Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjadikan menulis sebagai salah satu coping mechanism terbaik✨

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengenal Fenomena Lipstick Effect: Tren Pola Perilaku Konsumen di Tengah Krisis Ekonomi

11 November 2024   19:20 Diperbarui: 12 November 2024   06:18 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Lipstick Effect (KOMPAS/SUPRIYANTO)

Di tengah ketidakpastian ekonomi hingga daya beli masyarakat yang kian merosot, kita dihadapkan dengan berbagai fenomena yang semakin memunculkan sebuah pertanyaan tentang kebenaran dibalik kondisi perekonomian negeri ini.

Indonesia beberapa waktu diterpa oleh fenomena masyarakat yang berbondong-bondong membeli sebuah gantungan tas berbentuk boneka bernama labubu.

Antusiasme masyarakat bahkan hingga hari ini terus meningkat pesat terhadap aksesoris gantungan tersebut. Kemudian dari sini memunculkan sebuah pertanyaan "apakah ini pertanda negara kita memang baik-baik saja?".

Bagaimana tidak, ketika Indonesia diterpa oleh berbagai masalah ekonomi, masyarakat kita justru disibukkan dengan membeli sebuah gantungan boneka yang dibandrol mulai dari harga Rp300 ribu hingga Rp1 jutaan tersebut. Wajar kiranya jika masyarakat semakin mempertanyakan kondisi negeri ini karena fenomena ini akhirnya bak seperti sebuah anomali.

Belum lagi ditambah oleh berbagai event konser musik baik dari dalam maupun luar negeri yang silih berganti hadir di Indonesia pasca covid-19 berakhir. Awalnya, mungkin banyak dari kita yang menganggap bahwa ini merupakan respon dari masyarakat imbas dari terkekangnya kehidupan sosial mereka ketika covid-19 melanda.

Namun, ternyata ini kemudian menjadi fenomena yang menghasilkan dampak yang tidak main-main. Bahkan pendapatan negara dari berbagai konser musik yang diselenggarakan ini bisa mencapai triliun rupiah. 

Misalnya saja pada saat konser musik band asal Inggris Coldplay yang diselenggarakan pada tahun 2023 lalu, di mana event musik tersebut disinyalir memberikan pendapatan bagi negara sebesar US$75 juta atau lebih dari Rp1 triliun.

Seolah seperti bertolak belakang dengan kondisi perekonomian Indonesia yang tidak pasti, fenomena labubu dan suburnya event konser musik dengan puluhan ribu penonton ini dapat dijelaskan pada sebuah teori yang disebut dengan "lipstick effect".

Sumber: intelligentmarketing
Sumber: intelligentmarketing

Apa itu lipstick effect?

Istilah lispstick effect ini pertama kali muncul pada tahun 1998 oleh professor ekonomi dan sosiologi bernama Juliet Schor sekaligus penulis dari The Overspent American. 

Ia menemukan bahwa ketika dalam kondisi ekonomi terbatas, wanita tetap akan berbelanja secara royal pada sebuah lipstick dengan merek ternama yang kemudian akan digunakan "di depan umum" serta mengabaikan produk-produk kecantikan lainnya yang memiliki harga lebih mahal tetapi hanya diaplikasikan "di dalam rumah" saja.

Fenomena ini kemudian menjadi sebuah objek observasi yang dilakukan untuk melihat perilaku konsumen selama masa sulit, terutama ketika resesi atau depresi ekonomi. Hingga akhirnya istilah ini semakin dikenal dunia berkat Leonard Lauder, presiden dari brand kosmetika Este Lauder yang mencatat fenomena ini selama resesi di awal tahun 2000-an.

Dalam pengamatannya, Lauder melihat bahwa meskipun penjualan dari barang-barang menurun imbas dari resesi ekonomi yang terjadi, tetapi produk kosmetik seperti lipstick ini justru mengalami peningkatan.

Lauder menyebut bahwa ketika ekonomi sulit, banyak orang yang akan mencari cara yang mudah untuk tetap merasa "mewah" tanpa harus merogoh kocek yang besar untuk sebuah barang-barang branded, tetapi cukup dengan membeli barang kecil seperti lipstick dari merek kenamaan.

Sebelum fenomena ini populer, sebenarnya terdapat penelitian yang dilakukan selama the great depression tahun 1930 di mana penelitian tersebut menunjukkan bahwa penjualan lipstick tidak mengalami penurunan meskipun ekonomi sedang dalam kondisi yang terpuruk.

Sehingga hal ini yang menjadi dasar dalam mendukung persepsi tentang meskipun masyarakat sedang menghadapi masa-masa sulit seperti resesi ekonomi sekali pun, mereka (konsumen) akan tetapi mencari bentuk hiburan "kecil" atau kemewahan yang bisa dijangkau dan lipstick sendiri dianggap menjadi simbol dari kemewahan kecil tersebut.

Bahkan ketika krisis ekonomi global terjadi pada tahun 2008, penjualan produk-produk kosmetik seperti lipstick ini tetap kuat bertahan dalam terpaaan badai krisis tersebut. Sehingga hal ini membuat istilah lipstick effect semakin diakui sebagai sebuah fenomena ekonomi yang nyata dan mulai menjadi perhatian para ekonom hingga pelaku bisnis.

Lebih lanjut lagi, fenomena lipstick effect dalam dunia akademik dianggap mencerminkan aspek psikologi konsumen yang lebih kompleks. Di mana kebutuhan emosional dan sosial terkadang bisa mengalahkan rasionalitas finansial. 

Lipstick effect kemudian lahir menjadi sebuah ilmu yang menjelaskan tentang fenomena perilaku konsumen dalam pola belanja khususnya ketika dalam kondisi ekonomi yang sulit.

Menjadi tren pola perilaku konsumen masa kini

Fenomena lipstick effect ini sebenarnya sebuah anomali yang masih perlu dikaji lebih lanjut. Sayangnya saat ini fenomena tersebut berkembang menjadi sebuah tren dalam masyarakat. 

Jika digali lebih lanjut dalam aspek keilmuan, memang lipstick effect sendiri lebih mengarah pada pola perilaku konsumen yang berhubungan dengan kondisi psikologis seseorang ketika dalam situasi yang sulit.

Sebut saja bentuk escapism atau kebutuhan akan pelarian. Lipstick effect sendiri seolah menggambarkan bagaimana ketika seseorang menghadapi tekanan ekonomi dan membutuhkan pelarian atas situasi tersebut. 

Mungkin kita akan bertanya-tanya lagi "jika butuh pelarian dalam tekanan ekonomi, mengapa harus tetap mengeluarkan uang untuk membeli suatu barang?

Jawabannya adalah pelarian dari barang yang sifatnya mahal dalam kondisi krisis ekonomi dan digantikan dengan "barang yang lebih kecil" namun dianggap tetap memberikan kepuasan. Sehingga konsumen merasa bahwa dengan pembelian kecil ini mereka bisa "melarikan diri" sejenak dari masalah yang lebih besar.

Namun sepertinya fenomena lipstick effect yang saat ini marak dan menjadi sebuah tren di kalangan masyarakat terjadi karena efek sosial dan FOMO (Fear of Missing Out).

Kehadiran sosial media seolah semakin mendorong banyak orang untuk membeli suatu barang agar tidak merasa tertinggal dari tren yang ada di dalam lingkungan masyarakat.

Dengan kata lain, akibat tekanan sosial tersebut konsumen akhirnya terjebak dalam keinginannya untuk tetap "terlihat" secara sosial melalui pembelian suatu barang yang bahkan bisa dikatakan tidak sepenuhnya rasional baik secara kebutuhan maupun finansial.

Secara keseluruhan lipstick effect ini menunjukkan bahwa perilaku konsumen bukan hanya soal kondisi ekonomi maupun finansial seseorang saja, tetapi juga menyangkut soal kebutuhan psikologi dan emosional seseorang. 

Banyak dari perilaku ini yang berakar dari keinginan untuk merasa memiliki kontrol atau makna dalam hidup mereka, meskipun dalam kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun