Dapat dikatakan juga bahwa fenomena sindrom founderitis ini seolah bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, pendiri perusahaan starup yang masih merintis ingin perusahaannya dapat berkembang pesat yaitu salah satunya adalah dengan menghadirkan investor untuk mendukung pertumbuhan tersebut.
Namun di sisi lain, terkadang membawa pihak lain yang memiliki pandangan dan tujuan berbeda membuat apa yang sudah kita rancang dan impikan menjadi tidak dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Sehingga ini yang pada akhirnya menyebabkan para pendiri menyerah dan mundur dari perusahaannya sendiri, kemudian banyak perusahaan yang berakhir pada kehancurannya sebagai akibat dari hal tersebut.
Rick Boost dalam tulisannya "Founderitis: The Syndrome That Can Kill a Startup" menambahkan bahwa dalam menghadapi sindrom founderitis ini perusahaan startup masih memiliki sebuah harapan.
Founderitis ini tak hanya lebih dari sekedar permasalahan "pribadi", namun masalah ini dapat menghambat pertumbuhan perusahan secara sistemik dan menurunkan semangat kerja. Sehingga mengenali dan mengatasi sindrom ini sangat penting untuk keberlangsunga dan kemakmuran dari perusahaan mana pun.
Dalam hal ini para pendiri perusahaan bisa sedikit mengambil langkah ke belakang, menerima dengan kerendahan hati, dan menerima bahwa kesuksesan perusahaan dalam jangka panjang mungkin perlu berevolusi atau berubah di luar dari visi dan kontrol awal mereka.
Dengan kesadaran diri dan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dinamika pertumbuhan pada perusahaan startup, harapannya para pendiri atau founder dapat benar-benar memastikan warisan yang berisi ide, gagasan, dan mimpi awal mereka dalam membangun perusahaan dapat abadi sebagian bagian dari kesuksesan perusahaan di masa yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H