Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjadikan menulis sebagai salah satu coping mechanism terbaik✨

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Deforestasi Besar-besaran di Tanah Papua: Dimanakah Fungsi Tata Kelola dan Regulasi Berada?

4 Juni 2024   18:41 Diperbarui: 5 Juni 2024   21:51 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika harus memilih satu kata untuk menggambarkan Indonesia, sepertinya akan banyak orang yang akan menggunakan kata 'kaya' untuk menggambarkannya. Banyak negara yang sama-sama memiliki bentang alam yang indah namun tidak banyak negara yang memiliki kekyaan baik dalam hal sumber daya alam, keberagaman suku hingga bahasa.

Dunia juga bahkan menganggap Indonesia merupakan negara yang spesial dengan kekayaan tersebut. Khususnya kekayaan alam yang melimpah ruah di mana, bentang alam yang indah memanjakan mata hingga hasil bumi yang masyarakat bisa manfaatkan karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Secara teori tentu kekyaaan alam yang melimpah ini sudah seharusnya bisa memberikan dampak positif kepada masyarakat sekitar daerah bahkan negara sekalipun. Namun disini terselip kata "jika", yang mana "jika" pengelolaannya dilakukan dengan baik, adil, dan memperhatikan keberlanjutan maka tentu akan menghasilkan dampak positif yang diinginkan tersebut.

Teori hanya sebuah teori. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu merasa tidak pernah cukup. Bahkan teori perilaku konsumen yang mengatakan jika kepuasan seseorang telah mencapai puncaknya akan menurun setelahnya, tidak berlaku dalam beberapa hal. Salah satunya adalah kegiatan manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam.

Kegiatan manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam akan dilakukan sampai benar-benar sudah tidak ada yang bisa diambil lagi. Kata 'eksploitasi' ini bukan hanya menggambarkan kegiatan manusia mengeruk kekayaan alam saja tetapi juga bagaimana cara yang mereka lakukan yang sering kali merusak, tidak adil, tidak berkelanjutan, dan hanya mementingkan keuntungan pribadi saja.

Baru-baru ini tagar #AllEyesonPapua mengudara di berbagai platform sosial media. Aksi warganet yang kompak menyuarakan permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat Papua khususnya Suku Awyu dan Suku Moi yang terancam kerusakan hutan adatnya akibat dari rencana deforestasi yang diperuntukan untuk kebun kelapa sawit.

Bahkan perwakilan dari kedua suku ini rela datang jauh-jauh dari pedalaman Papua ke Jakarta, tepatnya untuk melakukan aksi damai di depan Gedung Mahkamah Agung yang bertujuan agar pemerintah 'melihat' dan 'mendengar' suara dari masyarakat lokal asli yang akan dirugikan dengan adanya kegiatan deforestasi secara besar-besaran tersebut.

thegeckoproject.org/Analysis: Can Papuan politicians protect forests without protecting the rule of law?
thegeckoproject.org/Analysis: Can Papuan politicians protect forests without protecting the rule of law?

Menelisik lebih dalam tentang hutan di Indonesia dan Papua

Asia tenggara merupakan satu dari tiga wilayah paling penting di dunia karena masih memiliki hujan hutan tropis yang luas bersamaan dengan Amazon dan Afrika Tengah. 

Keberadaan hutan hujan tropis ini memiliki peran penting bagi umat manusia karena dianggap sebagai paru-paru dunia yang mampu menghasilkan oksigen dalam skala besar bahkan mampu memenuhi 40% kebutuhan oksigen di planet bumi ini.

Maka wajar jika keberadaan hutan hujan tropis ini kemudian menjadi sebuah isu penting. Seperti kita ketahui bahwa tangan-tangan manusia ini akan merusak apapun yang terlihat belum pernah dieksploitasi sebelumnya. Dalam hal ini hutan-hutan hujan tropis tersebut bisa saja menjadi sasaran selanjutnya untuk dieksploitasi oleh manusia untuk kepentingan pihak tertentu.

Pada tahun 1950 atau tidak lama dari setelah Indonesia merdeka, 84% wilayah Indonesia masih terdiri dari hutan. Namun semua itu berubah setelah terjadinya dua perisitiwa penting yang menandai kegiatan deforestasi atau penggundulan hutan besar-besaran yang terjadi pada tahun 1985 dan 1997.

Pada tahun 1985, Indonesia telah kehilangan sepertiga dari hutannya yang diakibatkan oleh penebangan pohon yang dilakukan untuk industri berskala besar. 

Dengan adanya teknologi baru yang memungkinkan menebang pohon-pohon besar di hutan hujan tropis, investasi modal asing, dan peran "pihak pemerintah" telah menyebabkan setidaknya kehancuran pada 33% hutan dalam kurun waktu 12 tahun di Indonesia.

Kemudian pada tahun 1997, terjadi keos di negeri ini yang disebabkan oleh krisis keuangan Asia, penggulingan presiden Soeharto, hingga fenomena El-nino yang menyebabkan banyak terjadi kebakaran hutan. Selain itu kegiatan deforestasi juga meningkat drastis setelah penggulingan presiden Soeharto sebagai akibat dari desentralisasi dan pelanggaran hukum di sektor kehutanan.

Watch Indonesia dalam laporannya yang bertajuk "Forests in Papua: Data and Facts" menelisik lebih lanjut tentang kondisi luas hutan hujan tropis yang ada di Papua dan beberapa pulau lainnya di Indonesia.

Sumber: watchindonesia.de / Forests in Papua: Data and Facts
Sumber: watchindonesia.de / Forests in Papua: Data and Facts

Kegiatan deforestasi di berbagai pulau di Indonesia terlihat memiliki perbedaan yang besar. Di mana setelah kemerdekaan, luas wilayah hutan hujan di pulau Sumetera (79,7%), Kalimantan (93,5%), Papua (sekitar 99,3%), dan Jawa (38,1%). Ini menunjukkan bagaimana wilayah Indonesia pada saat itu dapat dikatakan hampir sebagian besar ditutupi oleh hutan.

Kemudian dari grafik tersebut kita bisa melihat dengan jelas bagaimana selama 47 tahun, hutan hujan tropis di pulau Sumatera, Papua, Kalimantan, hingga Jawa mengalami penurunan drastis sebagai akibat dari eksploitasi untuk kepentingan industri, yang  kita tahu juga bahwa kegiatan ini akan lebih mementingkan keuntungan dibandingkan keberlanjutan lingkungan.

Jika kita mengacu pada data tersebut, Papua merupakan pulau yang kaya akan wilayah hutan dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya. Sejak tahun 2001, kegiatan deforestasi gencar dilakukan dan dengan cepat telah menghancurkan berbagai wilayah hutan Papua. 

Sejak saat itu bahkan hingga saat ini , tanah Papua telah terdegradasi dan banyak wilayah yang mulai mulai terganggu baik secara ekologis maupun ekosistem.

Khususnya setelah adanya konsensi penebangan kayu dalam jumlah besar yang diberikan pemerintah dalam Hak Pengusahaan Hutan, telah menyebabkan penebangan hutan secara 'legal' di Papua terus meningkat dari tahun ke tahun. 

Belum lagi konsensi yang menawarkan syarat yang dapat dengan mudah disalahgunakan semakin memperarah kegiatan eksploitasi yang terjadi.

Hingga akhirnya kegiatan 'ilegal' dalam penebangan pohon di wilayah hutan Papua dengan cepat menyebar. Bahkan kegiatan ilegal ini lebih mengenaskan lagi karena bisa atau mulai merambah ke area taman nasional yang memang sudah jelas dilindungi. Diperkirakan 90% hasil penebangan kayu di Papua merupakan hasil dari kegiatan illegal.

Foto: Twitter / @ibebrumbrapuk
Foto: Twitter / @ibebrumbrapuk

Ayo bersama selamatkan hutan di tanah Papua!

Baru-baru ini masyarakat dan warganet kompak menyuarakan hak-hak masyarakat Suku Awyu dan Suku Moi dalam hal ini agar hutan adatnya dapat dijaga dan tidak dirusak untuk kepentingan pendirian perusaan kebun kelapa sawit.

Wilayah hutan memiliki arti penting bagi masyarakat Papua khususnya bagi mereka yang tinggal dalam kelompok suku adat tertentu. Bukan hanya semata-mata sebagai tempat tinggal saja, tetapi hutan adalah bagian dari hidup mereka. Sehingga dapat dikatakan bahwa hutan merupakan segalanya bagi masyarakat suku adat tersebut.

Kita juga bisa melihat bagaimana hutan bukan hanya sekedar wilayah dengan pepohonan saja, tetapi simbol dari budaya dan kehidupan sosial masyarakat. Maka dari itu masyarakat selalu senantiasa menjaga kelestarian dari hutan tersebut agar dapat terus menjadi sumber kehidupan bagi mereka.

Tetapi fakta pahit harus dirasakan oleh masyarakat Papua. Di mana eksploitasi hutan gencar dilakukan dari dulu hingga sekarang untuk kepentingan industri perkebunan, kehutanan, hingga pertambangan. Kian hari wilayah hutan Papua semakin hancur dan tergusur oleh kegiatan 'bisnis' yang tidak mementingkan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Saat ini hutan di tanah Papua kembali terancam hancur. Hutan yang berada di Kabupaten Boven Digul akan dibabat untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit oleh PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). Luas hutan yang akan di lakukan deforestasi tersebut mencapai 36 ribu hektar, atau lebih dari separuh luas Jakarta.

Masyarakat Suku Awyu dan Suku Moi yang akan terdampak dengan adanya deforestasi hutan besar-besaran ini tidak setuju dengan kegiatan eksploitasi tersebut. Mereka mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung terkait izin lingkungan kebun sawit PT IAL dengan didampingi Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua.

Proses gugatannya kini tengah bergulir di Mahkamah Agung. Kemudian ini akan menjadi harapan terakhir bagi masyarakat Suku Moi dan Suku Awyu untuk mempertahankan hutan yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka secara turun temurun tersebut.

Selain mengajukan gugatan ke MA, perwakilan dari dua suku tersebut juga mendatangi Gedung Mahkamah Agung pada Senin, 27 Mei 2024 lalu untuk menggelar aksi damai sekaligus menyuarakan keberatan atas kegiatan pembangunan kebun sawit di wilayah hutan adat mereka.

Banyak masyarakat yang melakukan aksi solidaritas untuk mengecam kegiatan eksploitasi ini melalui berbagai platform sosial media dengan membagikan berbagai jenis poster seruan protes. 

Beberapa masyarakat menyangkan dan mempertanyakan tentang dimana fungsi dari tata kelola dan regulasi pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam di negeri ini.

Harapannya pemerintah bisa memastikan apapun kegiatan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu tidak merusak lingkungan dan merugikan masyarakat lokal yang tinggal disekitarnya. Karena disinilah fungsi pemerintah melalui tata kelola dan regulasinya berada untuk bisa meminimalisir terjadinya kerusakan lingkungan yang bisa berdampak pada masyarakat.

Mari kita satukan suara untuk membantu masyarakat Suku Moi dan Suku Awyu dalam menyelamatkan hutan yang sekaligus sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka tersebut melalui petisi solidaritas yang telah dibuat oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat yang bisa di akses dengan cara mengklik tautan disini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun