Dalam pelaksanaan pemerintahan, terdapat aspek-aspek penting yang akhirnya dibagi menjadi bidang-bidang kerja tertentu. Presiden sebagai orang nomor satu di negeri ini pada dasarnya tidak bisa melakukan semua pekerjaan dalam berbagai bidang kerja yang ada sehingga membutuhkan pihak-pihak yang dapat membantu menjalankan dan melancarkan pekerjaan tersebut.
Pasal 17 UUD 1945 menegaskan bahwa Presiden akan berkoordinasi dengan menteri-menteri yang telah dibentuknya dengan tujuan agar dapat menyelaraskan kebijakan pada bidang-bidang terkait, mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut, mengambil keputusan teknis, dan memberi saran dan masukan kepada Presiden mengenai isu-isu yang dihadapi oleh bidang kementerian tertantu.
Indonesia memiliki ciri khas yaitu sistem pemerintahan presidensial, umumnya menteri-menteri yang mengurusi berbagai bidang ini akan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kabinet menteri yang dipilih ini biasanya terdiri dari kombinasi antara menteri yang berasal dari partai politik dan professional atau ahli.
Presiden akan menunjuk menteri dari partai politik yang mendukungnya ketika pemilu untuk menciptakan koalisi pemerintahan yang stabil, tetapi juga menunjuk beberapa menteri yang berasal dari kalangan professional non-Menteri.
Berbicara soal kabinet menteri, kabar terbaru datang dari presiden terpilih Prabowo Subianto yang menjelaskan rencananya untuk membentuk kabinet kerja dengan konsep "zaken kabinet".Â
Hal ini sontak menarik perhatian banyak masyarakat dan warganet karena zaken kabinet bukanlah konsep yang umum dilakukan meskipun praktik konsepnya memang pernah dilakukan pada era Ir. Soekarno.
Lalu, apa itu zaken kabinet?
Zaken sendiri berasal dari Bahasa Belanda yang berarti "urusan" atau "hal-hal teknis". Secara harfiah, zaken kabinet ini merujuk pada pemerintahan yang terdiri dari orang-orang ahli atau prefesional dalam bidang tertentu dan bukan datang dari kalangan politisi.
Konsep zaken kabinet ini pertama kali muncul di Belanda pada abad ke-19. Konsep ini digunakan sebagai solusi ketika sistem politik negara sedang menghadapi krisis atau ketidakstabilan.
Zaken kabinet dibentuk ketika partai-partai politik tidak dapat mencapai kesepakatannya untuk membentuk kabinet, sehingga dipilihlah mereka para professional atau ahli yang memang independen dan bukan berasal dari partai politik untuk menjalankan pemerintahan.
Pasca Perang Dunia II, beberapa negara di Eropa termasuk Belanda, menghadapi sebuah tantangan besar dalam membangun kembali ekonomi dan infrastruktur.Â
Sehingga untuk memastikan bahwa tugas-tugas teknis ini dapat dilakukan dan diurus oleh orang-orang yang berkompeten, akhirnya beberapa negara membentuk kabinet teknokratik yang terdiri dari pakar ekonomi, insinyur, dan para ahli di bidang-bidang tertentu.
Alasan mengapa para profesional dan ahli di bidang tertentu dipilih dalam zaken kabinet ini, karena mereka dianggap "netral" mengacu pada independen dan bukan dari dunia politik. Sehingga pemerintahan zaken ini dianggap akan lebih fokus pada solusi teknis yang pragmatis untuk mengatasi permasalahan krisis yang terjadi di suatu negara.
Tujuan utama dari pembentukan zaken kabinet ini adalah untuk membawa "stabilitas dan kredibilitas" pada pemerintahan yang sedang mengalami krisis. Menggantikan para politisi dengan mereka para professional yang dianggap lebih independen dan ahli dalam mengelola permasalahan teknis maupun ekonomi.
Zaken kabinet diterapkan di Indonesia
Indonesia dapat dikatakan pernah menggunakan konsep zaken kabinet dalam pembentukan kabinet menteri, karena pada zaman pemerintahan Ir.Soekarno tepatnya pada tahun 1957, Soekarno menunjuk Ir.Djuanda yang merupakan seorang insinyur sebagai Perdana Menteri dan sekaligus ditugaskan untuk membentuk kabinet baru.
