Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjadikan menulis sebagai salah satu coping mechanism terbaik✨

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengurai Stigma "Pure Blood" di Kalangan Mahasiswa dan Alumni Kampus Terkemuka

16 Juli 2024   12:28 Diperbarui: 17 Juli 2024   10:09 1353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shutterstock/Matej Kastelic

Baru-baru ini jagat sosial media X dihebohkan dengan cuitan salah satu warganet yang merupakan mahasiswa dari salah satu kampus terkemuka di Indonesia.

Ia mengungkapkan keresahannya karena sering melihat banyak mahasiswa yang melanjutkan studi S2 dan S3-nya di kampus tersebut namun bukan bukan bagian dari alumni atau pernah berkuliah di kampus yang sama.

Bukan tanpa alasan, ia menyebutkan bahwa banyak dari mereka yang melakukan hal-hal yang dianggap terlalu berlebihan dan terkesan overproud atau rasa terlalu bangga karena bisa berkuliah di salah satu kampus terbaik di negeri ini.

Cuitan tersebut akhirnya banyak menuai pro dan kontra. Warganet yang pro dengan cuitan tersebut mengungkapkan pendapat yang sama namun dari perspektif kampus yang berbeda. 

Bahkan keresahan ini dialami oleh dosen yang mengajar di salah satu kampus terkemuka juga, di mana dosen tersebut merasa bahwa mereka yang melanjutkan studi di kampus terkemuka namun bukan alumni dari kampus tersebut memiliki kualitas dan kapabilitas jauh dibawah standar yang diharapkan.

Sementara warganet yang kontra menganggap bahwa cuitan tersebut terlalu berlebihan karena langsung menggeneralisasikan semua orang dari kampus-kampus yang biasa saja dan melanjutkan studi di kampus terkemuka memiliki perilaku yang dianggap "overproud" atau bahkan dianggap "tidak memiliki kapabilitas" untuk kuliah di kampus tersebut.

Fenomena seperti ini bukan hanya terjadi Indonesia tetapi juga di berbagai belahan dunia. Elitisme dalam dunia akademik hingga penggunaan istilah "pure blood" dalam kamus kampus-kampus terkemuka sudah ada sejak lama dan masih menjadi bahan perbincangan hingga saat ini.

Kemudian ini yang pada akhirnya menciptakan pola perilaku sosial seseorang dari kampus-kampus terkemuka baik di Indonesia maupun dunia yang menganggap bahwa mereka adalah yang terbaik dibandingkan dengan orang-orang yang diluar dari kampus mereka.

Maka tidak mengherankan jika stigma ini tidak hanya erat dalam lingkungan kampus itu sendiri yaitu diantara para mahasiswa yang sedang berkuliah, bahkan ketika sudah menjadi alumni pun, persepsi tentang kampus terkemuka ini masih terbawa dan seolah menjadi sebuah "standar" dan "kualitas" dari seseorang.

Shutterstock/Matej Kastelic
Shutterstock/Matej Kastelic

Elitisme akademik dan stigma "pure blood" pada kampus terkemuka

Elise Brezis dalam tulisannya "Elitism in Higher Education and Inequality: Why Are the Nordic Countries So Special?" menjelaskan bahwa elitisme dalam pendidikan perguruan tinggi adalah kesenjangan antara universitas elit (terkemuka) dan universitas biasa.

Di sebagian besar negara, lulusnya seseorang dari perguruan tinggi akan terbagi menjadi dua bagian yaitu lulus dari universitas bergengsi, atau lulus dari universitas biasa atau universitas lokal (daerah). 

Ini menunjukkan bagaimana elitisme dalam pendidikan menciptakan sebuah kasta dalam lingkungan masyarakat khususnya dalam bidang akademik.

Elitisme akademik ini kemudian lahir menjadi sebuah konsep pemikiran atau sikap bahwa institusi pendidikan tertentu dan individu yang terkait di dalamnya (mahasiswa, dosen, alumni) lebih unggul atau superior dibandingkan dengan yang lain.

