Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjadikan menulis sebagai salah satu coping mechanism terbaik✨

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengenal Tren Gaya Hidup "Slow Living" yang Banyak Digandrungi Anak Muda Masa Kini

10 Mei 2024   09:53 Diperbarui: 10 Mei 2024   19:09 22492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Generasi muda tidak pernah bosan melahirkan pola pemikiran dan trend baru dalam lingkungan masyarakat. Selain karena zaman yang terus maju, informasi yang saat ini dengan mudah untuk diakses oleh masyarakat membuat tatanan sosial di kalangan anak muda pun terus mengalami perubahan secara dinamis.

Apalagi saat ini setiap anak muda pasti hampir semuanya memiliki social media. Di mana social media saat ini seolah menjadi tempat mereka untuk ajang unjuk diri. Sebenarnya ini bisa dimaknai dengan dua sisi yaitu sisi positif dan sisi negatif.

Mereka yang bisa memanfaatkan social media dengan baik, maka ajang ujuk diri ini dapat dijadikan sebagai sebuah media kreatif sehingga bisa menghasilkan konten yang menarik dan mampu menghasilkan uang yang bisa menjadi pendapatan pribadi.

Tetapi jika mereka tidak menggunakannya dengan baik, maka ajang ujuk diri hanyalah sebagai bentuk dari kegiatan yang tidak berfaedah dan biasanya akan menjerus ke arah flexing. 

Di mana orang-orang akan berlomba untuk memerkan barang-barang atau kegiatan mahalnya yang kemudian akan menimbulkan berbagai permasalahan lain dalam kehidupan sosial masyarakat.

Saat ini yang sedang hits dilakukan oleh banyak muda di social media adalah berlomba-lomba mengikuti tren terkini. Dalam hal ini biasanya terdapat sebuah tren yang digagas oleh seorang atau sekelompok orang yang kemudian akhirnya diikuti oleh orang-orang yang berada di sosial media.

Misalnya, tren menari dengan lagu terbaru yang ada di social media TikTok, mencoba mendatangi tempat-tempat hits yang masih belum banyak orang datangi, hingga kebiasaan atau aktivitas menarik yang membuat banyak orang ingin mencobanya sebagai sebuah pengalaman baru yang bisa menarik perhatian pengguna sosial media lainnya.

Beberapa waktu ini banyak anak muda yang sedang mengikutin tren life style "slow living" dengan pergi dan menetap ke daerah lain baik di dalam maupun luar negeri. 

Tren ini muncul sebagai bentuk perhatian anak muda terhadap isu kesehatan mental dengan cara hidup menyepi di tempat yang jauh dari rumah dan mencoba memperbaiki diri.

Meskipun sarat akan makna, namun banyak juga yang akhirnya melakukan tren ini sebagai kegiatan traveling 'hemat biaya' sehingga mereka bisa memanfaatkan masa mudanya dengan pergi ke berbagai tempat, yang kemudian bisa mereka abadikan melalui konten video yang dibagikan di platform social media seperti Youtube dan bisa mendapatkan pundi-pundi uang dari kegiatan tersebut.

Sumber: Pexels/Teona Swift
Sumber: Pexels/Teona Swift

Jadi, apa sebenernya itu konsep hidup "slow living"

Konsep hidup slow living merupakan bagian dari gerakan "slow movement" yang menyoroti isu masuknya restoran cepat saji di jantung kota Roma, Italia pada tahun 1980-an. Carlo Petrini dan sekelompok aktivis membentuk gerakan "slow food" yang digaungkan untuk memperjuangkan tradisi makanan daerah.

Gerakan slow food ini kemudian memiliki pendukung di lebih dari 150 negara dan untuk terus melindungi hidangan tradisional, mempromosikan upah yang adil bagi para pekerja, mendorong makanan dengan kualitas yang baik, dan melakukan kegiatan-kegiatan yang berakitan dengan keberlanjutan lingkunan.

Dari sini kemudian menginspirasi Carl Honor dalam bukunya yang berjudul "Praise of Slowness" yang menyoroti konsep hidup slow living yang bermula dari gerakan slow food. Honor mengeksplorasi bagaimana slow food ini memicu gerakan untuk 'hidup lambat' yang kemudian memiliki makna yang lebih luas.

Hidup lambat atau slow living ini diterapkan pada berbagai aspek kehidupan lainnya yang sebelumnya telah mengalami percepatan yang pesat, termasuk pekerjaan, pola asuh anak, hingga pada saat waktu santai. Tanpa disadari percepatan hidup kita terus mengalami peningkatan, demikian pula dengan kesadaran untuk hidup lebih lambat.

Selanjutnya konsep hidup slow living ini semakin berkembang menjadi sebuah pemikiran baru dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. 

Saat ini banyak istilah seperti slow travel, slow fashion, slow gardening, slow design, slow thinking yang merupakan contoh dari perkembangan pemikiran slow living yang semakin menyadarkan kita bahwa sesuatu yang berjalan lebih cepat belum tentu lebih baik.

Sebenarnya konsep hidup slow living ini lebih terkenal banyak diterapkan oleh masyarakat lanjut usia yang sudah tidak bekerja (pensiun). Di mana mereka yang sudah memiliki tabungan yang cukup akan memilih untuk pindah dan tinggal dipedesaaan untuk menikmati masa tuanya.

Dalam hal ini, mereka biasanya menginginkan kualitas hidupnya membaik dengan cara hidup secara lambat. Dalam arti mereka ingin menikmati hidup di masa-masa tua dengan baik seperti bisa menghirup udara segar, melihat pemandangan indah di depan rumah, berkebun yang kemudian hasilnya bisa dinikmati, hingga melakukan kegiatan-kegiatan produktif lainnya yang pada saat usia muda tidak bisa terealisasikan karena kesibukan yang melanda.

Generasi muda saat ini melihat gaya hidup slow living sebagai sebuah pemikiran yang menarik, terlebih isu kesehatan mental di zaman sekarang meraih banyak perhatian yang cukup serius. Konsep hidup slow living akhirnya dianggap sebagai sebuah fase penyembuhan yang layak untuk dicoba.

Sumber: iStock/Sam Edwards
Sumber: iStock/Sam Edwards

Slow living bisa menjadi solusi atau sebatas tren belaka?

Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa slow living ini memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan manusia. Misalnya Diana dan Eva yang melihat konsep hidup slow living memiliki kaitannya dengan green economy.

Di mana konsep hidup dari slow living yang memperhatikan keseimbangan dan kualitas hidup, dianggap sebagai sebuah hal yang berlawanan dengan pandangan konsumeris pada ilmu ekonomi tradisional. Sehingga slow living dianggap sebagai sebuah gaya hidup yang sustainable dan bisa menjadi solusi dalam krisis ekonomi.

Lebih lanjut lagi Adrian dkk dalam tulisannya yang berjudul "Responsible consumer and lifestyle: Sustainability insights", melihat konsep hidup slow living ini sebagai gaya hidup seorang konsumen yang bertanggung jawab.

Konsep slow living identik dengan konsumsi barang dan jasa yang rasional. Di mana mereka yang menerapkan konsep hidup ini akan lebih bijak dalam menggunakan sumber daya yang ada, lebih sedikit melakukan aktivitas yang dapat merusak lingkungan, dan yang paling penting adalah membangun hubungan interpersonal yang positif antar sesama manusia dan lingkungan.

Oleh karena, dengan mengusung konsep gaya hidup berkelanjutan pada slow living dapat memungkinkan menjadi sebuah inisiasi baru dalam masyarakat untuk menghadapi konsep pembangunan berkelanjutan. 

Dalam hal ini dengan menciptakan masyarakat yang bertanggung jawab, maka pembangunan berkelanjutan tidak hanya bisa berhasil tetapi dapat menghasilkan dampak jangka panjang yang menjanjikan bagi kehidupan manusia kedepannya.

Namun yang terjadi saat ini, generasi muda melihat konsep hidup slow living sebagai sebuah tren sekaligus "konten" menjanjikan yang bisa dibagikan melalui sosial media. Meskipun masih banyak juga dari mereka yang menerapkan konsep hidup ini untuk bisa "healing" dari hiruk pikuk percepatan dunia.

Allison Grundy dalam tulisannya yang berjudul "slow living: is it a trend or a revolution?" menyoriti dua sisi dari konsep hidup slow living tersebut yaitu dari sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif dari gerakan ini adalah banyak orang yang akhirnya sadar akan  pentingnya keseimbangan dalam hidup antara pekerjaan dan kehidupan pribadi agar menjaganya terus berkualitas.

Namun dari sisi negatifnya, saat ini banyak orang yang melakukan tren slow living untuk sebuah "konten" semata yang dibagikan di sosial media. Yang mana seharusnya konsep hidup ini menjauhkan diri dari internet untuk bisa menata hidup yang berkualitas tetapi justru sebaliknya.

Selain itu yang seharusnya dalam fase slow living ini seseorang bisa memperbaiki dan menikmati hidupnya dengan kegiatan-kegiatan positif, tetapi itu semua berubah ketika banyak orang yang pada akhirnya menjadikan kegiatan slow livingnya sebagai konten dan pada akhirnya berakhir sebagai perlombaan ajang unjuk diri di sosial media.

Semua akan kembali lagi kepada perspektif. Di mana kita bisa memilih untuk melakukan kegiatan yang dapat berdampak pada diri pribadi atau hanya untuk sekedar memenuhi hasrat tren yang ada di lingkungan masyarakat. 

Namun yang terpenting adalah konsep hidup slow living ternyata layak untuk dicoba dan bisa menjadi solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan sosio-ekonomi yang ada di dalam masyarakat saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun