catcalling adalah sebuah istilah yang merujuk pada suatu bentuk verbal yaitu siulan atau komentar yang bertujuan untuk mencari perhatian namun dengan memberikan perhatian kepada atribut-atribut seksual tertentu sehingga perbuatan ini termasuk dalam kategori pelecehan seksual. Catcalling biasanya terjadi di tempat umum dan dilakukan oleh orang asing yang tidak saling kenal. Chhun (2011) mengidentifikasikan catcalling sebagai: penggunaan kata-kata yang tidak senonoh, ekspresi secara verbal dan juga ekspresi non-verbal yang kejadiannya terjadi di tempat publik, contohnya: di jalan raya, di trotoar, dan perhentian bus. Secara verbal, catcalling biasanya dilakukan melalui siulan atau komentar mengenai penampilan dari seorang wanita. Ekspresi nonverbal juga termasuk lirikan atau gestur fisik yang bertindak untuk memberikan penilaian terhadap penampilan seorang wanita (Chhun, 2011). Dalam Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, ada tiga jenis pesan verbal yaitu: verbal vokal, verbal visual, verbal vokal-visual. Pada vokal adalah ketika pesan verbal disampaikan menggunakan suara (secara vokal). Pada visual adalah ketika mengucapkan serangkaian pesan verbal tidak hanya menggunakan sebatas ucapan tetapi juga menggunakan visualisasi agar visual tersebut juga dapat dilihat atau bahkan didengar menggunakan telinga oleh penerimanya. Pada vokalvisual adalah pengucapan kata-kata atau rangkaiannya menggunakan vokal dan dibantu lagi dengan adanya visualisasi (Liliweri, 2009). Jenis-jenis pesan verbal yang disampaikan oleh pelaku catcalling kepada korbannya ada beberapa macam diantaranya; dalam bentuk nada misalkan suara kecupan, suara ciuman dari jauh, atau siulan, Yang kedua, komentar, biasanya mengomentari bentuk tubuh, atau secara kalimat tidak melecehkan tetapi dikatakan dengan tujuannya melecehkan, misalnya salam. Ada juga yang terang-terangan mengatakan hal yang vulgar mengenai korban.Selain itu pandangan yang terus menerus dilakukan oleh pelaku terhadap korban adalah suatu pelecehan seksual karena menyebabkan korban tidak nyaman karena di pandang dari ujung kaki hingga ujung kepala.Selain itu pemahaman Masyarakat mengenai cat calling sebagai tindak pelecehan seksual masih sangat rendah.Hal ini disebabkan karena Masyarakat menganggap ini sebagai bentuk candaan dan pujian yang memang dianggap sebagai hal yang biasa terjadi dikalangan Masyarakat sehingga Masyarakat menganggap fenomena tersebut bukan hal yang perlu mendapat perhatian khusus.Menurut Budi Wahyuni fenomena ini langgeng di Masyarakat karena ada budaya patriarki yang masih kuat di kalangan Masyarakat.Hal ini ia sampaikan dalam wawancara,"Iya. Pewajaran dan pelanggengan budaya patriarki tadi. Budaya patriarki itu kan ingin memposisikan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Ini kan sudah menciptakan relasi kuasa yang satu tinggi, yang satu rendah. Nah, salah satu akar dari kekerasan termasuk kekerasan seksual. Pelecehan seksual bagian dari kekerasan seksual adalah relasi kuasa yang timpang. Jadi, relasi kuasa yang timpang akan melahirkan itu, melecehkan, merendahkan, menyerang atribut seksual tertentu, menyerang harkat martabat perempuan gitu loh."
