Beberapa negara sudah melarang keras dan membatasi kegiatan ekspor pasir laut ini, termasuk Indonesia yang benar-benar mulai menghentikan kegiatan ekspor ini sejak tahun 2003.
Jika menelisik benang sejarah mengapa pasir laut dijadikan sebagai bahan material alternatif dalam proyek pengembangan semua itu bermula ketika pasca Perang Dunia II, di mana banyak negara yang melakukan pembangunan infrastruktur secara besar-besaran.
Ditambah lagi dengan urbanisasi yang semakin pesat di banyak negara terutama Asia pada paruh kedua abad ke-20. Sehingga hal ini yang mendorong permintaan terhadap pasir meningkat pesat dari biasanya.
Pasir yang biasanya digunakan untuk proyek pengembangan seperti reklamasi dan kontruksi adalah pasir sungai. Ini karena pasir sungai memiliki tekstur dan komposisi yang ideal untuk digunakan dalam beton dan bahan bangunan lainnya.Â
Namun, karena sumber pasir sungai saat itu mengalami penambangan besar-besaran akibat permintaan yang meningkat, membuat pasir sungai semakin sulit ditemukan.
Dengan pasokan pasir sungai yang kian menipis tetapi urbanisasi terus meningkat pesat, mendorong pencarian alternatif yang lebih mudah untuk diakses yaitu salah satunya adalah pasir laut.
Apalagi negara-negara kecil dengan keterbatasan lahan seperti Singapura, mulai menggunakan pasir laut sebagai alternatif lain untuk reklamasi lahan.Â
Singapura juga menjadi negara pertama yang terkenal dalam penggunaan pasir laut dalam proyek reklamasi lahan besar-besar dengan tujuan untuk memperluas area wilayahnya.
Hingga kemudian muncul negara-negara lain dengan proyek reklamasi yang tak kalah besar seperti Hongkong, Dubai, dan Belanda yang juga memanfaatkan pasir laut untuk proyek reklamasi, membangun wilayah baru, hingga membangun infrasturktur dan kawasan industri.
Dampak ekspor pasir laut bagi laut dan manusia
Kegiatan ekspor pasir laut melalui penambangan yang dilakukan secara terus-menerus dalam jangka panjang memiliki dampak lingkungan yang sangat signifikan.