Beberapa aspek yang menjadikan elitisme dalam akademik ini semakin tumbuh subur hingga saat ini adalah ketika universitas tertentu dianggap memiliki kualitas pendidikan yang jauh lebih baik dibandingkan yang lain, seleksi masuknya yang sulit, fasilitas dan sumber daya yang mumpuni, hingga jaringan alumni yang kuat dan berpengaruh.

Di balik pandangan kualitas pendidikan, mahasiswa, dosen, hingga alumninya, namun yang memprihatinkan dari fenomena elitisme dalam pendidikan ini adalah lahirnya ekslusivitas dan diskriminasi dalam lingkungan masyarakat khususnya bagi mereka yang dianggap "tidak layak" untuk ada berada di kampus tersebut.

Fenomena baru-baru ini melalui cuitan salah satu warganet soal ketidaksenangannya melihat mahasiswa S2/S3 yang kerap kali melakukan hal-hal yang dianggapnya berlebihan, kemudian dilabeli dengan istilah "bukan mahasiswa original" dari kampus tersebut. 

Dengan kata lain mereka hanya dianggap sebagai mahasiswa dari kampus "biasa" yang melanjutkan pendidikannya di kampus terkemuka dan bukan bagian dari kampus tersebut.

Maka tidak mengherankan jika terdapat istilah pure blood atau darah murni yang menggambarkan jenjang pendidikan seseorang baik itu S1 atau hingga S2 bahkan S3 yang ditempuh di kampus yang sama. Sehingga mereka dianggap berdarah murni karena dari awal hingga akhir memiliki identitas sebagai mahasiswa atau lulusan dari kampus terkemuka tersebut.

Istilah ini biasanya muncul di kalangan para mahasiswa dan alumni dalam menyoroti mereka yang berasal dari kampus biasa yang melanjutkan studinya di kampus-kampus termuka. Ini kemudian yang akhirnya menjadi justifikasi dalam dunia akademik maupun dunia kerja dalam hal kualitas diri seseorang.

Berbicara tentang dunia kerja, bahkan stigma pure blood dan elitisme akademik ini tetap ada dan justru lebih spesifik. Di mana terdapat beberapa perusahaan besar maupun start-up yang hanya ingin menyaring kandidat calon karyawan dari universitas-universitas terkemuka saja.

Kembali lagi bahwa persepsi lulusan dari universitas terkemuka akan berbanding lurus dengan kualitasnya. Sementara mereka yang lulus dari kampus biasa atau bahkan kampus swasta di berbagai daerah akan dianggap memiliki kualitas yang jauh dari standar yang ditetapkan bahkan tanpa memberikan kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan kualitasnya.

Pada akhirnya hal-hal ini yang menciptakan hierarki dalam tatanan sosial. Sudah bukan dalam ranah akademis atau dunia kerja saja, tetapi status sosial dalam masyarakat yang menjadi identitas diri yang menggambarkan layak atau tidaknya seseorang untuk mendapatkan sebuah kesempatan emas.

Jika berharap stigma ini hilang dalam tatanan kehidupan sosial ini, rasanya hampir tidak mungkin. Tetapi ini dapat menjadi sebuah dorongan besar bagi semua kampus untuk dapat meningkatkan kualitasnya dari berbagai aspek agar memiliki value baik dalam pandangan akademik maupun dunia kerja.

Dan kita sebagai mahasiswa atau alumni dari kampus yang dianggap biasa tidak perlu patah semangat. Mungkin ini yang akan membedakan kita dengan para mahasiswa dan alumni kampus terkemuka karena kita harus berkali-kali lipat berusaha tanpa mengandalkan "nama kampus" untuk menunjukkan kelayakan atau kualitas diri kita.

Ingat, bunga teratai tetap tumbuh subur dengan bunganya yang cantik bahkan di kolam yang kotor dan penuh lumpur. Tidak perlu merasa berkecil hati, karena setiap tekad dan usaha kita akan bernilai sama atau bahkan lebih daripada itu meskipun bersekolah atau lulus dari kampus yang dianggap "biasa" saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun