Akibatnya, otoritas keilmuan akan dianggap tidak lebih unggul dari opini populer dari para sosok konten kreator dan influencer ini. Oleh karena itu, banyak anak muda yang akhirnya merasa tidak perlu lagi bergantung pada sumber-sumber seperti para ahli dalam memahami isu kompleks atau bahkan dalam mengambil suatu keputusan.
Fenomena atau tren seperti ini kemudian akan mengarah pada pola pikir anti-intelektualisme di kalangan generasi muda. Di mana emosi dan popularitas lebih diutamakan daripada kebenaran berbasis bukti. Maka tidak mengherankan jika anak muda sekarang hampir tidak memiliki motivasi untuk bisa berpikir secara kritis.
Kembali lagi, ini merupakan hal yang tidak bisa dihindari dari kemajuan teknologi. Karena bisa jadi kemajuan yang ada memang bisa berarti dapat "memajukan" masyarakat atau sebaliknya justru membawa masyarakat dalam hal "kemunduran".
Dapat dikatakan mungkin ini akan menjadi tanggung jawab besar bagi kita semua. Baik sebagai orang tua, guru, hingga pemerintah sekali pun agar bagaimana merubah pola pikir maupun kebiasaan dari para generasi muda. Bukan hanya untuk kebaikan pribadi mereka saja, tetapi juga untuk demi menciptakan generasi penerus bangsa yang mampu memajukan negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H