Kabinet yang di pimpin Ir.Djuanda dibentuk pada saat Indonesia mengalami berbagai krisis baik di bidang ekonomi maupun politik. Kabinet ini memiliki fokus dan tujuan untuk mestabilkan negara dan memajukan pembangunan dengan lebih menekankan pada kebijakan teknis dan praktis.
Namun yang membedakan Kabinet Djuanda dan zaken adalah kabinet ini tidak sepenuhnya kabinet teknokratik murni seperti pada konsep zaken kabinet.Â
Hal ini karena masih ada menteri dalam kabinet yang berasal dari politisi dan partai politik. Selain itu, kabinet ini dibentuk di tengah periode demokrasi terpimpin, di mana kepentingan politik dan kekuasan presiden tetap berperan besar dalam pembentukan kabinet tersebut.
Setelah mengurai pengertian hingga sejarah dari zaken kabinet ini, kita bisa melihat konsep kabinet Menteri ini dari dua sisi yang berbeda yaitu sebagai solusi dan juga tantangan.
Bisa jadi Alternatif Solusi
Zaken kabinet memang dapat dikatakan bisa menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan negara yang sedang tidak baik-baik saja. Tentu, seperti kita ketahui bahwa zaken kabinet ini berisikan para profesional dan ahli di berbagai bidang tertentu. Sehingga kuat kemungkinannya dari segi kompetensi, merekalah yang memang cocok untuk menangani berbagai permasalahan tersebut.
Selain itu, karena para menteri dari zaken kabinet ini bukan berasal dari dunia politik maka mereka dianggap memiliki kecenderungan untuk lebih netral karena tidak terikatnya pada kepentingan partai politik tertentu.
Sehingga dalam pengambilan keputusan yang diambil oleh para menteri zaken kabit ini akan lebih dapat dan lebih efisien karena tidak perlu adanya negosiasi politik yang rumit, apalagi ketika dalam situasi yang darurat atau krisis.
Maka tidak mengherankan jika zaken kabinet ini sering digunakan saat negara sedang menghadapi krisis politik maupun ekonomi karena mampu menjaga stabilitas dan fokus pada pemecahan masalah tanpa intervensi politik yang berlebihan.
Sisi lain yang perlu dipertimbangkan
Di sisi lain, zaken kabinet ini juga memiliki kelemahan maupun risiko yang juga perlu dipertimbangkan. Karena dibentuk dan berisikan orang-orang yang bukan dari dunia politik, zaken kabinet ini akan menemui berbagai permasalahan.
Dalam pengimplementasian kebijakan, rancangan ide dan gagasan yang dibuat oleh para menteri dari zaken kabinet ini akan tetap memerlukan konsesus dan dukungan politik untuk bisa diterapkan dengan baik dalam pemerintahan. Karena bukan berasal dari dunia politik dan tidak ada dukungan politik, mungkin akan mengambat kerjasama dengan legislatif nantinya.
Selain itu, zaken kabinet ini memiliki celah dan risiko yang lebih besar dibandingkan dengan kabinet presidensial. Khususnya dalam isu "netralitas" yang bisa dikatakan juga sebuah paradoks belaka. Meskipun berisi orang yang bukan dari dunia politik, kemungkinan untuk tetap ditunggangi oleh konflik kepentingan politik itu tetap ada.
Tidak terikat dengan partai politik mana pun justru membuatnya tanpa adanya pengawasan maupun intervensi, sehingga akan lebih mudah untuk "diarahkan" dengan bebas yang bersembunyi dibalik "profesionalisme" sebagai tameng untuk menjustifikasi keputusan-keputusan yang sebenernya memiliki agenda politis.
Risiko besar zaken kabinet sebagai kendaraan untuk melancarkan rencana besar tanpa banyak perlawanan yang disebabkan oleh tidak ada keikutsertaan partai politik juga menjadi sebuah tantangan dan ancaman baru bagi transparansi, akuntabilitas, dan demokirasi itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H