Ramadan adalah bulan yang istimewa bagi setiap umat muslim. Kehadirannya tidak hanya memberikan keberkahan dan dilipatgandakannya amal-amal kebaikan saja, tetapi memberikan dampak positif bagi lingkungan masyarakat itu sendiri.
Ternyata keistimewaan bulan penuh keberkahan ini juga bisa dirasakan tidak hanya dari sisi 'spiritual' saja. Tetapi banyak aspek-aspek lain di dalam masyarakat yang turut ikut merasakan keberkahan yang dibawa oleh bulan Ramadan tersebut.
Salah satunya adalah bagaimana roda perekonomian masyarakat yang berputar begitu cepatnya. Di mana momentum Ramadan ini membuat daya beli masyarakat meningkat berkali-kali lipat dibandingkan hari biasanya. Dan dari sini UMKM akan merasakan keberkahannya yaitu dengan meningkatnya omset penjualan.
Selain itu, bulan Ramadan juga bisa menjadi sebuah peluang bagi siapa saja yang ingin membuka usaha bisnisnya. Mungkin kita sering mengamati bahwa setiap tahunnya, jumlah pelaku usaha yang berjualan ketika Ramadan selalu mengalami peningkatan secara terus-menerus.
Maka tidak mengherankan jika bulan Ramadan ini dianggap sebagai 'vitamin' bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tidak hanya soal daya beli masyarakat yang meningkat drastis, tetapi jumlah uang beredar (JUB) yang juga akan mengalami peningkatan.
Kemudian ini menjadi sebuah perpaduan kombinasi yang baik karena keduanya berjalan beriringan. JUB naik dan daya beli masyarakat naik, yang artinya terjadi perputaran ekonomi yang sehat karena keduanya menghasilkan value added dan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi negara.
Baru-baru ini sosial media dihebohkan dengan konten saudara kita yang non-muslim yang juga turut ikut memeriahkan bulan suci Ramadan tahun ini.Â
Berbagai pengguna sosial media TikTok membagikan momen keseruan mereka ketika berburu takjil di sore hari. Bahkan mereka tak segan untuk datang lebih awal dibandingkan masyarakat yang menjalankan ibadah puasa itu sendiri. Banyak gurauan yang saling dilemparkan di antara masyarakat yang muslim maupun non-muslim.Â
Mulai dari permintaan maaf karena sudah lebih dahulu memborong takjil sehingga masyarakat yang berpuasa tidak kebagian, hingga celotehan lucu seperti "bagimu agamu dan bagiku takjilmu" atau "puasa adalah kewajibanmu tetapi takjil adalah hak kita bersama".
Momen hangat ini juga terus menerus dibagikan melalui konten-konten video baik dari saudara kita yang muslim maupun non-muslim.Â
Banyak warganet yang merasa jika Ramadan tahun ini benar-bener mempersatukan masyarakat Indonesia. Perbedaan keyakinan hingga berbeda pilihan yang baru-baru saja terjadi di pemilu yang lalu mendadak hilang dan persaudaraan semakin erat.
Ini menunjukkan bahwa Ramadan adalah sebuah momen yang berharga bagi setiap orang. Tidak melihat apa pun agamanya atau bentuk usaha apa yang dijalankannya, semuanya akan mendapatkan keberkahan yang sama atas kehadiran bulan suci yang membawa kebahagiaan tersebut.
Ramadan dan perputaran ekonomi nasional
Bulan Ramadan dianggap sebagai bulan keajaiban bagi perekonomian negara. Bagaimana tidak, suatu negara yang keadaan ekonominya sedang bermasalah sekali pun mendadak bisa berubah drastis menjadi positif karena datangnya bulan suci Ramadan ini.
Misalnya daya beli masyarakat menurun akibat harga-harga meningkat. Kondisi itu bisa berubah ketika Ramadan datang dan justru menyebabkan daya beli masyarakat mengalami peningkatan.
Pengamat ekonomi Muhammad Ikbal menjelaskan bahwa konsumsi masyarakat selama Ramadan dan menjelang idulfitri dapat meningkat 25-30% dibandingkan hari-hari biasanya.
Sebuah artikel yang bertajuk "The Ramadan Effect: How Islam's Holy Month Impacts Businesses" menyoroti bagaimana bulan suci Ramadan yang berbeda dengan hari-hari besar keagamaan lainnya karena adanya pergeseran waktu pelaksanaan (tidak selalu sama) dan begitu juga dengan kondisi periode keuangan.
Dampak bisnis yang diciptakan oleh Ramadan juga pada dasarnya sulit diprediksi. Berbeda dengan hari besar keagamaan seperti natal, perayaan dilwali, hingga imlek yang selalu dilaksanakan pada periode waktu yang sama sehingga ukuran untuk memprediksi dampak pada sebuah bisnis biasanya lebih mudah terukur.
Maka dari itu apabila kita ukur secara keilmuan melalui prediksi model keuangan yang biasa dilakukan oleh investor terhadap bulan Ramadan dapat dikatakan relatif lebih rumit. Namun mungkin ada perhitungan tidak semua ilmuan dan akademisi ketahui dibalik 'keajaiban' bulan suci Ramadan tersebut.
