Mohon tunggu...
Eko Gondo Saputro
Eko Gondo Saputro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menjadikan menulis sebagai salah satu coping mechanism terbaik✨

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Industri Perfilman Dorong Multiplier Effect bagi Perekonomian Negara

4 April 2024   13:32 Diperbarui: 5 April 2024   03:00 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"The Bellos of St. Mary's" 1945/ AP Images

Di era digital saat ini, beragai macam hiburan hadir di dalam lingkungan masyarakat. Namun sepertinya dari dulu hingga sekarang, hiburan dibalik layar televisi selalu menjadi salah satu hiburan sepanjang masa. 

Apalagi perkembangan yang terjadi sekarang membuat hiburan tersebut lebih bervariasi dengan berbagai macam media dan cara untuk menikmatinya.

Dulu kita hanya bisa menemui konten-konten hiburan seperti film atau serial keluarga favorit masyarakat hanya melalui media televisi dengan jadwal waktu tertentu dan hanya sekali penanyangan saja. 

Tetapi saat ini, dengan kemajuan teknologi digital kita bisa menikmatinya di waktu, tempat, dan suasana yang lebih bebas sesuai dengan kehedendak kita.

Bioskop yang saat itu hadir sebagai sarana hiburan alternatif masih sulit ditemukan di beberapa kota. Hanya kota-kota besar saja yang memiliki sarana tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa datang ke bioskop adalah sebuah hal yang mewah yang tidak dimiliki oleh semua kalangan masyarakat.

Berbeda dengan sekarang, mungkin perserbaran bioskop di Indonesia sedikit demi sedikit mulai merata di berbagai daerah. Bahkan untuk daerah-daerah kabupaten sekali pun saat ini sudah bisa menikmati sarana hiburan bioskop ini dengan lebih mudah. Ini juga yang menyebabkan industri perfilman Indonesia dapat tumbuh dengan pesat dari waktu ke waktu.

Menurut penjelasan data yang dipaparkan oleh Statista.com revenue yang dihasilkan dari pasar bioskop Indonesia diproyeksikan dapat mencapai US$732 juta atau sekitar Rp 11,67 triliun di tahun 2024 ini.

Sumber: Statista.com
Sumber: Statista.com

Revenue ini juga diperkirakan akan terus mengalami peningkatan hingga lima tahun mendatang (2024-2029) sebesar 6,15 persen, dan diproyeksikan dapat menghasilkan volume pasar sebesar US$ 986,59 juta Rp 15,68 triliun dengan jumlah penonton yang diperkirakan akan mencapai 70 juta penonton pada tahun 2029.

Angka fantastis ini bukan lagi tentang kontribusi dari berbagai lapisan masyarakat yang menikmati industri perfilman tersebut sebagai konten hiburan yang menarik saja, tetapi bagaimana industri ini memiliki potensi yang besar dalam kontribusi meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.

"The Bellos of St. Mary's" 1945/ AP Images

Sejarah ekonomi industri perfilman internasional

Sama seperti mobil, listrik, dan pesawat terbang, kemunculan bioskop ternytata pada saat itu merupakan sebuah penemuan besar. Bioskop pada saat itu muncul di sebagian besar negara barat pada waktu yang bersamaan dan tersebar luassebagai sebuah bentuk pertama dari industri hiburan masa.

Pada akhir abad ke-18, sebagian besar konsumen menikmati sarana hiburan dengan cara yang informal, sembarang, dan tidak bersifat komersial. 

Misalnya ketika melakukan perjalanan, sering kali tiba-tiba bertemu dengan seorang penghibur di pinggir jalan, atau suguhan penampilan dari pentas sandiwara keliling, badut, dan komedian ketika mengungjungi desa tertentu.

Jika ada sarana hiburan pun seperti halnya pameran musiman yang diisi oleh berbagai macam musisi, pesulap, penari, itu pun hanya tersedia di kota-kota besar yang memiliki teater resmi yang diatur ketat oleh pengusaha lokal dan nasional.

