Drama pendidikan di negeri ini sepertinya tidak ada habisnya. Untuk tahun ini saja, kita sudah dihadapkan dengan berbagai skenario buruk dari dunia pendidikan Indonesia mulai dari berbagai kontroversi seperti sulitnya mahasiswa membayar biaya pendidikan, hingga yang baru-baru ini terjadi yaitu penerima KIP yang banyak salah sasaran.
Di saat negara-negara lain berusaha semaksimal mungkin untuk memajukan pendidikan melalui kebijakan-kebijakan briliannya guna dapat menciptakan kualitas SDM yang unggul, tetapi tidak dengan Indonesia yang kian hari semakin ugal-ugalan dan lepas tangan dalam menanani berbagai polemik yang ada di dunia pendidikan ini.
Segala permasalahan yang kita lihat melalui berita maupun sosial media tentang pendidikan di negeri ini mungkin dapat dikatakan hanya 'segilintir' masalah dari berbagai jenis permasalahan yang ada, karena tidak tersorot oleh media dan lolos dari perhatian warganet.
Untuk menangani permasalahan yang terlihat jelas saja, pemerintah masih lempar batu sembunyi tangan. Seolah menyangkal, tidak ingin tahu, dan tidak adanya solusi konkret.Â
Maka tidak mengherankan jika permasalahan dalam dunia pendidikan ini tak pernah kunjung usai dan justru menciptakan efek domino negatif pada institusi-institusi pendidikan lainnya.
Beberapa waktu lalu kita sempat dihebohkan dengan salah satu PTN terbaik Indonesia yang menerapkan biaya UKT tetapi tidak sesuai dengan kemampuan orang tua. Seperti kita ketahui bahwa sistem UKT ini diberikan kepada mahasiswa sesuai dengan kemampuan ekonominya. Maka dari itu setiap mahasiswa akan memiliki nilai UKT yang berbeda-beda sesuai dengan golongan (gaji orang tua).
Namun yang terjadi adalah biaya UKT mendadak melambung tinggi dan jauh dari kemampuan ekonomi mahasiswa. Selain itu, respon perguruan tinggi akan permasalahan ini tak kalah lebih mencengangkan, karena memberikan opsi untuk meminjam uang pada platform seperti pinjaman online (pinjol) agar mahasiswa bisa membayar UKT tersebut.
Disini kita sudah melihat akar masalah awalnya dimana dan sudah semestinya pemerintah bisa secepatnya memotong akar tersebut agar tidak menjalar pada bagian lainnya.Â
Ternyata harapan tersebut memang hanya harapan semata, karena permasalahan biaya UKT yang melambung tinggi ini nyatanya saat ini mulai terjadi di berbagai PTN lainnya di Indonesia.
Baru-baru ini banyak mahasiswa dari berbagai PTN yang menyerukan aksi demo karena nilai UKT yang dinilai meningkat berkali-kali lipat. Namun respon yang didapat oleh mereka dari kampus ini cukup banyak disayangkan karena tidak memberikan solusi, bahkan ada salah satu kampus yang sampai melaporkan mahasiswanya ke pihak berwajib karena menyerukan kritik tersebut.
Yang lebih membuat heran adalah respon dari Kemendikbud yang baru-baru ini juga menanggapi isu UKT yang meroket tajam. Melansir dari Kumparan.com, Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie merespon isu ini dengan mengatakan bahwa pendidikan tinggi itu termasuk tertiary education dan bukan wajib belajar.
Inti dari ucapan Prof Tjitjik terkait hal ini secara tidak langsung menyiratkan bahwa Kemendikbud tidak bisa "mengurusi" masalah UKT ini. Dalam hal ini pemerintah hanya bisa fokus pada pendidikan yang diprioritaskan menjadi wajib (SD,SMP,SMA).
Memang dalam hal ini Kemendikbud berusaha atau "mencoba" untuk bertanggung jawab atas jalannya pendidikan di perguruan tinggi dengan adanya BOPTN atau semacam biaya operasional yang digunakan untuk membiayai biaya kuliah tunggal (BKT). Namun dalam banyak kasus yang terjadi, ternyata BOPTN ini tidak mampu membiaya sepenuhnya BKT tersebut.
UKT sendiri merupakan sebagian biaya yang ditanggung mahasiswa setelah dipotong oleh bantuan pemerintah dari keseluruhan BKT. BOPTN tidak mampu membiayai BKT sepenuhnya, maka dapat dikatakan bahwa ini bisa menjadi masalah utama yang membuat banyak dari PTN di Indonesia yang meningkatkan biaya UKT tersebut bahkan berkali-kali lipat.
Bila kita menengok inflasi pendidikan tinggi selama 5 tahun terakhir, angka inflasi terlihat mengalami fluktuasi namun cenderung meningkat. Inflasi pendidikan tinggi Indonesia sempat mengalami angka tertingginya pada tahun 2020 yaitu sebesar 1,6% namun kemudian mengalami penurunan yang sangat signifikan pada tahun berikutnya.
Namun setelah itu, inflasi pendidikan tinggi terus mengalami peningkatan secara bertahap dan signifikan terlihat hingga pada April 2024 lalu. Di mana sebelumnya inflasi pendidikan tinggi pada tahun 2023 sebesar 0,43% dan meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2024 menjadi 1,1%.