Karena itu kita perlu menganalisis apa sebenarnya faktor dibalik Tindakan cat calling ini.Berdasarkan dari hasil penelitian yang saya lakukan diperoleh data bahwa 70% mahasiswa menjawab bahwa fenomena cat calling itu terjadi akibat objek dari cat calling ini disebabkan oleh cara mereka berpakaian.Hampir 71% Perempuan di dunia adalah korban pelecehan seksual secara verbal.Apa sebenarnya pengaruh pakaian ini terhadap perilaku cat calling?Â
Dari perspektif mahasiswa yang saya wawancarai mereka menganggap bahwa berpakaian adalah faktor utama dari fenomena ini karena dapat memunculkan visual berbau porno dalam otak pelaku.Sedangkan Wanita dengan pakaian tertutup cenderung mendapat perlakuan yang lebih Istimewa.Hal inilah yang mendorong Tindakan cat calling tersebut.Kebanyakan dari pelaku cat calling adalah orang yang mempunyai fantasi tinggi terhadap hal yang berbau seksual disamping orang yang mengalami kelainan jiwa seperti gila dan orang yang pernah menjadi korban dari pelecehan seksual sejak dini.Sedangkan sisanya menjawab bahwa faktor dari fenomena cat calling itu bukanlah dari cara berpakaian melainkan ini adalah budaya patriarki yang masih berkembang di Masyarakat.Dimana pelaku melakukan Tindakan cat calling sebagai Upaya menunjukkan jati dirinya sebagai laki-laki.Sebagai pendukung dari fakta ini adalah bahwa Wanita yang menggunakan pakaian tertutup bahkan menggunakan cadar sekalipun masih sering mendapat perlakuan cat calling tersebut.Survai menunjukkan bahwa 62.224% Wanita korban cat calling adalah Wanita dengan pakaian tertutup.Namun dengan adanya stigma dari Masyarakat dengan ujaran "pantes aja di cat calling pakaiannya aja kayak gitu!!" Dengan adanya stigma dari Masyarakat membuat korban cat calling merasa tidak nyaman dan tidak percaya diri untuk melapor.Hal ini juga dipengaruhi dengan kebiasaan Masyarakat yang terlalu menormalisasikan tindakan ini sehingga korban yang ingin melapor dianggap aneh oleh Masyarakat karena terlalu memperdulikan hal sepele yang bahkan tidak memberikan dampak negatif yang besar terhadap korban menurut Masyarakat.Dari fakta inilah mengapa pelaku cat calling itu masih banyak hingga hari ini.Banyak korban yang enggan untuk melapor sehingga para pelaku tidak jera karena tidak mendapat tindakan dari para penegak hukum.Padahal perilaku catt calling itu sendiri memberikan dampak yang cukup serius seperti dampak psikologis.. Catcalling tidak hanya berdampak secara fisik tetapi juga psikologis, menyebabkan rasa tidak aman, stres, dan rendahnya harga diri pada korban. Hal ini menunjukkan bahwa catcalling merupakan masalah serius yang harus ditangani dengan pendekatan yang lebih luas daripada hanya sekadar menyalahkan cara berpakaian.
Masalah selanjutnya adalah bagaiamana cara hukum dalam menangani fenomena cat calling ini?Sebagai masalah yang semakin menjadi perhatian publik, catcalling membutuhkan penanganan serius melalui pendekatan hukum.
Hukum memiliki peran strategis dalam memberikan perlindungan kepada korban dan menindak pelaku catcalling. Di Indonesia, meskipun budaya patriarki masih cukup kuat, langkah-langkah hukum untuk menangani pelecehan seksual, termasuk catcalling, sudah mulai berkembang. Salah satu tonggak penting adalah pengesahan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang mengatur berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk pelecehan verbal.
1. Memberikan Kepastian Hukum
Hukum berperan memberikan kepastian bahwa catcalling merupakan tindakan yang melanggar norma sosial dan hukum. Sebelum adanya regulasi seperti UU TPKS, catcalling sering dianggap sebagai "hal sepele" dan tidak memiliki konsekuensi hukum. Namun, dengan adanya pasal-pasal yang mengatur pelecehan verbal, seperti dalam UU TPKS, tindakan ini kini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dengan ancaman hukuman. Kepastian hukum ini penting untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan perlindungan kepada korban.
2. Melindungi Hak dan Martabat Korban
Hukum dirancang untuk melindungi hak-hak dasar manusia, termasuk martabat dan keamanan korban pelecehan. Mekanisme hukum memberikan ruang bagi korban untuk melaporkan kejadian catcalling tanpa takut direndahkan atau disalahkan. Dalam konteks UU TPKS, korban catcalling memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan selama proses hukum, seperti akses ke pendampingan hukum, anonimitas, dan pemulihan psikologis.
3. Mengedukasi dan Mengubah Pola Pikir Masyarakat
Hukum juga berfungsi sebagai alat pendidikan sosial. Ketika undang-undang diterapkan dengan tegas, masyarakat menjadi lebih sadar akan bahaya catcalling dan dampak buruknya terhadap korban. Pendidikan hukum ini perlu didukung oleh kampanye publik dan sosialisasi yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan media massa. Misalnya, kampanye kesadaran gender dapat membantu mengurangi normalisasi catcalling di masyarakat yang masih menganggap tindakan tersebut sebagai "candaan."