Melihat kondisi ini, negara-negara barat mulai menderegulasi industri hiburan mereka agar memungkinkan banyak pengusaha untuk terlibat di dalam bisnis dan investasi pada industri hiburan ini; misalnya dalam sebuah rangkaian teater tetap. Amerika Serikat lah yang pertama kali melakukan liberalisasi tersebut pada akhir abad ke-18.

Langkah ini juga selanjutnya diikuti oleh negara-negara Eropa selama abad ke-19. Misalnya seperti Inggris yang mulai melakukan deregulasi di tahun 1840-an dan Prancis pada akhir tahun 1860-an. Akhirnya ini menyebabkan cikal bakal kemunculan hiburan pertunjukan live komersial, formal, dan terstandarisasi yang kemudian juga menghancurkan sebagian besar hiburan tradisional.

Kemudian awal tahun 1890-an merupakan awal mula perkembangan besar industri perfilman internasional di mulai. Thomas Edison memperkenalkan kinemotograf, yang memungkinkan pengambilan gambar dan pemutaran film pada sebuah mesin slot-coin yang bisa ditonton secara individu.

Evolusi ini berlanjut dengan begitu cepat di mana pada pertengangan tahun 1890-an, Lumire bersaudara menambahkan sebuah penemuan fitur pemutaran film dan mulai memutarkan berbagai macam film dalam suasana seperti bioskop.

Gebrakan awal tersebut akhirnya mengkonfirgurasikan ulang berbagai macam teknologi yang sudah ada seperti fotografi, mengambil gambar negative dan mencetak gambar positif, roll film, seluloid, emulsi foto dengan sensitivitas tinggi, proyeksi, dan persistensi gambar yang menghasilkan film-film berkualitas yang menghibur banyak penonton pada saat itu.

Selanjutnya film dan bioskop kemudian lahir menjadi sebuah 'industri' dan dianggap sebagai salah satu mode baru dari sekian banyak penemuan yang ada. Sejak kemunculannya, pertumbuhan yang terjadi sangat pesat secara umum di mana produksi film meningkat pesat dan distribusi film juga berkembang sebagai kegiatan khusus yang sering kali dikelola oleh produser film besar.

Perkembangan dan jatuh bangunnya industri film ini terjadi dari waktu ke waktu. Pada akhir tahun 1930-an bioskop telah menjadi hiburan masal yang penting. Bioskop telah memungkinkan pertumbuhan besar-besaran dalam produktivitas industri hiburan dan bisa mematahkan anggapan para ekonom bahwa pertumbuhan produktivitas pada industri jasa tertentu tidak mungkin terjadi.

Hingga akhirnya pada awal abad ke-20, industri film ini berubah sebagai bentuk dorongan permintaan. Di mana mulai terjadinya industrialisasi hiburan dengan melakukan standarisasi, mengotomatisasi, dan membuatnya dapat diperdagangkan.

Tahun demi tahun industri ini kemudian seolah menjadi perlombaan kualitas yang mengarah pada peningkatan pertumbuhan industri. Industri film dan bioskop juga dapat memberikan kontribusi besar terhadap produktivitas dan kesejahteraan.

Bioskop kemudian bukan hanya menjadi yang pertama dalam deretan industi media yang mengindustrialisasi hiburan, tetapi juga yang pertama dalam industri skala internasional. Evolusi yang terjadi dalam industri film juga memberikan wawasan tentang perubahan teknologi dan peningkatan kesejahteraan dapat terjadi di banyak industri jasa lainnya.

Sumber: iStock/bee32
Sumber: iStock/bee32

Industri film dorong multiplier effect bagi perekonomian

Melihat sejarah ekonomi dari industri film kita dapat melihat bagaimana kehadiran dan perkembangan industri ini ternyata dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian suatu negara.

Dalam skala global, industri film sudah bisa disebut sebagai 'mesin pertumbuhan' bagi negara. Di Amerika Serikat, industri film dapat mendukung ekonomi kreatif yang dinamis, menciptakan lapangan pekerajaan di setiap negara bagian, dan dengan meliputi berbagai keterampilan dan keahlian.

