Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjadikan menulis sebagai salah satu coping mechanism terbaik✨

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengenal Sindrom Founderitis: Dilema Para Pendiri Perusahaan Startup dalam Menghadapi Dinamika Pertumbuhan

21 Juni 2024   16:55 Diperbarui: 23 Juni 2024   04:37 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: unsplash.com/Austin Distel

Mendirikan dan memimpin sebuah perusahaan dari awal hingga besar merupakan perjalanan yang tidak mudah untuk dilakukan oleh semua orang. Dalam prosesnya, seorang pendiri perusahaan akan menemukan berbagai tantangan dan hambatan yang luar biasa yang kemudian akan menjadi penentu apakah perusahaan ini mampu terus berdiri atau tidak.

Saat ini banyak anak muda yang memiliki bakat luar biasa dan memiliki mimpi besar untuk mendirikan sebuah perusahaan seperti Startup. Kemudian ini yang menyebabkan kehadiran berbagai perusahaan startup di berbagai negara terus mengalami perkembangan.

Namun hal tersebut juga menunjukkan bagaimana ada banyak talenta-talenta muda berbakat yang mampu menciptakan suatu inovasi yang baru dan bisa bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Tahapan demi tahapan, seorang pendiri perusahaan startup biasanya akan terlibat langsung dalam berbagai keputusan dan mengintegrasikannya ke dalam berbagai bagian dari model bisnis. Oleh karena itu, perusahaan startup akan berjalan sesuai dengan visi dan misi dari pendiri yang didukung oleh sumber daya yang ada dan lahir menjadi sebuah "bisnis".

Dalam proses pertumbuhannya, pendiri startup akan dihadapkan pada dua pilihan; berjalan ditempat dengan visi dan misinya atau tumbuh berkembang namun terdapat campur tangan pihak lain seperti investor.

Pada tahapan ini memunculkan dilema bagi para pendiri perusahaan startup. Di mana perusahaan startup baru biasanya berhadapan dengan kendala keuangan untuk bisa berkembang dan melakukan ekspansi bisnisnya, namun tidak semua pendiri startup mampu mengatasi perubahan dinamika yang terjadi selama pertumbuhan perusahaan yang disuntik dana oleh investor-investor.

Perubahan yang terjadi pada sebuah startup ketika adanya investor sebagai pihak ketiga terkadang menghasilkan sebuah reaksi yang berbeda-beda bagi para pendirinya. 

Ada yang mencoba tetap mengikuti arus karena ingin perusahaannya dapat berkembang pesat, tetapi ada yang justru lebih memilih mundur karena merasa tidak bisa mengikuti perubahan tersebut.

Terdapat istilah yang bernama "founderitis" yang menggambarkan bagaimana reaksi seorang pendiri perusahaan startup baru dalam menghadapi perubahan yang terjadi. 

Istilah tersebut lahir dari para penggiat atau praktisi dalam dunia startup yang melihat fenomena para pendiri (founder) dari startup yang mengalami kesulitan beradaptasi terhadap perubahan dalam perusahaannya sendiri.

Sumber: ideatax.id
Sumber: ideatax.id

Mengenal sindrom founderitis dalam dunia startup

Mungkin kita biasanya mendengar istilah sindrom sebagai sebuah ganguan kesehatan yang berhubungan dengan sebuah penyakit pada tubuh manusia. Namun ternyata terdapat sindrom yang bisa juga kaitkan pada sebuah reaksi dari seorang pendiri perusahaan dalam mengelola perusahaannya.

Dalam kalangan konsultan manajemen dan para pegiat IT, terdapat istilah yang dikenal dengan Founderitis. Sindrom founderitis ini  sebuah istilah yang menggambarkan pola perilaku atau reaksi terhadap suatu tantangan yang dihadapi oleh pendiri perusahaan. Biasanya istilah ini lebih sering digunakan dan dikenal di kalangan para pendiri perusahaan startup.

Founderitis mengacu pada kecendrungan dari para pendiri startup yang terlalu berpegang teguh pada visi dan cara mereka sendiri, sering kali tidak fleksible terhadap masukan dan perubahan dari luar, termasuk dari investor sebagai pihak lain yang menyuntikan dana untuk perkembangan perusahaannya.

Dalam perkembangan sebuah perusahaan startup, terdapat dua opsi pendanaan untuk mendukung perkembangan tersebut, yaitu dana dari dalam (pribadi) yang biasa dikenal dengan bootsrapping dan dana dari luar yang melibatkan pihak lainnya atau perusahaan lain (investor) dan biasa disebut dengan venture capital atau modal ventura.

Dua jenis pendanaan ini sebenarnya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun pendanaan bagi sebuah perusahaan startup apalagi bagi perusahaan yang masih merintis adalah suatu hal yang penting dalam perkembangan dan ekspansi bisnis. Sehingga ini memunculkan sebuah konflik pemikiran tentang pilihan antara berjalan ditempat atau berkembang.

Baca Juga!Bootstrapping vs Venture Capital dalam Pendanaan Perusahaan Startup: Antara Berkembang atau Tumbang

Prostock-studio | stock.adobe.com
Prostock-studio | stock.adobe.com

Sepertinya sebagian besar pendiri startup yang baru memulai bisnisnya pasti akan memilih opsi pendanaan dari luar untuk mendukung perkembangan bisnisnya. Meskipun begitu, pendiri perusahaan startup kemudian tidak akan memiliki kendali penuhnya terhadap perusahaan dan perlu mempertimbangkan hal-hal dengan para investor yang berkontribusi pada perusahaan.

Pendanaan dari luar seperti investasi yang berasal dari perusahaan lain justru terkadang menjadi awal mula permasalahan bahkan hingga kehancuran bagi perusahaan. 

Biasanya, para pendiri perusahaan startup membangun perusahaan dengan visi pribadi yang kuat dan berisi ide gagasan dan apa yang mereka inginkan dalam membangun sebuah perusahaan startup tersebut.

Sehingga ketika ada campur tangan pihak lain, maka para pendiri ini secara tidak langsung "dipaksa" untuk berbagi ide dan gagasan untuk tujuan bersama. Disinilah muncul sebuah perbedaan yang kemudian menghadirkan permasalahan baru yang bisa mempengaruhi masa depan dari  perusahaan tersebut.

Sindrom founderitis muncul sebagai reaksi dari para founder atau pendiri perusahaan startup dalam menghadapi dinamika pertumbuhan perusahaan. 

Di mana ketika perusahaan tumbuh dari suntikan dana investor, maka terdapat perubahan-perubahan yang kemudian dianggap sebagai perbedaan pandangan visi dan keinginan dengan para pendiri perusahaan startup sebelumnya.

Sumber: glenngow.com
Sumber: glenngow.com

Dr. Noam Wasserman, seorang professor dari Harvard Business School dalam tulisannya yang bertajuk "The Founder's Dillema" menjelaskan lebih lanjut mengenai berbagai permasalahan yang dihadapi oleh berbagai para pendiri perusahaan yang ada di Amerika Serikat.

Dalam penelitiannya terhadap 212 perusahaan yang baru merintis di amerika pada akhir tahun 1990-an hingga awal 2000-an, beliau menemukan bahwa sebagian besar dari perusahan tersebut "menyerah".

Dari berbagai alasan dibalik kata menyerah itu, ada salah satu alasan yang berhubungan dengan para pendiri yang mengalami culture shock ketika perusahaannya sudah berhubungan dengan pihak lain yaitu investor. 

Dalam hal ini, investor mempengaruhi kendali dan jalannya perusahaan hingga bahkan banyak dari mereka yang ingin menyingkirkan para pendiri ini dari posisinya tersebut.

Hal ini bahkan pernah terjadi pada perusahaan penyedia layanan transportasi "Uber" di mana Travis Kalanic sebagai pendiri dari Uber mengundurkan diri dari jabatannya sebagai CEO pada tahun 2017 diakibatkan oleh kontroversi dan tekanan dari pemegang saham (investor) terkait kebijakan perusahaan dan budaya kerja.

Oleh karena itu terdapat dua pilihan dalam situasi ini, pendiri perusahaan mengalah dan tidak lagi menjabat sebagai CEO/Founder atau mundur dari perusahaan. Banyak dari para pendiri yang lebih memilih mundur dibandingkan harus turun dari jabatan di perusahaannya sendiri.

Dari sini permasalahan-permasalahan lain seperti transisi kepemimpinan yang dapat mempengaruhi para karyawan yang loyal pada pendiri perusahaan awal. Cara para pendiri ini untuk mundur kerap kali membuat dan menghancurkan perusahaan yang masih dalam tahap merintis.

Dapat dikatakan juga bahwa fenomena sindrom founderitis ini seolah bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, pendiri perusahaan starup yang masih merintis ingin perusahaannya dapat berkembang pesat yaitu salah satunya adalah dengan menghadirkan investor untuk mendukung pertumbuhan tersebut.

Namun di sisi lain, terkadang membawa pihak lain yang memiliki pandangan dan tujuan berbeda membuat apa yang sudah kita rancang dan impikan menjadi tidak dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.

Sehingga ini yang pada akhirnya menyebabkan para pendiri menyerah dan mundur dari perusahaannya sendiri, kemudian banyak perusahaan yang berakhir pada kehancurannya sebagai akibat dari hal tersebut.

Rick Boost dalam tulisannya "Founderitis: The Syndrome That Can Kill a Startup" menambahkan bahwa dalam menghadapi sindrom founderitis ini perusahaan startup masih memiliki sebuah harapan.

Founderitis ini tak hanya lebih dari sekedar permasalahan "pribadi", namun masalah ini dapat menghambat pertumbuhan perusahan secara sistemik dan menurunkan semangat kerja. Sehingga mengenali dan mengatasi sindrom ini sangat penting untuk keberlangsunga dan kemakmuran dari perusahaan mana pun.

Dalam hal ini para pendiri perusahaan bisa sedikit mengambil langkah ke belakang, menerima dengan kerendahan hati, dan menerima bahwa kesuksesan perusahaan dalam jangka panjang mungkin perlu berevolusi atau berubah di luar dari visi dan kontrol awal mereka.

Dengan kesadaran diri dan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dinamika pertumbuhan pada perusahaan startup, harapannya para pendiri atau founder dapat benar-benar memastikan warisan yang berisi ide, gagasan, dan mimpi awal mereka dalam membangun perusahaan dapat abadi sebagian bagian dari kesuksesan perusahaan di masa yang akan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun