Ketika berbicara mengenai kehidupan masyarakat, banyak hal-hal menarik yang dapat dikupas. Setiap harinya masyarakat selalu dihadapkan dengan berbagai macam permasalahan yang dapat menjadi sebuah ilmu baru untuk menjalani kehidupannya di esok hari kemudian.
Permasalahan ekonomi biasanya selalu menjadi masalah yang tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas. Baik masyarakat pada kelas bawah hingga kelas atas sekalipun, masalah ekonomi akan menjadi sesuatu hal yang perlu diperhatikan dengan baik.Â
Salah satu masalah ekonomi yang sering muncul dalam kehidupan masyarakat adalah bagimana persepsi tentang rasa "cukup" dalam mencari kekayaan yang biasanya memiliki tujuan akhir yaitu "kebahagian".Â
Dalam ilmu ekonomi tentang perilaku konsumen dijelaskan tentang bagaimana ketika kepuasaan seseorang sudah mencapai puncaknya, dan ketika ia menambah konsumsinya lagi, maka kepuasannya akan menurun.
Tetapi teori hanya sebuah teori, di kehidupan masyarakat sepertinya rasa cukup tidak bisa digambarkan dengan mudah seperti apa yang ada dalam sebuah teori. Seorang individu akan selalu merasa apa yang dicapainya belum berada pada level yang "cukup" dan tidak akan berhenti untuk mencari makna "cukup" yang sebenarnya.
Bahkan ketika berada pada level yang sudah sesuai dengan standarnya pun, seseorang pasti akan berusaha untuk mengejar standar lainnya yang dianggap sebagai sesuatu hal baru yang perlu dicapai selanjutnya. Maka, kepuasan adalah sesuatu hal tidak akan pernah bisa dicapai oleh seorang manusia ketika mereka membuat standar-standar tertentu dalam hidupnya.
Apabila dihubungkan dengan permasalahan ekonomi di lingkungan masyarakat saat ini akan erat kaitannya dengan "level finansial seseorang" dan "apakah bisa bahagia dengan level finansial tersebut?". Dua hal tersebut kemudian menjadi perdebatan dalam lingkungan masyrakat karena memiliki persepsi yang berbeda-beda terkait kedua hal tersebut.
Level Kebahagiaan dan Hedonic Treadmill
Brickman dan Campbell pada tahun 1971 dalam bukunya yang berjudul Hedonic Relativism and Planning the Good Society menggambarkan sebuah level dari kebagiaan pada teori yang bernama "hedonic tredmill". Teori ini menjelaskan tentang sebuah adaptasi dari seseorang saat mengalami reaksi emosional terhadap kejadian-kejadian dalam hidupnya.
Lebih lanjut keduanya menjelaskan bahwa istilah hedonic treadmill sendiri digunakan untuk mengambambarkan bagaimana seseorang memiliki kecendrungan untuk beradaptasi dengan peristiwa yang baik dan buruk, kemudian kembali lagi ke tingkat dasar kebahagiaan yang sama.Â
Sejak saat itu, sejumlah penelitian di bidang psikologi dan ekonomi telah menunjukkan beberapa bukti empiris bahwa seseorang dapat beradaptasi dengan peristiwa tertentu.
Ketika dihubungkan dengan level kebahagiaan, dalam model teori hedonic treadmill ini mengambarkan bagaimana level kebahagiaan dan ketidakbahagiaan seseorang hanyalah sebuah reaksi singkat terhadap perubahan keadaan manusia.
Orang-orang akan terus mengejar kebahagiaan karena mereka salah dalam memaknai sebuah persepsi tentang kebahagiaan yang lebih besar akan muncul tepat di depan mata ketika tujuan berikutnya sudah tercapai.Â
Tujuan-tujuan baru akan terus menerus muncul, maka seseorang akan terus berusaha untuk menjadi bahagia tanpa menyadari bahwa dalam jangka panjang upaya tersebut adalah sia-sia.
Oleh karena itu level kebahagiaan seseorang sebenarnya tidak pernah meningkat, meskipun menggunakan standar-standar tertentu. Sehingga ketika mereka sudah mencapai pada standar A, maka mereka akan merasa perlu mencapai standar B dan seterusnya. Sehingga level kebahagiaan kita akan diibaratkan seperti jalan di tempat selayaknya berjalan pada sebuah treadmill.
