (Mlili, Ahabrach and Cauli, 2021). Di Indonesia, pada rentang tahun 2020- 2021 diketahui bahwa dari 164 responden, 15% orang tua (24 peserta) mengalami parental burnout tingkat tinggi, 64% orang tua (105 peserta) mengalami parental burnout tingkat sedang, dan 21 % orang tua (35 peserta) mengalami burnout tingkat rendah (Fazny, 2021).
Berdasarkan penelitian inovatif mereka mengenai gejala kelelahan mengonseptualisasikan empat dimensi kelelahan orangtua (Mikolajczak and Roskam, 2018), di antaranya orang tua merasa lelah terhadap perannya karena beranggapan bahwa menjadi orang tua adalah peran yang sangat menguras emosi, adanya perasaan bahwa diri sendiri tidak dapat menjadi orang tua sebaik orang tua mereka, perasaan muak dengan peran orang tua yang menyebabkan orang tua tidak menikmati waktu yang di habiskan bersama anak dan tidak bahagia dengan peran pengasuhan, dan orang tua secara emosional menjauhkan diri dari anak dengan membatasi interaksi.
Parental burnout termanifestasi melalui empat gejala utama. Pertama-tama, orang tua merasa lelah bahkan sangat lelah dengan peran pengasuhan mereka. Kemudian, dalam upaya untuk menghemat sedikit energi yang mereka miliki, orang tua yang kelelahan akan melepaskan diri secara emosional dari anak-anaknya. Setelah itu, orang tua tidak lagi menikmati kebersamaan dengan anak-anak mereka dan kehilangan kesenangan dalam mengasuh anak sampai terkadang mereka tidak mampu lagi menjalankan perannya sebagai orang tua. Gejala-gejala di atas terkadang bisa dialami oleh setiap orang tua. Hal yang membuat parental burnout menjadi kondisi psikologis yang mengkhawatirkan adalah jumlah gejala dan frekuensi yang dialami (Rahmani and Nashori, 2024).
Akan tetapi hal tersebut dianggap biasa terjadi oleh orang tua yang sedang mengalami tekanan atau bahkan orang lain yang tidak mengalami hal tersebut hingga ironisnya minim sekali dukungan dari orang-orang di sekitar terhadap orang tua yang sedang berada di fase ini. Bahkan, bukannya banyak menerima dukungan, orang tua yang sedang mengalami Parental Burnout cenderung dihadapkan dengan tuntutan dari lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial agar bisa menjadi orang tua yang sempurna dalam pengasuhan anak. walau seperti apapun situasinya. Apabila dibiarkan tekanan mental dalam pengasuhan anak akan mendatangkan depresi, kelelahan mental dan fisik yang luar biasa, serta stress tingkat tinggi.
   Menurut teori keseimbangan antara risiko dan sumber daya, kelelahan orang tua terwujud ketika orang tua bergulat dengan tuntutan pengasuhan kronis tanpa sumber daya yang cukup untuk mengatasinya. Seperti yang diusulkan oleh teori tersebut, untuk mengurangi penipisan sumber daya lebih lanjut, orang tua yang kelelahan mungkin cenderung mengadopsi perilaku mengabaikan atau mengendalikan terhadap anak mereka yang mengarah pada manifestasi gaya pengasuhan yang negatif (Van Bakel, Van Engen and Peters, 2018)
   Dalam beberapa survei, sebanyak 60 persen orang tua melaporkan pernah mengalami rasa lelah pada suatu waktu. Namun, banyak orang tua yang enggan mengakui bahwa mereka mengalami kelelahan mental. Sebagian orang tua beranggapan bahwa kelelahan dalam pola asuh adalah hal yang biasa terjadi serta adanya dorongan yang berbentuk paksaan terhadap diri sendiri untuk selalu berusaha menguatkan diri, tanpa ada yang bisa memvalidasi kelelahan mental dan emosionalnya. Sehingga mereka tidak menerima bantuan. Orang-orang sering kali percaya bahwa mereka diharapkan menjadi manusia super dalam hal mengasuh anak-anak mereka, dan kelelahan dapat membuat orang tua merasa tidak mampu.
  Studi terkini telah menunjukkan bahwa parental burnout pada orangtua memiliki dampak yang cukup signifikan dan sangat berpotensi merusak. Terkait dampak yang di timbulkan terhadap orang tua yang beresiko menimbulkan ide bunuh diri dan melarikan diri, tetapi juga dapat menyebabkan masalah eksternal seperti kecanduan zat dan gangguan perilaku serta gangguan tidur (Mikolajczak et al., 2018). Paparan yang berkepanjangan terhadap kondisi negatif ini mengakibatkan penurunan signifikan dalam kepuasan hidup dan kesejahteraan subjektif individu, dan sangat mungkin menyebabkan gejala depresi (Van Bakel, Van Engen and Peters, 2018)
Parental Burnout juga memberi dampak signifikan terhadap tumbuh kembang anak yang dapat bervariasi tergantung pada tingkat keparahan burnout. Anak-anak dari orang tua yang mengalami burnout berisiko lebih tinggi mengalami masalah emosional. Mereka mungkin kurang mendapat dukungan emosional yang dibutuhkan untuk perkembangan yang sehat (Roskam, Raes and Mikolajczak, 2017). Parental Burnout umumnya menyebabkan pengabaian terhadap sang anak, hal ini dapat berdampak pada pemenuhan kebutuhan fisik anak, yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fisik mereka. Anak-anak dari orang tua yang mengalami burnout mungkin berisiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan mental seperti kecemasan atau depresi (Gawlik, Melnyk and Tan, 2024). Burnout parenting dapat mengganggu interaksi positif antara orang tua dan anak. Hal ini dapat berdampak pada kemampuan anak dalam mengembangkan keterampilan sosial dan membentuk hubungan yang sehat (Roskam, Raes and Mikolajczak, 2017). Orang tua yang mengalami kelelahan umumnya mengurangi interaksi dan stimulasi yang berkualitas terhadap anak, sehingga dapat berpotensi menghambat perkembangan kognitif anak. Burnout parental dapat meningkatkan risiko masalah perilaku pada anak, termasuk perilaku agresif atau menarik dirI (Hansotte et al., 2021). Kemudian dapat dapat mempengaruhi perkembangan emosional dan sosial jangka Panjang karena gejala parental burnout dapat memicu terganggunya pembentukan kelekatan yang aman antara orang tua dan sang anak.