Para food vlogger ini biasanya akan mengunjungi berbagai macam restoran berdasarkan pilihan pribadi atau melalui undangan dari restoran atau tempat makan tersebut untuk mencicipinya dan kemudian membagikan pengalaman yang mereka dapatkan melalui sebuah konten video.
Dalam konten video yang dibagikan biasanya mereka akan menunjukkan proses awal pembuatan makanan hingga dihidangkan dengan penyuntingan video yang menarik dan dramatis, kemudian mereka akan menyantap makanan tersebut di depan kamera dan membagikan ulsannya kepada penonton tentang bagaimana rasa makannya, pelayanan, hingga suasana restoran tersebut.
Sama halnya seperti food blogger, untuk menjadi seorang food vlogger dibutuhkan keahlian dan keterampilan dalam bidang fotografi. Karena konten-konten yang dibagikan oleh seorang food vlogger yang berupa video, mengharuskannya memiliki keterampilan tersebut agar bisa menyajikan konten yang menarik bagi penotonnya.
Tren konten kritik ala food vlogger
Di era serba digital ini masyarakat sudah terbiasa berdampingan dengan yang namanya internet. Segala bentuk infromasi saat ini bisa dengan mudah didapatkan melalui internet, begitu juga dalam mencari rekomendasi kuliner lezat baik yang ada di sekitar kita maupun tempat-tempat lainnya.
Food vlogging beberapa tahun ini berkembang cukup pesat di Indonesia. Konten-konten berupa video mengenai berbagai jenis kuliner yang ada di Indonesia dibagikan melalui platform social media seperti Youtube, Facebook, dan Instagram. Perkembangan pesat ini juga didukung oleh peralihan masyarakat yang mulai mencari konten-konten hiburan melalui internet.
Beberapa waktu lalu dunia maya dihebohkan dengan salah satu konten video food vlogging seorang content creator yang membagikan pengalaman tidak menyenangkannya di salah satu tempat makan viral yang ada di Jakarta. Konten ini sebenarnya menuai pro dan kontra di dalam masyarakat hingga akhirnya menjadi bahan perbincangan panas.
Beberapa orang menganggaphal yang wajar karena merupakan hak pelanggan. Namun disisi yang lain ada yang menganggap bahwa hal ini bisa merusak citra bisnis dan membuat tempat makan itu menjadi sepi pembeli dan kemudian gulung tikar akibat konten video kritik tersebut.
Dalam sebuah diskusi warganet di social media, konten video kritik ini sebenernya tidak memiliki esensi "membangun" bagi bisnis kuliner baik itu restoran besar maupun tempat makan kecil yang baru atau sedang merintis.
Terlebih lagi konten video yang dibuat oleh food vlogger tersebut biasanya dilakukan secara tidak transparan sehingga dapat dikatakan juga bahwa pihak pemilik bisnis tidak mendapatkan masukan terkait kritik tersebut diawal namun justru langsung dikemas dalam sebuah video yang dibagikan di berbagai platform social media.