Ramadan bagi Indonesia selalu diibaratkan dengan 'booster' pertumbuhan ekonomi nasional. Ini menunjukkan bagaimana Ramadan bisa membuat perekonomian Indonesia yang tadinya tidak baik-baik saja menjadi lebih membaik.
Keajaiban ekonomi yang tercipta dari adanya bulan suci Ramadan dapat terlihat dari kesiapan Bank Indonesia (BI) dalam memenuhi ketersediaan uang tunai selama Ramadan hingga hari raya idulfitri.
Data di atas menunjukkan seberapa besar dampak bulan suci Ramadan terhadap perputaran uang yang terjadi. Di mana ini menunjukkan adanya kegiatan ekonomi yang menciptakan sebuah value dan tentunya dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi hingga dalam skala nasional.
Angkanya pun dapat dikatakan terbilang mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Bank Indonesia menyiapkan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan atau permintaan selama Ramadan hingga idulfitri pada tahun 2019 sebesar Rp 160 triliun dan kemudian meningkat hingga Rp195 triliun pada tahun 2013 lalu.
Meskipun terlihat juga pada tahun 2020-2021 mengalami penurunan sebagai akibat pandemic Covid-19 yang menyebabkan aktivitas masyarakat terbatas, namun pada tahun 2022 kembali peningkatan hingga seterusnya. Dan pada tahun 2024 ini digadang-gadang BI sudah menyiapkan RP 197,6 triliun untuk Ramadan hingga idulfitri.
Ramadan dalam dimensi sosial
Ramadan hadir tidak hanya menjadi sebuah momen keajaiban bagi perekonomian nasional saja, tetapi juga dapat dilihat dari sisi sosial. Suatu hal yang tidak mengejutkan karena di bulan yang suci ini kegiatan sosial masyarakat juga mengalami peningkatan dibandingkan hari biasanya.
Mulai dari aktivitas masyarakat bertemu dengan kerabat dalam momen berbuka puasa bersama, kegiatan sosial membagikan makanan kepada masyarakat lainnya baik dalam skala yang kecil seperti lingkungan rumah hingga skala yang lebih besar yang biasanya dilakukan di jalan raya besar.
Binish Qardi dalam artikelnya "Ramadan and its soscio-economic implications" menjelaskan lebih lanjut bahwa Ramadan mempromosikan sifat kolektivisme di dalam masyarakat atau yang lebih sederhana lagi dapat dikatakan dengan istilah semangat kebersamaan.
Sifat kolektivisme ini bisa dilihat khususnya dalam hal 'makanan'. Ketika kita menjalankan ibadah puasa, maka kita dalam hal ini mencoba mengendalikan keinginan untuk mementingkan kepentingan pribadi, hal-hal negatif, dan demikian juga dengan kesejahteraan masyarakat.
Dari Ramadan juga kita bisa mengendalikan sebuah "keinginan tidak terbatas" yang merupakan penyebab dari kemerosotan moral masyarakat saat ini.Â
Melalui pola konsumsi saat Ramadan hingga kegiatan sosial yang berhubungan dengan masyarakat, mengajarkan kita betapa pentingnya nilai moral sosial yang bisa pelajari dan terapkan dari bulan suci Ramadan ini.
Selain itu ternyata Ramadan juga membawa kebahagiaan bagi umat muslim itu sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Filipe dan David dari Harvard Kennedy School melalui metode evaluasi subjective well-being (SWB) untuk melihat persepsi seseorang terhadap bulan Ramadan.
Hasilnya menunjukkan bahwa puasa di bulan Ramadan yang berlangsung lebih lama memiliki efek positif yang kuat, signifikan secara statistik, dan secara kuantitatif pada kesejahteraan subjek individu muslim.Â
Nilai SWB yang meningkat juga disebabkan oleh manfaat langsung yang hasilkan oleh Ramadan seperti kegiatan beribadah dan menghabiskan waktu dengan keluarga dan teman.
Dapat dikatakan juga melalui momen bulan Ramadan ini meningkatkan kebahagiaan dan kepuasan hidup. Di mana pada bulan suci ini mendorong masyarakat untuk melakukan interaksi sosial dan melakukan kegiatan ibadah dengan lebih terkoordinasi atau sederhananya adalah ketika kualitas ibadah kita yang lebih meningkat dibandingkan hari biasanya.
Kemudian efek kebahagiaan yang tercipta dari Ramadan ini ternyata pada akhirnya tidak hanya dirasakan oleh umat muslim saja tetapi 'bagi semua orang'.Â
Maka fenomena baru-baru ini saudara kita yang non-muslim turut ikut berbahagia dalam memeriahkan bulan suci Ramadan dengan cara berburu takjil juga merupakan bagian dari contoh nyata dari itu semua.
Bahkan hingga ada sebuah kalimat "the joy of Ramadan is for everyone" yang artinya kebahagiaan di dalam Ramadan adalah untuk semua orang dan tidak hanya untuk muslim yang menjalankan ibadah puasa saja.Â
Ini menunjukkan bagaimana Ramadan adalah sebuah keajaiban, tidak hanya menggerakkan roda perekonomian nasional tetapi juga mempererat persatuan di antara umat beragama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H