Sebut saja bentuk escapism atau kebutuhan akan pelarian. Lipstick effect sendiri seolah menggambarkan bagaimana ketika seseorang menghadapi tekanan ekonomi dan membutuhkan pelarian atas situasi tersebut.Â
Mungkin kita akan bertanya-tanya lagi "jika butuh pelarian dalam tekanan ekonomi, mengapa harus tetap mengeluarkan uang untuk membeli suatu barang?
Jawabannya adalah pelarian dari barang yang sifatnya mahal dalam kondisi krisis ekonomi dan digantikan dengan "barang yang lebih kecil" namun dianggap tetap memberikan kepuasan. Sehingga konsumen merasa bahwa dengan pembelian kecil ini mereka bisa "melarikan diri" sejenak dari masalah yang lebih besar.
Namun sepertinya fenomena lipstick effect yang saat ini marak dan menjadi sebuah tren di kalangan masyarakat terjadi karena efek sosial dan FOMO (Fear of Missing Out).
Kehadiran sosial media seolah semakin mendorong banyak orang untuk membeli suatu barang agar tidak merasa tertinggal dari tren yang ada di dalam lingkungan masyarakat.
Dengan kata lain, akibat tekanan sosial tersebut konsumen akhirnya terjebak dalam keinginannya untuk tetap "terlihat" secara sosial melalui pembelian suatu barang yang bahkan bisa dikatakan tidak sepenuhnya rasional baik secara kebutuhan maupun finansial.
Secara keseluruhan lipstick effect ini menunjukkan bahwa perilaku konsumen bukan hanya soal kondisi ekonomi maupun finansial seseorang saja, tetapi juga menyangkut soal kebutuhan psikologi dan emosional seseorang.Â
Banyak dari perilaku ini yang berakar dari keinginan untuk merasa memiliki kontrol atau makna dalam hidup mereka, meskipun dalam kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H