Hedonic Treadmill di Lingkungan Sosial-Ekonomi Masyarakat
Dari beberapa penjelasan mengenai hedonic treadmill di berbagai jurnal penelitian, fenomena yang sering terjadi di lingkungan sosial-ekonomi masyarakat biasanya berhubungan dengan "pendapatan" atau "kemampuan finansial" seseorang yang akan berkolerasi positif dengan harapan terhadap level kebahagiaan yang akan diterima.
Kedua persepsi ini tentunya akan memperoleh pro dan kontra. Pihak pro akan merasa ini sangat masuk akal karena "uang" yang menjadi komponen utama dalam pendapatan dan kemampuan finansial seseorang akan menentukkan bagaimana kehidupannya berjalan.
Pihak kontra pasti akan menganggap bahwa uang bukan segalanya dan kebahagian itu tidak selalu tentang uang. Namun, realita yang ada memang lebih banyak terjadi tentang bagimana seseorang berada dalam posisi yang kekurangan karena akan merasakan betapa sulitnya ketika hidup dengan keterbatasan.
Pro dan kontra ini juga terjadi pada diantara para ekonom maupun non-ekonom tentang level kebahagiaan seseorang ketika dihubungkan dengan model teori "hedonic treadmill".Â
Pendapat umum yang dikemukakan para peneliti terdahulu tentang level kebahagiaan adalah positif dan signifikan secara statistik. Sederhananya dapat digambarkan dengan pendapatan seseorang, ketika pendapatan orang tersebut meningkat maka level kebahagiaan akan meningkat.
Meskipun demikian, hasil penelitian yang dilakukan peneliti tentang model teori hedonic treadmill dan level kebahagiaan beberapa tahun kebelakang ini berbeda dengan para penilti terdahulu. Misalnya Bottan dan Truglia pada penelitiannya dalam melihat apakah kebahagiaan bersifat autoregresif atau terjadi perubahan dalam rentang waktu tertentu.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa level kebahagiaan seseorang memiliki celah yang digambarkan dalam lag secara statistik . Lag ini menunjukkan bahwa level kebahagiaan seseorang itu tidak bisa diamati seluruhnya dengan korelasi yang positif dan signifikan secara statistik dari waktu ke waktu, karena terdapat variable lain yang masing-masing orang memiliki perbedaan dan bersifat dinamis selama rentang waktu tertentu.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Diener dkk dalam kajiannya tentang hedonic treadmill dan memberikan revisi terhadap model ini berdasarkan penelitian empiris terbaru. Salah satu poin yang menarik dari penelitian ini adalah tentang sebuah fakta bahwa seseorang pada dasarnya memiliki beberapa titik kebahagiaan.
Titik-titik kebahagiaan ini akan berbeda pada masing-masing orang, seperti perasaan yang menyenangkan, perasaan tidak menyenangkan, dan kepuasaan akan hidupnya. Selain itu juga titik kebahagiaan ini akan dinamis dan berubah-ubah yang dipengaruhi oleh emosi dan faktor-faktor lainnya.
Dari penelitian-penelitian terbaru mengenai hedonic treadmill, dapat disimpulkan bahwa level kebahagiaan seseorang tidak secara mutlak bersifat positif dan signifikan.Â
Level kebahagiaan seseorang dapat berubah-berubah dari waktu ke waktu. Ini juga menyebabkan standar kebahagiaan seseorang akan memiliki berbagai versi dan tidak bisa diamati dengan mudah. Sehingga memerlukan waktu yang lama agar dapat mengkajinya lebih dalam.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa seseorang dapat terjebak dalam sebuah hedonic treadmill. Karena dalam proses mencari kebahagiaannya, seseorang cenderung akan terus mengubah standar level kebahagiaannya secara dinamis dalam waktu tertentu.
Terlebih di era sosial media dan fenomena flexing yang semakin menyebar di lapisan masyarakat, seseorang akan dapat dengan lebih mudah terjebak pada hedonic treadmill. Oleh karena itu penting bagi kita untuk bisa memaknai hidup ini dengan lebih baik dan bijaksana sehingga dapat menghindari fenomena hedonic treadmill tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H