Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjadikan menulis sebagai salah satu coping mechanism terbaik✨

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fenomena Anti-Intelektualisme di Kalangan Anak Muda: Dampak Teknologi hingga Matinya Kepakaran

15 Oktober 2024   09:03 Diperbarui: 15 Oktober 2024   09:20 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: duniaperpustakaan.com

Kata "kemajuan" sering kali dianggap sebagai sebuah langkah menuju sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Siapa sangka bahwa makna kemajuan ini tidak selamanya memiliki arti yang baik, tetapi justru sebaliknya kemajuan ini seolah berjalan bersama dengan kata antonimnya yaitu "kemunduran".

Kehadiran teknologi banyak merubah kehidupan manusia. Tak bisa dipungkiri juga bahwa kehadirannya telah memberikan manfaat bagi banyak orang. 

Seperti sebuah obat, meskipun menyembuhkan tetapi jika salah-salah justru bisa meracuni tubuh kita. Begitu juga dengan teknologi yang kian hari semakin membuat pola fikir beberapa orang semakin mengalami kemunduran.

Dulu untuk mendapatkan sebuah informasi, seseorang perlu dan diharuskan membaca. Baik itu melalui buku, papan informasi, dsb. Jika dengan hal tersebut informasi tetap tidak bisa diperoleh, maka jalan lainnya yaitu bertanya pada pihak lain yang dianggap ahli dan memiliki informasi tersebut.

Saat ini informasi apapun bisa dengan mudah didapatkan melalui smartphone yang kita genggam. Bahkan untuk beberapa topik pembahasan yang sudah dianggap sebagai sebuah T.M.I (Too Much Information) pun bisa didapatkan dengan mudahnya.

Jika mencoba untuk melihat dua sisi, memang kemudahan mencari informasi ini seharusnya bisa membuat seseorang belajar dengan lebih mudah melalui berbagai informasi seperti artikel, jurnal, hingga portal data. 

Namun, di sisi lainnya kemudahan ini membuat banyak dari kita terlena sehingga akhirnya justru memberikan dampak yang buruk bagi kehidupan.

Hal ini juga bahkan secara tidak langsung bisa merusak mental banyak generasi muda. Bagaimana tidak, dengan sekali klik saja mereka bisa mendapatkan jawaban akan pertanyaan mereka dengan begitu cepatnya. 

Ditambah lagi dengan perputaran berbagai informasi melalui media lain seperti sosial media juga semakin perparah kondisi mentar anak muda zaman now.

Menurut Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, 15,5 juta (34,9 persen) remaja mengalami masalah mental dan 2,45 juta (5,5 persen) remaja mengalami gangguan mental. Dari jumlah itu, baru 2,6 persen yang mengakses layanan konseling, baik emosi maupun perilaku.

Besaran angka ini mungkin salah satu penyebabnya datang dari dampak teknologi yang menyebabkan mereka tau berbagai hal informasi sehingga menciptakan kegelisahan eksistensial.

Rollo May, seorang psikolog eksistensial terkemuka asal Amerika pada tahun 1960-an telah memprediksi tentang masa depan anak muda yang akan sangat mudah mencari tentang sebuah kepastian tentang dunia luar yang dalam hal ini adalah kemudahan untuk memperoleh informasi melalui internet.

Overload informasi ini akan menciptakan kegelisahan eksistensial, karena orang merasa "tahu segalanya" tetapi tidak menemukan makna yang dalam dari kehidupannya. Kemudian hal ini dapat menyebabkan seseorang sulit untuk memilah mana yang penting dan bermakna serta mematikan rasa ingin tahunya.

Akibatnya, anak muda akan lebih mudah merasa cemas, frustrasi , dan tidak puas karena mereka terus mengejar jawaban yang pasti. Kesulitan mendengarkan diri sendiri, lebih banyak mencari validasi eksternal, dan dalam kehidupannya penuh distraksi sehingga akhirnya sulit meluangkan waktu untuk memahami emosi, tujuan, dan pertanyaan ekisistensialnya.

Matinya rasa ingin tahu juga menyebabkan hilangnya sense of wonder pada alam dan sains. Kemudahan memperoleh akses jawaban secara langsung dan cepat, membuat banyak anak muda yang tidak suka untuk mengeksplorasi berbagai infomrasi tentang hal-hal yang berbau ilmiah. Hal lainnya juga disebabkan oleh terbiasanya mereka memperoleh informasi yang disajikan secara instan tanpa adanya proses perenungan.

Teknologi dan kemudahan memeproleh informasi bukan menjadi satu-satunya masalah. Kehadiran konten kreator dan influencer yang saat ini berperan sebagai media penyampaian informasi dengan lebih mudah lagi juga menjadi sebuah masalah yang tak kalah besarnya.

Jika seseorang masih harus memberikan sedikit usahanya untuk mencari informasi melalui internet, saat ini ada konten kreator dan influencer yang siap merangkum, mengupas, dan mengemasnya dalam bentuk audio visual. Saat ini banyak anak muda yang lebih memilih mendengarkan mereka dibandingkan harus mencari informasi di laman internet.

Membaca buku dianggap tabu, informasi berputar dengan cepat, overload informasi, dan saat ini mungkin kita akan dihadapkan pada resiko bencana bahwa anak muda nantinya mungkin lebih percaya konten kreator dan influencer dibandingkan pakar atau para ahli.

Apalagi hal ini semakin dinormalisasikan oleh pemerintah kita. Tak jarang pemerintah saat ini lebih gemar menggandeng artis, konten kreator, hingga influencer sebagai sebuah magnet daya tarik. Maka, anak muda saat ini akan semakin diyakinkan bahwa mereka adalah sosok panutan yang sudah "teruji" kebenarannya tanpa harus mencari tahu lebih lanjut.

Tom Nichols dalam bukunya yang berjudul "The Death of Expertise" lebih lanjut menjelaskan bahwa masyarakat modern memiliki kencendrungan untuk monolak dan meremehkan pengetahuan para ahli.

Hal ini disebabkan oleh tren konten kreator dan influncer yang diperkuat oleh kemudahan akses informasi melalui internet, sehingga memberikan kesan bahwa setiap orang bisa menjadi "pakar" dalam bidang tertentu.

Akibatnya, otoritas keilmuan akan dianggap tidak lebih unggul dari opini populer dari para sosok konten kreator dan influencer ini. Oleh karena itu, banyak anak muda yang akhirnya merasa tidak perlu lagi bergantung pada sumber-sumber seperti para ahli dalam memahami isu kompleks atau bahkan dalam mengambil suatu keputusan.

Fenomena atau tren seperti ini kemudian akan mengarah pada pola pikir anti-intelektualisme di kalangan generasi muda. Di mana emosi dan popularitas lebih diutamakan daripada kebenaran berbasis bukti. Maka tidak mengherankan jika anak muda sekarang hampir tidak memiliki motivasi untuk bisa berpikir secara kritis.

Kembali lagi, ini merupakan hal yang tidak bisa dihindari dari kemajuan teknologi. Karena bisa jadi kemajuan yang ada memang bisa berarti dapat "memajukan" masyarakat atau sebaliknya justru membawa masyarakat dalam hal "kemunduran".

Dapat dikatakan mungkin ini akan menjadi tanggung jawab besar bagi kita semua. Baik sebagai orang tua, guru, hingga pemerintah sekali pun agar bagaimana merubah pola pikir maupun kebiasaan dari para generasi muda. Bukan hanya untuk kebaikan pribadi mereka saja, tetapi juga untuk demi menciptakan generasi penerus bangsa yang mampu memajukan negeri ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun