Istilah mati satu tumbuh seribu mungkin cocok untuk menggambarkan kondisi Indonesia saat ini. Seperti tidak ada habisnya, setiap hari masyarakat sudah layaknya bersahabat dengan berbagai permasalahan baru yang menimpa negeri ini.
Mulai dari masalah ekonomi, sosial, hingga politik yang terus menemui babak-babak barunya dan mungkin akan terus berulang jika pemerintah tidak mampu mengevaluasi dari kesalahan-kesalahan strategi maupun penanganan yang sebelumnya yang gagal atau bahkan tidak menemui titik terangnya.
Yang paling menarik dari ini semua adalah bagaimana pemerintah selalu mengemas permasalahan-permasalahan yang ada menjadi sesuatu hal yang bisa dianggap "baik-baik saja". Seolah menciptakan sebuah ilusi yang menjelaskan bahwa negara ini tidak memiliki masalah-masalah tersebut dan aman terkendali.
Kemajuan ilmu dan teknologi lantas tidak membuat masyarakat akan tertegun diam setelah mendapatkan informasi tersebut. Di tengah populernya istilah "SDM rendah" justru masih banyak masyarakat yang cerdas dan akan mencari dan menghubungkan informasi tersebut dengan fakta dan data yang ada.
Sayangnya memang fakta dan data terkadang akan memberikan informasi yang berbeda dengan apa yang masyarakat dapatkan. Ini yang akhirnya menciptakan gelombang kekecewaan pada berbagai lapisan masyarakat sehingga akhirnya muncul berbagai protes dan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja pemerintah.
Jika kita menengok pola kesamaan dari permasalahan yang dihadapi negeri ini, hal serupa juga pernah terjadi di negara Chili di mana pada tahun 2019 lalu, fenomena meledaknya kerusuhan sosial bahkan hampir berujung pada peristiwa revolusi terjadi sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Chili kepada kinerja pemerintahnya.
Apa itu "Chilean Paradox"?
Robert Looney dalam tulisannya pada Milken Institute Review, mengurai sejarah Chili yang di mulai ketika negara ini mampu menciptakan sebuah 'keajaiban' karena selama empat dekade mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan stabil. Hal ini menjadi perhatian dunia karena Chili sejak awal tahun 1990-an dianggap sebagai salah satu negara yang terkenal dengan 'mismanagemen' ekonominya.
Bukan tanpa alasan, tetapi sejak mantan diktator Augusto Pinochet yang juga merupakan pelaku kejahatan kemanusiaan di Chili ini mampu membuat sistem negara yang semula berprinsip sosialisme berubah menjadi sistem pasar bebas yang dikelola oleh para teknokrat.
Hal ini tentu saja membuka jalan bagi Chili untuk dapat berkembang dengan cepat dari negara pengekspor mineral yang relatif miskin menjadi negara yang makmur. Tak tanggung-tanggung bahkan pada tahun 1998, Chili telah mencapai pendapatan per-kapita tertinggi (yang dihitung dari sisi daya beli) se-Amerika Latin dan berasamaan itu kemiskinan substansial juga berkurang.
Terlepas dari pencapaian ini, kemudian tidak membuat Chili dalam kondisi yang "baik-baik saja". Justru sebaliknya, Chili menjadi negara dengan ketimpangan (pendapatan dan kesejahteraan) terparah jika menggunakan standar ketimpangan di Amerika latin. Sehingga ini yang pada akhirnya membuat "keajaiban" Chili dalam perkembangan ekonominya dianggap sebagai paradoks belaka.
Albert Hirschman, seorang ekonom Jerman-Amerika menjelaskan lebih lanjut tentang Chilean Paradox tersebut. Di mana dalam model ini, masyarakat di negara seperti Chili yang mengalami perkembangan ekonomi yang pesat biasanya akan menjadi "toleran" dengan ketimpangan pendatan, dan berharap ketimbangan tersebut akan turun atau menghilang di kemudian hari.
Jadi, meskipun pertumbuhan ekonomi Chili meningkat tetapi kesejahteraan masyarakat tidak merata, dan banyak dari mereka yang masih tertinggal terutama dalam hal akses pendidikan, kesehatan, fasilitas umum yang memadai, dan kesempatan ekonomi yang adil.Â
Ini yang kemudian disebut dengan sebuah paradoks, karena biasanya pertumbuhan ekonomi yang kuat justru akan sejalan dengan menurunnya ketimpangan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Hingga akhirnya ketidakpuasan masyarakat Chili mencapai puncaknya yaitu pada Oktober tahun 2019 ketika demonstrasi besar-besaran terjadi yang dipicu oleh kenaikan harga tiket metro di Santiag. Kemudian protes ini terus meluas lagi dan mengacu pada isu lainnya seperti ketidaksetaraan struktural.
Di mana kebijakan pemerintah Chili pada saat itu hanya menyasar pada masyarakat ekonomi kelas bawah dan tidak memperhatikan mereka yang berada di kelas menengah. Dari sini kemudian mereka yang ada di kelas menengah terjebak oleh beban pendidikan dan kesehatan sebagai akibat dari kurangnya perhatian pemerintah dalam memenuhi kebutuhan akses terhadap kedua sektor tersebut.
Fenomena yang terjadi di Chili ini menunjukkan bahwa bagimana pertumbuhan ekonomi yang stabil pun tidak cukup untuk menjamin stabilitas sosial masyarakat jika semua ini tidak diikuti dengan kebijakan redistribusi yang lebih adil.
Jejak Chilean Paradox di Indonesia
Indonesia terus menghadapi badai perekonomian yang terjadi silih berganti. Berbagai macam permasalahan terus muncul dalam tatanan sosio-ekonomi masyarakat yang akhirnya berdampak pada berbagai aktivitas baik itu secara individu, kelompok, hingga korporasi besar sekali pun.
Namun yang paling merasakan dampaknya ialah mereka yang kerap kali dianggap "mampu" menghadapi berbagai badai permasalahan ini. Masyarakat kelas menengah seringkali dipandang sebagai kelompok yang tidak perlu 'bantuan' maupun 'perhatian' yang sama seperti kelas-kelas lainnya.
Padahal mereka yang berada di kelas ekonomi menengah merupakan penopang stabilitas ekonomi. Tak jarang kondisi kesejahteraan ekonomi kelas menangah bahkan dianggap sebagai indikator stabilitas dan kesejahteraan ekonomi suatu negara.
Baru-baru ini kabar mengejutkan datang dari masyarakat ekonomi kelas menengah, di mana dalam lima tahun terakhir mereka yang berada di kelas ini terus mengalami penurunan yang signifikan.Â
Proporsi kelas menengah di tahun 2024 (17,13%) lebih rendah dibandingkan 2019 (21,455) dan dengan jumlah penurunan hampir mencapai 10 juta orang dalam lima tahun terakhir.
Hal ini semakin parah ketika badai PHK yang terjadi di sepanjang tahun 2024 ini. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah mengungkapkan bahwa terdapat tren peningkatan jumlah PHK di tahun 2024. Sepanjang Januari hingga Agustus saja terdapat setidaknya 46.240 PHK dan angka ini diprediksi akan terus mengalami peningkatan hingga akhir tahun.
Dari satu permasalahan ini saja dapat menumbuhkan permasalahan lainnya. Misalnya seperti daya beli masyarakat, di mana selama empat bulan berturut-turut (Mei-Agustus 2024) Indonesia terus mengalami deflasi.Â
Para ekonom mengungkapkan bahwa deflasi yang terjadi bukan menggambarkan penurunan harga atau kelebihan pasokan suatu komoditi, tetapi ini merupakan sinyal bahwa daya beli masyarakat sedang melemah.
Apalagi jika sudah dikaitkan dengan kelas menengah sebagai motor utama konsumsi dalam sebuah negara, penyusutan kelompok menengah yang terjadi dan diikuti dengan daya beli yang melemah menjadi pertanda bahwa perekonomian ini sedang tidak baik-baik saja dan pemerintah perlu lebih memperhatikan isu ini dengan lebih serius.
Sehingga fenomena yang terjadi dalam masyarakat kelas ekonomi menengah ini dapat dikatakan menjadi "alarm berbahaya" bagi perekonomian Indonesia. Ini menunjukkan bagaimana pertumbuhan ekonomi yang terjadi di negeri ini hanya menguntungkan segelintir kelompok elit semata, sementara mayoritas masyarakat mengalami stagnasi atau bahkan penurunan kesejahteraan.
Masyarakat kelas menengah ini bukan hanya menjadi penyumbang utama dalam konsumsi rumah tangga Indonesia secara agregat saja, tetapi juga penyumbang terbesar dalam penerimaan pajak di negeri ini. Pada tahun 2023 lalu, kelas menengah Indonesia menyumbang setidaknya 50,7% penerimaan pajak.
Riset yang dilakukan oleh LPEM FEB UI mengungkapkan fakta yang cukup menyediahkan, di mana ketika kelas ekonomi menengah dapat dikatakan 'menopang' pertumbuhan ekonomi negara tetapi di sisi lain mereka justru kelompok yang paling 'minim' merasakan pertumbuhan yang terjadi tersebut.
Growth Incidence Curve (GIC)Â Indonesia tahun 2019-2022 menunjukkan bentuk U yang mengindikasikan bahwa terjadinya pertumbuhan non-inklusif hingga manfaat pertumbuhan yang hanya terfokus pada 20% kelompok termiskin dan 10% kelompok terkaya.
Hal-hal yang bisa kita lihat dengan jelas ini seperti bagaimana isu biaya pendidikan yang kian hari semakin mahal, akses jaminan kesehatan yang masih sulit, fasilitas umum yang kurang memadai, dan lain sebagainya yang seharusnya kelas menengah ini bisa dapatkan sebagai buah dari kontribusi besarnya terhadap negeri ini.
Jika pemerintah tidak menangani penyusutan atau penurunan kelas menengah ini secara serius, maka ini dapat menciptakan ketidakpuasan yang meluas, yang mana dalam jangka panjang dapat menciptakan kondisi ketidakstabilan sosial dan politik meskipun saat ini pemerintah menganggap bahwa perekonomian ini tampak stabil dan terjaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H