4. Menjamin Penegakan Hukum yang Adil dan Efektif
Efektivitas penegakan hukum sangat bergantung pada kemampuan aparat hukum dalam menangani kasus catcalling. Polisi, jaksa, dan hakim harus memiliki pemahaman mendalam tentang isu pelecehan seksual, termasuk dimensi verbalnya. Tanpa pelatihan yang memadai, aparat hukum mungkin menganggap catcalling sebagai tindakan remeh yang tidak memerlukan proses hukum. Selain itu, mekanisme pelaporan yang ramah korban perlu disediakan agar mereka merasa aman melaporkan pelecehan.
5. Menciptakan Ruang Publik yang Aman
Peran hukum tidak hanya bersifat represif, tetapi juga preventif. Dengan dukungan regulasi, pemerintah dapat menciptakan ruang publik yang aman dari pelecehan, termasuk catcalling. Contohnya adalah memasang kamera pengawas di area rawan, menyediakan saluran pelaporan cepat, dan meningkatkan keamanan di transportasi umum. Selain itu, pelibatan masyarakat dalam menjaga ruang publik juga dapat mempercepat upaya pencegahan.
Tantangan dalam Penegakan Hukum
Meski hukum telah hadir, penegakan regulasi terkait catcalling menghadapi sejumlah tantangan.
Minimnya Bukti: Catcalling sering kali terjadi secara spontan tanpa meninggalkan bukti fisik, sehingga sulit untuk membuktikan di pengadilan.
Budaya Patriarki: Persepsi bahwa catcalling hanyalah "bentuk perhatian" membuat tindakan ini sulit diberantas, bahkan di kalangan aparat hukum sendiri.
Kesadaran Hukum Rendah: Banyak korban tidak melaporkan kasus catcalling karena merasa tindakan tersebut tidak akan diproses, atau karena takut disalahkan.
Bagaimana strategi yang dapat diterapkan dalam meningkatkan kesadran public terhadap fenomena cat calling?
Catcalling, atau pelecehan verbal di ruang publik, merupakan masalah sosial yang merendahkan martabat korban dan menciptakan rasa tidak aman. Sebagian besar korban catcalling adalah perempuan, dan perilaku ini kerap dianggap sepele oleh pelaku maupun masyarakat. Padahal, catcalling merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang berpotensi melanggar hukum. Untuk mencegah dan mengurangi fenomena ini, strategi peningkatan kesadaran masyarakat perlu dilakukan secara menyeluruh dan terpadu.
1. Edukasi dan Kampanye Kesadaran Publik
Pendidikan dan kampanye kesadaran adalah langkah awal yang efektif untuk mengubah pola pikir masyarakat terhadap catcalling.
Sosialisasi Hukum: Pemerintah perlu aktif menyebarkan informasi mengenai peraturan yang melarang pelecehan seksual, termasuk catcalling. Contohnya adalah UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang mengatur pelecehan verbal sebagai bentuk tindak pidana.
Kampanye di Media Massa dan Digital: Menggunakan media sosial, televisi, dan radio untuk menyebarkan pesan-pesan yang mengecam catcalling. Kampanye ini dapat mengangkat cerita korban, menampilkan dampak psikologis catcalling, dan menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak dapat diterima dalam masyarakat.
Edukasi di Sekolah dan Universitas: Memasukkan materi kesetaraan gender dan pelecehan seksual ke dalam kurikulum pendidikan untuk membangun kesadaran sejak dini. Diskusi di ruang pendidikan dapat membantu siswa memahami pentingnya saling menghormati di ruang publik.
2. Penegakan Hukum yang Tegas dan Ramah Korban
Peran hukum sangat penting dalam mencegah catcalling, baik melalui penindakan terhadap pelaku maupun perlindungan terhadap korban.
Saluran Pelaporan yang Mudah: Pemerintah harus menyediakan saluran pelaporan yang cepat, aman, dan ramah korban. Korban sering kali enggan melapor karena takut disalahkan atau karena prosedur yang rumit.
Sanksi Tegas untuk Pelaku: Penegakan hukum terhadap pelaku catcalling harus dilaksanakan dengan konsisten untuk memberikan efek jera. Aparat penegak hukum perlu memahami sensitivitas kasus pelecehan verbal dan memperlakukannya dengan serius.
Patroli Keamanan: Meningkatkan kehadiran petugas keamanan di ruang publik, seperti halte bus, stasiun, dan jalan umum, untuk mencegah tindakan pelecehan.
3. Kolaborasi dengan Komunitas dan Sektor Swasta
Kerja sama antara berbagai pihak diperlukan untuk mendukung upaya pencegahan catcalling.
Organisasi Masyarakat Sipil: Komunitas perempuan dan organisasi anti-pelecehan dapat membantu menyebarluaskan kesadaran melalui pelatihan dan kampanye.
Pelatihan untuk Aparat dan Pekerja Publik: Aparat keamanan, staf transportasi umum, dan petugas fasilitas publik harus dilatih untuk mengenali dan menangani kasus pelecehan seksual.
Kemitraan dengan Perusahaan: Perusahaan dapat berkontribusi dengan mendukung kampanye anti-pelecehan, seperti menyediakan poster edukasi di ruang publik yang mereka kelola.
4. Penguatan Norma Sosial dan Budaya
Mengubah pola pikir masyarakat yang cenderung menormalisasi catcalling membutuhkan waktu, tetapi dapat dimulai dengan:
Promosi Kesetaraan Gender: Edukasi tentang pentingnya kesetaraan gender dapat mengurangi stereotip yang mendukung pelecehan.
Menghapus Stigma terhadap Korban: Masyarakat harus diajarkan untuk mendukung korban pelecehan alih-alih menyalahkan mereka.
5. Pemanfaatan Teknologi dan Infrastruktur
Aplikasi Pelaporan Cepat: Mengembangkan aplikasi yang memungkinkan korban melaporkan pelecehan secara real-time.
Ruang Publik yang Aman: Meningkatkan fasilitas seperti penerangan di jalan umum, pemasangan kamera pengawas (CCTV), dan penyediaan tombol darurat di transportasi umum
KESIMPULAN
Fenomena catcalling di ruang publik merupakan bentuk pelecehan seksual yang harus mendapatkan perhatian serius. Sebagai tindakan yang sering dianggap remeh oleh sebagian masyarakat, catcalling tidak hanya merugikan korban secara fisik tetapi juga menimbulkan dampak psikologis yang mendalam. Pengaruh budaya patriarki yang masih kuat dalam masyarakat turut memperkuat normalisasi terhadap tindakan ini, sehingga banyak yang tidak menyadari bahwa catcalling merupakan pelanggaran hukum.
Meskipun catcalling sering dikaitkan dengan faktor pakaian, penelitian menunjukkan bahwa fenomena ini lebih dipengaruhi oleh pola pikir patriarki dan relasi kekuasaan yang timpang, di mana pelaku merasa berhak untuk mengomentari tubuh atau penampilan orang lain, terutama perempuan. Oleh karena itu, perubahan dalam norma sosial dan edukasi tentang kesetaraan gender sangat penting untuk menanggulangi masalah ini.
Dari perspektif hukum, pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di Indonesia memberikan harapan baru dalam penanganan catcalling. Hukum tidak hanya memberikan perlindungan bagi korban tetapi juga memberikan kepastian hukum dan efek jera bagi pelaku. Namun, tantangan besar dalam penegakan hukum tetap ada, seperti rendahnya kesadaran hukum di kalangan masyarakat dan aparat penegak hukum, serta kurangnya bukti yang dapat diajukan di pengadilan.
Untuk mencegah dan mengurangi catcalling, dibutuhkan strategi yang melibatkan berbagai pihak. Edukasi publik melalui kampanye kesadaran, penegakan hukum yang tegas, serta kolaborasi dengan sektor swasta dan komunitas adalah langkah-langkah yang perlu diperkuat. Selain itu, penting untuk menciptakan ruang publik yang aman dan nyaman bagi semua orang, dengan memanfaatkan teknologi dan infrastruktur yang ada.
Secara keseluruhan, penanganan fenomena catcalling memerlukan pendekatan yang holistik, yang tidak hanya bergantung pada regulasi hukum, tetapi juga pada perubahan budaya dan perilaku masyarakat. Melalui upaya bersama, kita dapat menciptakan ruang publik yang l
ebih aman dan menghargai martabat setiap individu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H