Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjadikan menulis sebagai salah satu coping mechanism terbaik✨

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Membedah Pesan Penting "Why Nations Fail", Ketika Lembaga Institusi Menentukan Nasib Bangsa

22 Oktober 2024   10:28 Diperbarui: 27 Oktober 2024   00:21 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru-baru ini penghargaan bergengsi bagi mereka yang telah berkontribusi luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra, hingga perdamaian yaitu Nobel telah mengumumkan beberapa tokoh yang akan menerima penghargaan tersebut.

Dari nama tokoh-tokoh yang disebutkan, terdapat beberapa nama yang menarik perhatian masyarakat di berbagai belahan dunia. Salah satunya adalah pemenang Nobel Ekonomi 2024 yang diberikan kepada ketiga akademisi asal Amerika Serikat yaitu Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James A. Robinson.

Ketiganya mendapatkan penghargaan nobel di bidang ekonomi berkat sumbangsih pemikiran dan penelitian mereka tentang bagaimana suatu lembaga-lembaga yang dibentuk dapat memberikan dampak terhadap kemakmuran. Hasil penelitian mereka juga berperan penting dalam mewujudukan keberhasilan perekonomian suatu negara.

Lebih lanjut lagi, pemikiran ini tertuang dalam buku yang berjudul "Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty" karya dari Acemoglu dan Robinson yang diterbitkan pada tahun 2012 lalu. Buku ini menjelaskan mengapa beberapa negara menjadi makmur dan sementara negara lain tetap miskin dan gagal berkembang.

Dalam bukunya, Acemoglu dan Robinson mengemukakan penolakan terkait argumen tradisional tentang mengapa suatu negara gagal dalam menciptakan kemakmuran. Terdapat tiga argumen tradisional yang mereka kritik; letak geografis, nilai-nilai budaya, dan ketidaktahuan pemimpin.

Teori tradisional soal letak geografis dan iklim dianggap menentukan keberhasilan atau kegagalan dari suatu negara. Namun, mereka menolak argumen tersebut dan berpendapat bahwa kondisi geografis suatu negara tidak selalu menentukan nasib ekonomi. Misalnya saja Singapura dan Botswana yang memiliki lokasi geografis yang tidak ideal tetapi dapat berkembang dengan pesat.

Pandangan selanjutnya yaitu soal keterkaitan antara kemakmuran dan nilai-nilai budaya tertentu. Misalnya negara dengan budaya protestan dianggap lebih maju karena ajaran protestan yang mendorong etos kerja dan akumulasi kekayaan. Dan sebaliknya, terdapat beberapa budaya yang dianggap mendorong kemalasan dan konsumsi berlebih sehingga mengambat perkembangan ekonomi.

Mereka menolak teori ini sebagai reduksionis dan stereotipikal. Artinya, teori ini menyederhanakan secara berlebihan dan melabeli masyarakat tertentu dengan cara yang tidak adil. Contohnya saja ketika Jepang dan China yang dulu dianggap memiliki budaya feodal dan konservatif, tetapi akhirnya berhasil menjadi kekuatan ekonomi setelah reformasi politik dan ekonomi.

Terakhir, ada teori ketidaktahuan pemimpin atau ignorance hypothesis. Di mana teori ini menyatakan bahwa negara menjadi miskin dan tidak makmur karena pemimpinnya tidak tahu bagaimana membuat kebijakan ekonomi yang baik. Kesalahan kebijakan ini akhirnya menciptakan korupsi, proteksionisme, hingga pengeluaran yang tidak efisien yang dianggap sebagai alasan utama dari kegagalan suatu negara.

Menurut Acemoglu dan Robinson, permasalahan utama dari hal ini bukan karena 'ketidaktahuan' tetapi justru terdapat alasan dibalik itu yaitu kepentingan elit yang ingin mempertahankan kekuasaannya. 

Para pemimpin di suatu negara sering kali 'sengaja' memilih kebijakan buruk untuk mempertahankan status quo dan melanggengkan kekuasaan mereka, bahkan jika itu harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi negara.

Penekanan teori yang dijelaskan dalam buku ini sebenarnya berfokus pada lembaga-lembaga politik dan ekonomi sebagai faktor utama yang menentukan 'kesuksesan' atau 'kegagalan' dari suatu negara.

Lembaga dalam suatu negara dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu lembaga inklusif dan lembaga ekstraktif. Lembaga inklusif mendorong partisipasi ekonomi dan politik yang luas, melindungi hak kepemilikan, menciptakan kesempatan bagi banyak orang, serta menjamin adanya hukum yang adil.

Sementara lembaga ekstraktif lebih ke mengeksploitasi sumber daya dan tenaga kerja hanya untuk kepentingan elit tertentu, hingga membatasi akses ke kekayaan dan kekuasaan bagi mayoritas penduduk.

Dari kedua jenis lembaga ini kita bisa melihat dengan jelas bagaimana jika keduanya ada dan diterapkan di suatu negara. Lembaga inklusif tentu menawarkan 'keseimbangan' antara masyarakat dan pemimpin. Sehingga hal ini dapat mencegah kekuasaan dapat disalahgunakan dan memastikan pertumbuhan ekonomi dapat terjadi secara berkelanjutan.

Berbeda dengan lembaga ekstraktif yang menawarkan sistem kolonial atau rezim otoriter, di mana justru memungkinkan untuk 'mencegah' pertumbuhan ekonomi yang merata bagi seluruh masyarakat karena kekuasaan hanya dikuasai oleh seseorang atau sekelompok pihak tertentu saja.

Sehingga Acemoglu dan Robinson menyimpulkan bahwa bukan geografi, budaya, atau bahkan kebijakan ekonomi jangka pendek yang menentukan berhasil atau gagalnya suatu negara dalam menciptakan kemakmuran, tetapi lembaga ekonomi dan politik yang bersifat inklusif memainkan peran besar dalam mewujudkannya.

Negara dapat berkembang jika dapat mengatasi lembaga ekstraktif dan mampu membangun sistem yang memungkinkan keterlibatan masyarakat secara luas dalam pengambilan keputusan ekonomi dan politik. 

Oleh karena itu, kesimbangan antara pemangku kepentingan dan masyarakat merupakan salah satu kunci sukses suatu negara dalam menciptakan kemakmurannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun