Indonesia tidak hanya dianurgerahi kekayaan alam yang melimpah ruah dan tersebar di berbagai daerah saja, tetapi juga keberagaman kuliner daerah yang memiliki cita rasa lezat. Bahkan kuliner-kuliner daerah banyak yang dikenal oleh dunia sebagai hidangan terlezat yang pernah ada.
Seperti sajian hidangan rendang yang sempat menjadi peringkat pertama sebagai makanan terenak di dunia versi CNN pada tahun 2017 lalu, hingga yang baru-baru ini jajanan batagor khas Bandung yang menjadi salah satu cemilan atau jajanan terenak di dunia versi TasteAtlas 2023.
Ini menunjukkan bagaimana cita rasa kuliner daerah yang tidak hanya digemari oleh masyarakat kita sendiri, tetapi dunia pun mengakui hal tersebut.Â
Maka tidak mengherankan jika sektor makanan dan minum menopang setidaknya sepertiga industri pengelohan nasional yang diperkirakan mencapai Rp1,23 kuadriliun pada tahun 2022 lalu.
Hebatnya Indonesia dalam industri kuliner ini, terlihat dari bagaimana dari setiap satu jenis hidangan daerah pasti akan memiliki versinya masing-masing di beberapa daerah lainnya. Sebut saja sate, mungkin kita setidaknya bisa menyebutkan lima macam jenis sate dari beberapa daerah tertentu.
Misalnya kita akan lebih dekat dan familiar dengan sate madura, sate padang, sate lilit, sate klatak, hingga sate maranggi. Kelima contoh jenis sate ini berasal dari lima daerah yang masing-masing memiliki cita rasa berbeda namun masih satu keluarga dalam hidangan persatean yang ada di Indonesia.
Namun jika berbicara soal keunikan pada hidangan sate ini, sata maranggi menjadi salah satu hidangan khas yang berasal dari Purwakata, Jawa Barat yang memiliki cita rasa yang kuat, segar, namun dalam proses pembuatan hingga penyajiannya terlihat seperti sederhana. Disinilah letak keistimewaan sate maranggi yang membuatnya melegenda dari dulu hingga saat ini.
Bahkan keunikannya ini menjadi insipirasi banyak kuliner lainnya. Mungkin kita sering mendengar atau pernah menyantap kuliner yang menyatukan bumbu atau saus dari sate maranggi pada hidangan fusion (kombinasi) seperti pada hidangan steak, sushi, bahkan hingga burger.
Rasanya yang kuat membuat bumbu atau saus dari sate maranggi bisa dipadukan dengan hidangan lainnya baik itu hidangan tradisional maupun modern sekali pun.Â
Terlebih lagi ini merupakan inovasi yang bisa menarik para konsumen untuk mencoba pengalaman baru dalam menyantap hidangan dari sate maranggi tetapi pada hidangan makanan lainnya.
Sejarah lahirnya sajian hidangan sate di IndonesiaÂ
Sebelum itu, mari kita tarik garis sejarah lebih jauh tentang lahirnya hidangan sate di Indonesia. Banyak versi yang mejelaskan kelahiran dari sajian hidangan sate tersebut, ada yang menyebut sate berasal dari India, Tiongkok, hingga teori yang mengatakan bahwa sate merupakan hidangan asli yang lahir dari Indonesia.
Menurut buku Balinese Food: The Traditional Cuisine & Food Culture of Bali karya Vivienne Kruger, sate sendiri diperkirakan berasal dari Bahasa Tamil yaitu "sathai" yang berari potongan daging yang asinkan lalu dipanggang dengan tusuk kayu dan dicelupkan ke dalam saus khusus sebelum disantap.
Terdapat beberapa sumber lain mengatakan bahwa sate berasal dari dialek Minann, yang merupakan salah satu suku di Tiongkok, yaitu "sat tae bak" yang memiliki arti tiga potong daging.
Namun terdapat teori yang mengatakan bahwa sate sendiri berasal dari Indonesia namun terpengaruh oleh pedagang muslim India yang datang pada saat itu.Â
Sebelumnya penyajian sate dimasak dengan cara direbus, tetapi kedatangan para pedagang muslim Tamil dan Gujarat ke Indonesia, memperkenalkan hidangan kebab yang dimasak dengan cara dibakar. Oleh karena itu, hidangan sate lahir dan dikenal sebagai salah satu sajian hidangan yang dimasak dengan cara dibakar.
Tidak hanya cara memasaknya saja, menyajikan sate dengan cara ditusuk pun terinspirasi dari sajian kebab. Meskipun cara penyajian berubah dan terinspirasi dari negara timur tengah, namun cita rasa yang ada pada hidangan sate ini ada dan berkembang dengan menggunakan cita rasa khas asli dari Indonesia.
Terdapat teori lain yang semakin memperkuat bahwa sate merupakan sajian hidangan khas yang lahir di Indonesia. Di mana sate pertama kali hadir pada abad ke-15, ketika salah satu dari murid Sunan Gresik yang bernama Satah yang sering mengelola daging kambing dengan cara di potong kecil-kecil, ditusukan ke bambu, lalu dibakar.
Karena orang-orang menyukai hidangan yang dibuat oleh Satah, lalu hidangan tersebut diberi nama "daging satah" yang kemudian seiiring berjalannya waktu pelafalan dari hidangan tersebut berubah menjadi nama "sate".
Ternyata teori ini juga didukung oleh Jennifer Brennan dalam Encyclopedia of Chinese & Oriental Cookery (1988), yang mengatakan bahwa memang benar sate yang ada di Indonesia terinspirasi dari penglohaan sajian makanan kebab, namun ia meyakini bahwa sate memang berasal dari jawa dan berbeda dengan kebab.
Hingga akhirnya sate berkembang hingga saat ini dengan sajian dan olahan yang berbeda-beda dan terbesar di berbagai wilayah nusantara. Konsep penyajian tetap sama yaitu dengan cara memotong daging kecil-kecil, ditusuk, dan kemudian dibakar, namun dengan bumbu marinasi yang berbeda, disajikan dengan saus yang berbeda, yang lahir dan dikembangkan oleh masyarakat lokal.
Lalu, bagaimana dengan sejarah lahirnya sate maranggi?
Mengutip dari jurnal penelitian yang ditulis oleh Irvan Setiawan yang berjudul "Sate Maranggi: Kuliner Khas Kabupate Purwakarta" lebih lanjut lagi menjelaskan bagaimana awal mula lahirnya sajian hidangan sate legendaris tersebut.
Lahirnya sate maranggi ini memiliki beberapa versi teori yang berbeda. Karena dalam hal ini melihat sejarah panjang lahirnya sate di Indonesia, memungkinkan berbagam sate yang tersebar di berbagai daerah memiliki kesamaan baik dari segi bahan hingga cara atau proses penyajian.
Yang kemudian menjadi pertanyaan mengapa disebut dengan nama "sate maranggi"?. Nama maranggi sendiri mengurucut pada seorang penjual sate maranggi yang ada di Kecamatan Plered, Purwakarta. Saat itu ada penjual sate bernama "Mak Anggi" yang berjualan sekitar tahun 1960-an.
Ia berjualan sate dengan menggunakan tenda di daerah tempat tinggalnya yaitu Desa Cianting. Sate yang dijual beliau pun tersohor di daerah tersebut. Karena banyak masyarakat yang menyukai sajian hidangan makanannya, akhirnya banyak orang yang lebih mengenalnya dengan sebutan "sate Ma Anggi".
Kemudian dengan seiiring berjalannya waktu pelafalan tersebut berubah dengan adanya penambahan huruf R dan menjadi "Maranggi" untuk memudahkan dalam mengucapkannya.
Sate pada umumnya pertama kali dikenal dengan bahan berupa daging domba, namun sate maranggi berasal dari Kecamatan Plered, Purwakarta ini hadir dengan variasi sate yang berbeda karena menggunakan bahan daging sapi atau kerbau.
Penggunaan daging domba pada sajian hidangan sate biasa, terjadi karena melihat dari sisi 'nilai ekonominya". Di mana domba sendiri memiliki jangka waktu beranak pinak lebih cepat sehingga banyak peternak yang senang memilihara domba tersebut.Â
Tidak hanya bisa menjual dagingnya, kulit domba juga merupakan salah satu bahan kulit yang bernilai tinggi yang menjadi bahan dari industri fashion.
Namun penggunaan daging sapi atau kerbau pada sate maranggi dianggap sebagai "corak" kehidupan masyarakat kala itu. Di mana banyak masyarakat yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani.Â
Karena penggunaan sapi atau kerbau sebagai alat pembajak sawah, transportasi angkutan berat, maka tidak mengherankan jika daging sapi atau kerbau banyak di konsumsi oleh masyarakat pada saat itu.
Cara sate maranggi bisa tersebar dengan cepat di Purwakarta juga terbilang unik. Di mana biasanya sate maranggi akan dijajakan dengan cara berjalan kaki dan memikul dua buah kotak besar. Kotak pertama biasanya digunakan untuk menyimpan alat pemanggang dan kotak lainnya akan membawa bahan-bahan seperti sate, bumbu, dan bungkusan.
Meskipun dijajakan dengan berjalan kaki, biasanya para penjual sate maranggi ini akan memilih rute dan tempat berhenti yang sama. Ini bertujuan agar memudahkan para pelanggan untuk membeli sate maranggi tersebut. Untuk memperluas jangkauan pelanggan, biasanya mereka akan berjualan juga di daerah lain yang ramai seperti pasar malam, panggung pertunjukan, dan lain-lain.
Hingga akhirnya cara berjualan seperti ini lambat laun mulai ditinggalkan oleh sebagian besar pedagang sate maranggi. Banyak pedagang yang saat ini mulai menjual sate meranggi pada di tenda-tenda, kios, hingga berbentuk restoran dengan kapasitas yang lebih besar dan tersebar di berbagai daerah di Purwakarta bahkan kota-kota besar lainnya.
Bagi masyarakat yang ingin merasakan cita rasa otentik dari sate maranggi dari tempat kelahirannya yaitu Plered, pemerintah setempat telah mendirikan "Kampoeng Maranggi" pada tahun 2016 lalu yang merupakan sentra kuliner yang berisi banyak pedagang sate maranggi.Â
Lokasinya yang strategis karena berada di samping Stasiun Plered, membuat masyarakat dari luar daerah yang menggunakan moda transportasi kereta api akan dapat dengan mudah menjangkau lokasi tersebut.
Namun jika ingin menyantap sate maranggi sekaligus mengeksplorasi tempat-tempat lain yang ada di Kabupaten Purwakarta, masyarakat bisa mencoba untuk mendatangi Situ Buleud karena di sekitar sana masih banyak pedagang sate maranggi yang menyajakan dagangannya dengan berjalan kaki dan akan bergenti di beberapa spot tertentu.
Atau bagi masyarakat yang tidak memiliki waktu luang untuk datang ke Purwakarta secara langsung namun ingin merasakan kelezatan sate maranggi ini, bisa mencoba Sate Maranggi Haji Yetty yang sudah memiliki cabang di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H