Secara keseluruhan, setidaknya terdapat 2,74 juta orang yang bekerja di bagian teknisi efek khusus, penata rias, penulis, pembangun set, petugas tiket, dan banyak lagi orang-orang yang terlibat dan bekerja di industri ini. Industri ini juga telah menggelontorkan lebih dari US$ 242 miliar dalam bentuk upah tenaga kerja untuk setiap tahunnya.

Seperti kita ketahui juga bahwa film-film yang berasal dari AS dinikmati oleh para penonton di seluruh dunia. Hal ini yang menyebabkan kegiatan ekspor dalam industri perfilman AS menyumbang setidaknya sekitar US$ 14,4 miliar per-tahun dan tercatat dalam neraca perdagangan yang positif dengan hampir semua negara di dunia.

Selain itu, melalui industri film ini juga dapat meningkatkan kunjungan pariwisata dari negara-negara yang menjadi set film ikonik dan menarik perhatian penoton untuk mengunjungi berbagai tempat yang ada pada film yang ditontonnya.

Misalnya negara bagian barat AS yaitu Montana yang memiliki lanskap alam indah yang menjadi daya tarik para pelaku cinema sebagai tempat lokasi shooting terbaik selain karena adanya intensif pajak film yang menguntungkan bagi rumah-rumah produksi perfilman.

Ternyata ini menyebabkan Montana juga berpeluang untuk menarik para penonton untuk mengunjungi berbagai pariwisata indah di negara bagian tersebut. 

Misalnya film megahit Yellowstone yang mengambil set negara bagian Montana dan akhirnya menyebabkan terjadinya lonjakan kunjungan jutaan wisatawan pada set lokasi ikonik tersebut sebagai dampaknya.

Bureau of Business and Economic Research (BBER) dari Universitas Montana bahkan memperkirakan setidaknya terdapat 2,1 juta pengunjung wisatawan yang mendatangkan US$730 juta yang akan dibelanjakan ke negara Montana pada tahun 2021 lalu.

Perpaduan kebijakan intensif pajak yang ditawarkan dan lanskap alam yang indah membuat daya tarik tersendiri bagi para pembuat film. Dampak berganda yang dihasilkan juga sangat besar, di mana dapat meningkatkan pariwisata lokal yang kemudian juga akan berdampak positif terhadap perekonomian masyarakat setempat.

Indonesia dengan populasi penduduk yang besar tentunya memiliki peluang dan potensi yang sama dalam industri perfilman ini. Dalam laporan "The economic contribution of the film and television industries in Indonesia" yang dikeluarkan oleh Oxford Economics menjelaskan bahwa industri film dan televisi memberikan kontribusi yang cukup besar pada perekonomian Indonesia.

Di mana industri ini berkontribusi sebesar Rp 27 triliun terhadap PDB Indonesia. selain itu industri film dan televisi ini juga telah mendukung 191.800 lapangan pekerjaan dan menyerap setidaknya 491.800 tenaga kerja, serta dapat menghasilkan penerimaan pajak bagi negara sebesar Rp 2,8 triliun.

Meskipun angka kontribusi industri perfilman Indonesia terhadap PDB dan pemenerimaan pajak negara terbilang masih di bawah satu persen, tetapi kontribusi tersebut tetap menunjukkan sebuah potensi yang besar dalam menciptakan multiplier effect bagi perekonomian Indonesia.

Melihat contoh Amerika Serikat dalam mengelola industri perfilman ini, kita mendapatkan sebuah pengetahuan baru bahwa industri perfilman bisa menjadi sebuah mesin pertumbuhan ekonomi yang menjanjikkan bagi negara.

Namun untuk mencapai itu semua perlu adanya kebijakan yang efektif dan efisien serta memudahkan dan menguntungkan para pelaku cinema tanah air. Sehingga industri perfilman ini dapat terus berkembang pesat dan mampu berkontribusi lebih besar lagi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun