Seperti tidak ada habisnya, drama dunia pendidikan negeri ini memasuki babak terbaru. Di mana media sosial X baru-baru ini dihebohkan dengan sebuah video dari salah satu akun pengguna yang menyuarakan keresahannya terhadap fenomona joki dalam dunia pendidikan ini yang sudah dianggap sebagai suatu hal yang normal.
Warganet tersebut menyebutkan bahwa praktik penggunaan joki dalam dunia pendidikan baik itu untuk menyelesaikan tugas hingga tugas akhir seperti skripsi sekali pun, itu merupakan sebuah kesalahan yang bisa dianggap sebagai suatu kebohongan bahkan dapat dikategorikan sebagai tindak penipuan.
Bagaimana tidak, ketika seorang pelajar atau mahasiswa menggunakan jasa joki, maka mereka akan menyerahkan tugas-tugasnya kepada joki tersebut untuk diselesaikan. Artinya, hasil tugas yang dikerjakan joki kemudian akan diakui sebagai hasil pekerjaannya sendiri.
Beberapa respon warganet terhadap cuitan tersebut juga tak kalah mengejutkan. Dapat dikatakan bahwa banyak respons masyarakat Indonesia khususnya di kalangan pelajar yang menormalisasi penggunaan jasa joki ini. Beberapa dari mereka bahkan mengumpakan joki sama seperti "pejualan jasa" yang biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Tak hanya berhenti sampai disitu terdapat warganet yang mewakili dirinya sebagai joki ini juga menjelaskan bahwa mereka hanya menjawab demand yang ada di dalam pasar. Ditambah lagi dengan zaman sekarang yang makin sulit untuk mendapatkan pekerjaan, mereka menganggap bahwa menjadi joki adalah sebuah hal yang "sah" meskipun pekerjaannya dapat dimasukan dalam kategori "ilegal".
Pro dan kontra yang terjadi membuat kita mempertanyakan tentang keadaan moral bangsa ini. Baik pengguna maupun penyedia jasa joki, seolah menjadi contoh bagaimana masyarakat Indonesia menganggap sebuah hal yang sudah jelas salah menjadi benar dengan berbagai alasan yang semakin mengkhawatirkan. Pertanyaannya, siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini?
Bayang-bayang joki dalam dunia pendidikan
Kemunculan layanan joki ini ternyata sudah ada sejak abad ke-20. Khususnya setelah Perang Dunia II terjadi, pendidikan pada saat itu semakin menjadi suatu hal yang dianggap penting dan kompetitif.
Hal ini kemudian yang menciptakan pasar layanan joki secara tidak langsung, di mana seseorang mulai menawarkan bantuan secara professional untuk menyelesaikan tugas akademik.
Ketika dunia memasuki era perkembangan teknologi internet pada abad ke-21, akhirnya membuat layanan joki ini semakin mudah untuk diaskes melalui berbagai platform online, dan para pelajar atau mahasiswa dapat dengan mudah menemukan dan menghubungi sang penyedia layanan jasa joki tersebut.
Hingga akhirnya kita masuk dalam era digital di mana layanan joki ini semakin lebih masif lagi. Munculnya berbagai situs web dan platform online untuk para pekerja freelance yang memungkin para penyedia jasa joki untuk menawarkan layanan mereka bahkan dalam skala yang lebih besar lagi.
Di Indonesia sendiri bahkan terdapat sebuah start-up berbadan hukum yang dengan terang-terangan menawarkan sebuah layanan jasa joki untuk membantu para pelajar dan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Ini menunjukkan bahwa layanan joki saat ini bukan lagi menjadi sebuah pasar tetapi sebuah "industri" yang diakibatkan oleh permintaannya yang terus meningkat.
Harian Kompas lebih lanjut lagi pernah melakukan investasigasi tentang kecurigaan adanya joki karya ilmiah di beberapa kota seperti Medan, Padang, Jakarta, Cirebon, Yogyakarta, dan Malang pada tahun 2023 lalu. Hasil temuannya cukup mengejutkan karena perjokian ini ternyata terjadi bukan hanya pada level mahasiswa saja tetapi dosen, bahkan guru besar.
Temuan lapangan dari harian Kompas pun beragam. Mulai dari joki tugas SMA yang dibandrol mulai dari Rp 200 ribu per tugas, joki untuk skripsi berkisar Rp 1,95 juta -- Rp 2,8 juta, joki tesis dan disertasi berkisar Rp 7,5 juta -- Rp 10 juta hingga pembuatan naskah ilmiah untuk diterbitkan di jurnal dengan biaya pembuatan sekitar Rp 10 juta.
Hasil temuan ini semakin memperluas tafsiran pengguna layanan joki. Ternyata layanan joki bukan hanya dilakukan oleh para pelajar dan mahasiswa saja tetapi dosen bahkan guru besar yang secara akademis semestinya berada pada level yang berbeda turut ikut menggunakan jasa ilegal tersebut.
Sehingga dapat dikatakan bahwa para pengguna jasa joki ini bisa diibatkan sebagai demand dan para penyedia layanan joki sebagai supply. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah celah dari permasalahan ini berasal darimana? karena semua ini tidak terjadi begitu saja tanpa adanya sebuah kesahalan yang terjadi dalam sistem pendidikan di negeri ini.
Misalnya hal sederhana seperti nilai dan gelar yang menjadi sebuah kultur dan indikator keberhasilan seseorang. Ini bisa menjadi salah satu alasan seseorang untuk melakukan berbagai cara agar bisa mendapatkan hal tersebut dengan cara yang mudah meskipun harus merogoh kocek yaitu salah satunya dengan menggunakan jasa joki.
Begitu juga dalam tingkatan dosen maupun guru besar dengan adanya persepsi bahwa semakin banyak karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal terindeks, maka dapat menjadi sebuah acuan kredibilitas sesesorang dalam dunia akademis.
Memang itu merupakan fakta yang ada dan sudah menjadi acuan kredibilitas dosen dan guru besar dalam dunia akademis, namun tanpa disadari persepsi ini juga yang menjadi celah bagi para penyedia jasa joki penulisan karya ilmiah yang hadir untuk mewujudkan hal tersebut. Bahkan yang menyedihkan lagi adalah fenomena joki ini sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan akademisi sendiri.
Dari sisi penyedia jasa joki yang menganggap bahwa mereka hanya menjawab demand yang ada dalam pasar juga merupakan hal yang tidak wajar. Apalagi jika sudah dikaitkan dengan hal-hal personal seperti sulitnya mendapatkan kerja hingga hanya sekedar untuk mengisi perut kosong.
Jika diibaratkan seorang pencuri yang melakukan aksinya dengan alasan terdesak, maka alasan tersebut tidak membuat bobot dari kesalahan itu menjadi berkurang atau bahkan hilang karena perbuatan salah teteplah menjadi salah. Sehingga tidak mengejutkan jika kita sering melihat banyak masyarakat yang menormalisasikan perbuatan tercela dengan berbagai alasan tertentu.
Dapat disimpulkan bahwa kehadiran layanan joki ini sudah menjadi sebuah "penyakit" dalam dunia pendidikan negeri ini. Dan para pengguna jasa joki sudah dengan jelas melanggar prinsip kejujuran dan intergiras akademik.
Hal ini juga bisa termasuk bentuk penipuan dalam sistem pendidikan dan dapat merugikan para pelajar, mahasiswa, dosen, atau bahkan guru besar yang sudah bekerja keras untuk meraih prestasi mereka dalam dunia akademik.
Jika hal ini terus dinormalisasi oleh masyarakat, tentunya dapat menimbulkan dampak negatif dalam jangka panjang. Hilangnya kepercayaan terhadap insitusi pendidikan hingga bahkan dapat menurunkan kualitas pendidikan secara keseluruhan di negeri ini.
Praktik penyedia dan pengguna jasa joki ini akan secara perlahan merusak moral bangsa tentang kejujuran. Bisa kita bayangkan jika negeri ini di bangun oleh mereka yang bahkan dalam menjalankan pendidikannya saja tidak jujur.Â
Untuk pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), ini adalah PR penting yang perlu dikaji lebih dalam.Â
Mungkin akan sulit untuk membasmi praktik joki ini secara menyeluruh tetapi dengan niat dan keseriusan pemerintah dalam melihat permasalahan ini, harapannya praktik perbuatan tercela ini bisa hilang secara perlahan hingga sampai ke akarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H