Baru-baru ini, Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, menyampaikan pentingnya pendidikan sebagai prioritas utama anggaran negara.
Dalam viva.co.id (11/12/2024), beliau menekankan bahwa kebijakan ini adalah solusi jangka panjang untuk mengentaskan kemiskinan.
Optimisme juga ditunjukkan melalui program makan bergizi gratis (MBG) yang dianggap strategis dalam menyelamatkan anak-anak bangsa sekaligus memberdayakan ekonomi lokal.
Pernyataan ini seolah menjadi harapan baru bagi rakyat, tetapi sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan ketidaksesuaian antara janji dan realisasi kebijakan. Â
Rencana pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan menjadi salah satu contoh kebijakan yang memberatkan rakyat.
Alasan peningkatan biaya pelayanan kesehatan sering kali dibungkus dengan narasi perbaikan kualitas fasilitas, tetapi kenyataannya rakyat harus menanggung beban tambahan yang tidak sebanding dengan manfaat yang diterima (viva.co.id, 10/12/2024).
Dalam dunia pendidikan, kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) juga semakin menyulitkan kelompok rentan.
Ironisnya, anggaran untuk program MBG yang sebelumnya diharapkan dapat membantu masyarakat justru mengalami penurunan hingga 33%. Â
Kebijakan-kebijakan ini tidak lepas dari sistem kapitalisme yang mendasari tata kelola negara.
Dalam sistem kapitalisme, pendidikan dan kesehatan dianggap sebagai barang dagangan yang dapat diperjualbelikan, bukan sebagai hak mendasar yang wajib diterima oleh rakyat.