Mohon tunggu...
Sapto Nugroho
Sapto Nugroho Mohon Tunggu... Buruh - ASN

in the middle of ....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memposisikan Kembali Keluarga Tangguh

9 Juli 2020   09:18 Diperbarui: 9 Juli 2020   09:30 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keluarga yg tangguh/tahan banting bukanlah sekelompok orang tangguh yg tinggal serumah.

Keluarga yg tangguh / tahan banting adalah sekelompok orang yg rapuh, yg menyadari kerapuhannya, dan menyadari bhw hanya dgn saling menguatkan satu sama lain, mereka dapat menjadi tangguh kembali.

Dan ini dimulai dari pasangan suami-istri (jika anak sudah dewasa, anak dapat turut berperan).

Keluarga yg tangguh (resilient) hanya dapat dibangun oleh pasangan suami-istri yg bersama-sama memiliki komitmen utk mengembalikan relasi perkawinan mereka setelah dihantam badai, yg menyadari dan menerima kerapuhan diri sendiri dan pasangannya, dan menguatkan satu sama lain, karena meyakini bhw hanya dalam kebersamaanlah mereka dapat melalui ‘badai perkawinan’ yg mereka hadapi.

Jika perkawinan itu diibaratkan perahu dan samudera itu kehidupan, ketika badai datang dan ombak besar menghantam dan mengombang-ambingkan perahu, apakah dgn menghancurkan perahu akan dapat meredakan badai?

Jika terjadi perkawinan Anda dihantam masalah besar, apakah dgn mengakhiri perkawinan, maka masalah akan selesai?

Sebenarnya mana yg ingin Anda akhiri: perkawinannya atau penderitaan Anda dalam perkawinan?

Tidak ada perkawinan atau keluarga yg tidak menghadapi persoalan.

Persoalan dalam hidup dapat membantu kita bertumbuh menjadi pribadi yg makin dewasa dan tangguh.

Demikian pula anak-anak kita.

Tidak mungkin kita memproteksi semua masalah yg datang ke dalam kehidupan anak kita.

Yg perlu kita ajarkan adalah bagaimana seharusnya anak memandang persoalan, memandang kemampuan di dalam dirinya utk menyelesaikan masalah, dan mengambil langkah-langkah nyata utk menyelesaikan persoalan yg dihadapi.

Ada saatnya anak perlu dibantu atau diarahkan, namun seiring berjalannya waktu, kita sbg orangtua perlu mengurangi keterlibatan langsung kita sedikit demi sedikit agar ada ruang bagi anak utk belajar mandiri dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan yg dia hadapi dalam hidupnya.

7 kebiasaan pasangan tangguh (resilient couple)

1. Mereka tidak saling menyalahkan

Menyalahkan orang lain hanya akan menghasilkan sikap defensif atau balas menyalahkan. Tidak membuat situasi menjadi lebih baik, malah makin buruk. Sekecil apapun, jika kita cari, mungkin ada peran kesalahan diri kita juga dari munculnya masalah itu.

2. Mereka dapat menemukan humor dalam situasi yg berat

Tidak mudah melakukan ini. Tapi cara ini dapat menumbuhkan komunikasi yg lebih sehat dan mencairkan suasana shg memungkinkan komunikasi lebih baik dapat terjalin.

3. Mereka mencari bantuan saat membutuhkan (bertindak untuk keluar dari masalah)

Banyak orang hanya meratapi diri saat ada masalah dan memendam sendiri masalahnya. Untuk keluar dari masalah, perlu tindakan nyata. Minta bantuan kepada orang lain dapat membantu kita mendapatkan sudut pandang lain yg berguna dalam menyelesaikan masalah.

4. Mereka tidak menutupi kerapuhannya

Hanya kepada orang terdekat, orang yg kita anggap belahan jiwa kita, kita dapat mengungkap diri kita apa adanya, termasuk kerapuhan kita. Namun pertanyaannya, apakah relasi kita sudah sedekat itu dgn pasangan? Apakah sy sudah menjadikan diri sy belahan jiwa pasangan sy agar dia aman dan nyaman bicara ttg dirinya?

5. Mereka tidak menuntut pasangannya utk bisa membaca pikiran (harus tahu tanpa diberitahu)

Tidak semua orang mpy kepekaan seperti yg kita bayangkan. Mereka perlu kita bantu utk mengenal dan memahami diri kita lebih baik, dgn cara mengkomunikasikan dgn tulus apa adanya apa yg kita pikirkan, rasakan, dan harapkan. Mengkomunikasikan bukanlah menuntut orang tsb mengikuti harapan kita.

6. Mereka punya komitmen utk menyelesaikan masalah (bukan membiarkan masalah)

Menyelesaikan masalah, bukan membiarkan masalah diselesaikan orang lain, adalah bentuk ekspresi tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun relasi dimana masalah itu terjadi.

7. Mereka punya keinginan tulus utk melewati badai (menyelamatkan) perkawinan

Di jaman yg serba instan ini, memperbaiki barang biayanya lebih mahal daripada membeli barang baru yg sama. Jika hal itu diterapkan dalam relasi, maka kita akan terbiasa utk pergi ketika relasi memburuk, dan tidak pernah belajar memperbaiki / menguatkan relasi yg kita miliki. Imbas kebiasaan ini pada relasi perkawinan. Apakah jika bosan dgn pasangan, atau sulit komunikasi dgn pasangan, lalu kita akan cari pasangan baru?

Pertanyaan sekarang, sejauh mana kebiasaan-kebiasaan ini sudah bapak-ibu terapkan dalam memelihara relasi perkawinan?

Sejauhmana Bapak-Ibu ingin anak-anak nantinya tumbuh dan berkembang mjd pribadi yg tangguh dalam relasi yg dia bangun, baik relasi dgn dirinya sendiri, dgn orangtua, dgn teman, maupun dgn pasangan hidupnya kelak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun