Ketertarikan pada berbagai macam sajian makanan merupakan hal yang menarik bagi masyarakat. Mulai dari makanan tradisional hingga makanan kekinian, membuatnya menjadi sebuah peluang yang menjanjikan namun juga mendatangkan isu penting yang tak banyak orang ketahui dan pahami.
Mungkin hanya segilintir orang saja yang mengetahui permasalahan besar yang timbul di balik sebuah 'makanan'. Isu sampah makanan bagi beberapa orang mungkin bukan merupakan masalah yang besar karena kita terbiasa dengan persepsi bahwa 'sampah kemasan' adalah penyebab utama dari permasalahan lingkungan seperti pencemaran hingga bencana banjir.
Padahal kita punya stigma dan persepsi yang baik soal makanan di Indonesia ini. Mulai dari mayoritas masyarakat kita yang muslim sehingga membuat kita lebih dekat dan kenal dengan persepsi dan konsep mubazir khususnya dalam makanan, membuat kita seharusnya bisa lebih bijaksana dalam untuk tidak membuang makanan begitu saja.
Belum lagi orang tua zaman dulu yang menerapkan pola pikir pada anak-anaknya bahwa apabila mereka tidak menghabiskan makanannya maka makanan tersebut akan sedih dan menangis.
Dari dua contoh ini saja seharusnya sudah bisa membuat masyarakat  Indonesia lebih memperhatikan sampah makanan ini sebagai sesuatu hal penting dan serius.
Menurut Food Waste Index Report 2021, Indonesia setidaknya menghasilkan 20 juta ton sampah makanan rumah tangga per tahunnya. Indonesia juga menduduki peringkat ke-1 diantara negara-negara lain di Asia Tenggara dalam hal sampah makanan rumah tangga ini.
Setelah tiga tahun kemudian Indonesia mampu menurunkan angka sampah makanan rumah tangga ini menjadi 14 juta ton per tahun pada tahun 2024 yang dilansir dari Food Waste Index Report 2024. Namun Indonesia juga tetep bertahan dan masih menjadi negara penghasil sampah makanan rumah tangga terbesar se-Asia Tenggara.
Saat ini juga sudah mulai muncul perhatian pemerintah untuk menangani isu sampah makanan ini yaitu melalui pemebentukan organisasi volunteer GRASP 2030 atau Gotong Royong atasi Susut & Limbah Pangan di Tahun 2030 yang juga merupakan sebuah proyek jangka panjang Indonesia untuk mencapai salah satu tujuan dari Sustainable Development Goals (SDG) 12.3.
GRASP sendiri masih diaplikasikan pada sektor bisnis makanan dan belum dikenal oleh masyarakat secara luas. Sehingga ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki tugas tambahan yaitu bagaimana cara agar masyarakat dapat lebih aware secara personal kepada isu sampah makanan ini.
Apabila kita lihat contoh negara-negara maju, terdapat beberapa cara unik yang dilakukan masyarakatnya agar bisa lebih peduli terhadap sampah makanan ini.Â
Misalnya Jerman dengan gerakan sosialnya yaitu penerapan sistem Food Sharing atau berbagi makanan yang diterapkan pada berbagai toko hingga restoran sebagai sumber makanan yang akan dibagikan.
Apa itu sistem Food Sharing?
Konsep "sharing" sendiri ternyata sudah ada sejak ratusan tahun sebagai bentuk distribusi ekonomi yang paling umum dilakukan oleh manusia. Banyak literatur yang menjelaskan bahwa di masa lalu konsep berbagi ini dilakukan pada berbagai hal seperti makanan, barang, atau berbagai pemikiran.
Berbagi ini mungkin dapat dikatakan juga menjadi konsep dibalik transaksi 'barter' kala itu. Di mana dengan barter, seorang individu bisa mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan cara ditukar dengan barang lainnya yang mana individu lain membutuhkan barang tersebut. Dari konsep awal tentang berbagi inilah yang melahirkan tata cara baru dalam kehidupan bermasyarakat.
Konsep berbagi kini terus berevolusi tidak hanya untuk memberikan manfaat bagi sesama manusia tetapi dapat menjadi sebuah solusi yang memiliki dampak besar bagi alam semesta.Â
Salah satunya adalah sistem food sharing yang diadopsi oleh beberapa negara maju sebagai gerakan sosial untuk mengurangi sampah makanan yang menjadi permasalahan bagi suatu negara.
Misalnya organisasi gerakan sosial di Jerman bernama "foodsharing" yang didirikan pada tahun 2014 lalu dan memiliki tujuan untuk meningkatkan keberlanjutan dan pemanfaaran sumber daya yang ada sehingga dengan demikian dapat mengatasi masalah limbah atau sampah makanan.
Melalui kesepakatan tersebut, konsep berbagi makanan ini akan mencakup dalam berbagai jenis praktik berbagi. Misalnya pada suatu pihak tertentu, individu, pengusaha retail, atau perusahaan yang akan menyumbangkan makanan yang masih layak  kepada organisasi atau orang lain karena mereka tidak dapat menjualnya.
Penerapan konsep ini juga mengacu pada permasalahan para pengusaha retail yang barang-barangnya tidak bisa dijual kepada konsumen dengan alasan mendekati waktu expire dan biasanya masih layak untuk dikonsumsi. Dan banyak dari pengusaha ini yang tidak ingin membiarkan produk makanannya terbuang begitu saja.
Atau dari sisi orang-orang yang secara pribadi memiliki kelebihan makanan namun cenderung berlebih dan kemungkinan tidak dapat dikonsumsinya sendiri, salah memperhitungan jumlah belanjaan sehingga terdapat stok berlebih, hingga mereka yang akan berpegian jauh dalam jangka waktu yang lama dan memungkinkan meninggalkan stok makanannya.
Untuk mendapatkan makanan tersebut, biasanya organisasi akan menggunakan platform digital yang dapat ditemukan di halaman website foodsharing.de untuk mengumpulkan dan mendistribusikannya kepada pihak-pihak yang membutukan.
Dalam hal ini organisasi foodsharing melakukan kerjasama dengan beberapa mitra seperti supermarket, restoran, hingga toko roti. Setelah makanan terkumpul, mereka akan mengambil makanan tersebut pada waktu dan hari yang sudah dijawadwalkan.
Kemudian melalui platform website tersebut, makanan tersebut akan didistribusikan kepada orang-orang yang saling terhubung satu sama lain atau dibawa ke tempat lainnya seperti lembaga publik atau badan-badan tertentu yang menyediakan fasilitas tempat terbuka sehingga masyarakat dapat mengambilnya secara anonim dan gratis.
Selain dapat menjadi solusi masalah sampah makanan, nyatanya sistem food sharing ini bagi negara-negara maju yang sebagian besar memiliki sifat indiviualistik dapat menciptakan sebuah value yaitu dengan adanya interaksi sosial antar individu sehingga membentuk rasa kebersamaan dan rasa saling memiliki.
Karena ini dilakukan oleh organisasi non-profit untuk gerakan sosial, maka secara jangka panjang ini akan sangat baik karena  dapat menumbuhkan kepedulian dari masyarakat melalui kejasama dengan para pelaku usaha yang secara sukerala ingin mengatasi permasalahan sampah atau limbah makanan ini.
Gerakan sosial food sharing bawa dampak ekonomi
Sederhananya, konsep food sharing merupakan bentuk dari 'sharing economy' di sektor pangan yang kemudian menciptakan berbagai cara yang berbeda dalam mengalokasikan makanan dalam sebuah rantai nilai, mulai dari memproduksi hingga mentransformasi, mengakses, dan mendistribusikannya.Â
Melalui konsep food sharing ini juga kita dapat melihat bagaimana konsep ekonomi terkait dengan distribusi dan pertukaran produk makanan.Â
Saginova dkk lebih lanjut mengamati bagaimana kemunculan konsep food sharing ternyata juga menganut konsep "distributed use economy hingga pertumbuhan konsumsi berkelanjutan dan konsumsi bersama, yang kemudian telah mendorong inovasi dalam model bisnis yang didukung oleh teknologi digital.
Adanya platform digital yang inovatif dalam industri makanan berbasis web atau aplikasi pada smartphone dapat membantu mengurangi limbah makanan dan memungkinkan para penggunanya untuk berbagi berbagai macam jenis makanan.Â
Ini merupakan sebuah gerbrakan besar khususnya di negara Eropa yang bisa mengasilkan sampah makanan sebanyak  88 juta ton per tahunnya.
Tingginya jumlah sampah makanan memunculkan permasalahan seperti masalah lingkungan, sosial, dan ekonomi. Sehingga dengan adanya gerakan sosial yang mengusung konsep food sharing ini menjadi sebuah hal yang penting untuk pembangunan berkelanjutan, mengurangi sampah makanan, dan mempromosikan model konsumsi yang wajar dan nilai-nilai pembangunan berkelanjutan pada masyarakat.
Selain itu dengan adanya konsep food sharing ini juga dapat memunculkan kesadaran yang lebih besar akan manfaat dari berbagi makanan bagi para produsen dan pemasok makanan yang tidak hanya soal mengurangi sampah makanan saja tetapi mereka dapat merasakan manfaat seperti biaya pembuangan sampah yang berkurang hingga dapat berkontribusi pada kelestarian lingkungan.
Hasil dari analisis Saginova dkk memang menunjukkan bahwa masyarakat masih belum tertarik terhadap aplikasi maupun situs web layanan berbagi makanan yang tersedia karena alasan keterbatasan jangkauan wilayah dari gerakan sosial ini.
Namun penelitian ini menunjukkan bagaimana melalui sistem food sharing dapat menjadi bagian dari distribusi ekonomi dan kebijakan pangan yang menjanjikan untuk diterapkan.Â
Di mana melalui konsep ini dapat memberikan dampak positif yaitu dapat menumbuhkan sikap kepedulian masyarakat terhadap sampah makanan yang menjadi permasalahan lingkungan dan ekonomi suatu negara dalam jangka panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H