Beberapa waktu belakangan, publik dibuat geleng kepala oleh Presiden Jokowi. Pasalnya menjelang pemilu, presiden mengeluarkan statement yang cukup membuat tanda Tanya oleh kalangan masyarakat. Pendapat bahwa presiden dapat berkampanye dan memihak dalam kontestasi pemilu dinilai bertentangan dengan instruksinya saban hari untuk menjaga netralitas Negara dalam kompetisi.
Dilain sisi, Negara dengan tegas menunjukan netralitasnya dalam pesta demokrasi, dimana hal receh seperti penggunaan pose jari yang berpotensi ditafsirkan sebagai afiliasi terhadap salah satu paslon dilarang keras untuk dipergunakan.Â
Bahkan terbaru, Media sosial sebagai media penerangan Kementrian pertahanan yang kedapatan menggunakan tagar dukungan paslon, menjadi topik hangat yang masih jadi pembicaraan.Sikap tidak konsisten ini memberi makna bias terkait kebijaksanaan Presiden tentunya. Alih-alih memberikan contoh yang baik kepada lembaga Negara yang dipimpinnya, presiden dengan ugal-ugalan melegitimasi tindak berpihakan sebagai hal lumrah.
Fenomena tidak konsistennya presiden ini tentu harus dikaji mendalam dengan melihat kembali regulasi yang melekat didalamnya. Adanya aturan baku terkait pemilu serta Presiden sebagai kepala Negara tentu harus kembali menjadi acuan kita bersama. Sehingga benang merah dari polemik ini dapat diuraikan dengan seksama.
Seperti yang kita ketahui bersama, dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden, dimana dalam pasal 42 ayat 1 menerangkan bahwa Presiden, Mentri hingga taraf wakil Bupati memiliki hak untuk berkampanye dengan catatan tidak menggunakan fasilitas Negara serta memperhatikan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara Negara.Â
Pasal ini sebenarnya dapat ditafsirkan bahwa Undang-Undang ini menjamin Hak Konstitusi Presiden sebagai warga Negara yang memiliki hak untuk memilih dan dipilih serta hak untuk berpartisipasi aktif dalam pemilu. Hanya saja hal ini dijadikan celah bagi penyelenggara Negara itu sendiri. Sebab dalam praktiknya tidak ada barometer yang jelas terkait penggunaan fasilitas Negara serta terjaminnya penyelenggaraan Negara yang optimal oleh pemangku kewajibannya.
Biasnya aturan ini dapat dilihat tatkala penyelenggara Negara melaksanakan program kerja dalam bentuk kunjungan kerja, dimana dalam pelaksaan program cenderung berpotensi menjadi ajang kampanye terselubung oleh pihak yang berkepentingan.Â
Lebih parah lagi, potensi penggunaan fasilitas serta anggaran Negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan Negara, dijadikan alat pemulus kampanye. Dengan kata lain, Negara tak lebih menjadi kendaraan politis partai bersama koloninya. Tak lebih!
Polemik jokowi dalam kontestasi pemilu tentu erat kaitannya dengan desus dinasti politik. Majunya putra kesayangan jokowi sebagai wapres salah satu paslon melalui sengketa Konstitusi berkepanjangan dinilai sebagai upaya mati-matian jokowi untuk melanggengkan kekuasan pasca 2 periode kepemimpinanya.
Sengketa yang terus melibatkan keluarga Solo ini tentunya menarik dikaji secara etika politik. Dua periode kepemimpinan yang sarat akan permasalahan seharusnya menjadi evaluasi presiden terhadap nama baiknya. Hilangnya kepercayaan publik seharusnya segera dipatahkan agar periode kepemimpinannya tak dilukis tinta merah sejarah.
Kemudian, Jokowi sebagai presiden yang dinilai merepresentasikan dirinya sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana dalam polemik ini bertranformasi menjadi pemimpin yang cenderung otokrat. Hal ini dibuktikan dengan sikap terang-terangan pasang badan untuk memastikan Anaknya melenggang menuju kekuasaan. Sikap semacam ini dinilai sebagai degradasi moral negarawan yang tanpa sadar beliau pertontonkan. Sikap rendah hati yang dahulu dibangun melalui aksi masuk gorong-gorong bertukar menjadi sifat bebal mengangkangi konstitusi.
Sebagai warga Negara yang partisipatif tentunya keselamatan Negara menjadi prioritas tertinggi kita bersama. Wacana pemakzulan presiden bisa saja menjadi pilihan terakhir sebagai legitimasi kemarahan publik. Rencana semacam ini tentu dapat ditafsirkan berbeda tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.Â
Apabila usulan pemberhetian ini dilihat dari kacamata efektivitas barang jadi hal ini dianggap konyol, fakta bahwa Jokowi diujung periode dapat menjadi alasan. Namun, upaya pemakzulan barang jadi bisa diambil sebagai langkah responsif masyarakat sebagai partisipan pemilu untuk menegaskan bahwa tidak ada ruang bagi pelaku pembangkangan konstitusi. Seterusnya opsi pemakzulan tentu saja catatan sejarah kelam masa kepemimpinan Jokowi nantinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H