Inflasi pendidikan sendiri menggambarkan bagaimana biaya pendidikan baik itu biaya pendidikan sekolah, kuliah, dan pendidikan lainnya yang cenderung mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
Jika kita hubungkan dengan permasalahan UKT yang meroket tajam baru-baru ini, maka dapat dikatakan bahwa penyebab utama dalam meningkatnya inflasi pendidikan tinggi ini adalah UKT yang dapat dikategorikan sebagai faktor biaya operasional universitas yang menentukan 'biaya pendidikan' dari mahasiswa.
Selain UKT, melihat respon Kemendikbud yang mengatakan bahwa BPOTPN yang tidak bisa mengcover seluruh BKT kemudian menjadi alasan selanjutnya yang menyebabkan inflasi pendidikan tinggi ini meningkat.Â
Ini menunjukkan bagaimana kebijakan pemerintah itu sendiri tidak mampu menjaga agar biaya pendidikan ini tidak meningkat secara ugal-ugalan seperti yang terjadi baru-baru ini.
UKT meroket tajam di berbagai PTN, bentuk dari komersialisasi pendidikan?
Jika alasan BOPTN tidak bisa mengcover BKT sepenuhnya sehingga menyebabkan biaya UKT meningkat, mungkin kita akan bertanya-tanya mengenai apa yang menjadi standar sebuah PTN dapat meningkatkan nilai UKTnya berkali-kali lipat? Apakah hal ini diawasi dan disetujui oleh Kemendikbud?
Setelah kisruh UKT tersebut terjadi di UNRI dan Unsoed, kabar terbaru menunjukkan bahwa banyak mahasiswa dari UNS yang melakukan aksi unjuk rasa karena uang pangkal yang  meningkat 5-8 kali lipat. Bahkan salah satu prodi yang ada di UNS uang pangkalnya semula hanya Rp25 juta kemudian meningkat tajam menjadi Rp125 juta.
Yang paling aneh adalah pihak PTN sendiri tidak bisa memberikan rincian alasan mengapa nilai UKT ini bisa meningkat tajam pada beberapa prodi.Â
Belum lagi yang terjadi UNRI yang justru pihak rektornya melaporkan salah satu mahasiswa yang melayangkan kritik atas permasalahan tersebut ke pihak perwajib semakin membuat mahasiswa dan masyarakat memanas.
Respon kemendikbud baru-baru ini juga semakin membuat mahasiswa dan masyarakat kecewa. Dengan mengatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier dan bukan wajib belajar semakin memperkeruh permasalahan yang ada.
Banyak warganet di platform social media X yang menyerukan berbagai kritik pada kampus dan pemerintah. Bahkan tak sedikit dari mereka yang menyarankan kepada masyarakat untuk lebih memilih kuliah di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Thailand, hingga Jepang karena biaya pendidikan yang lebih masuk akal namun memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik jika mengacu pada posisi ranking universitas di dunia.
Beberapa PTN yang meningkatkan UKT tidak memberikan penjelasan konkret terkait kenaikan yang berkali-kali lipat ini dan ditambah pemerintah melalui Kemendikbud yang seolah lepas tangan terhadap permasalahan ini, membuat seolah pendidikan tinggi sebagai sebuah produk 'komersil' dan yang bisa menikmatinya oleh segelintir orang yang memiliki banyak uang saja.
Kisruh pendidikan ini memang membingungkan. Tidak mendapatkan penjelasan konkret dari universitas terkait meningkatnya nilai UKT hingga pemerintah yang tidak bisa memberikan solusi konkret untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.Â
Namun kita dihadapkan pada sebuah realita pahit di mana lulusan S1 saat ini menjadi sebuah salah satu syarat standar yang harus dipenuhi untuk bisa melamar pekerjaan di beberapa perusahaan bahkan institusi pemerintah tertentu.
Selain itu dengan banyaknya masyarakat yang membandingkan pendidikan di negeri ini dengan negera lain juga bukan hanya bentuk kekecewaan saja, tetapi pemerintah telah gagal memberikan fasiitas pendidikan terbak bagi warga negaranya.
Jika pemerintah tahu bahwa bantuan pemerintah tidak bisa mengcover BKT pada beberapa PTN, seharusnya juga bukan berarti 'lepas tangan' dan kemudian membebankan itu semua kepada calon-calon generasi bangsa yang bisa membangun negeri ini menjadi lebih baik.
Maka sudah seharusnya pemerintah (Kemendikbud) melalukan pengawasan dan evaluasasi terkait permasalahan hal ini. Tujuannya agar memastikan biaya pendidikan khususnya di perguruan tinggi negeri dapat terkendali dan tidak meningkat secara ugal-ugalan seperti saat ini.
Jika pemerintah ingin negera ini maju, maka sudah sepaptutnya pemerintah menaruh perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan. Karena hanya melalui pendidikanlah, masyarakat akan memiliki kualitas diri yang unggul yang tidak hanya dapat membangun negeri ini saja tetapi juga mampu bersaing dengan negara-negara lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H