Mohon tunggu...
Hb. Sapto Nugroho
Hb. Sapto Nugroho Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup ini adalah Pikink ( Selalu senang dan bersyukur ), sementara tinggal di Tokyo

senang berbagi cerita

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi - Prabowo - Jokowi

10 Juni 2014   17:56 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:25 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi pemenang tidak harus "menjatuhkan" lawannya.  Dengan menunjukan apa yang telah dia perbuatpun sudah cukup untuk menilai siapa yang menang dan kalah.  Bagaiman mungkin bilang "semua orang sama dihadapan hukum", sementara anaknya sendiri diperlakukan secara khusus.  Hal semacam ini tidak perlu dijatuhkan tetapi rakyat sendiri sudah bisa menilainya.  Sekolah Tinggi ternyata tidak menjamin orang untuk berpikir logis, banyak yang memilih calon hanya karena satu alumni ( sangat sayang kalau hanya alasan ini ).

Jokowi dan Jusuf Kalla, telah memberikan teladan dengan apa yang mereka lakukan sewaktu memangku jabatan publik sebagai walikota/gubernur dan sebagai wakil presiden atau jabatan lain. Benar sekali yang dikatakan Jokowi, pemerintah perlu mendengarkan suara rakyat agar bisa membuat sejahtera rakyatnya. Tepat sekali yang dikatakan Jusuf Kala, teladan dari pemimpin dalam masalah hukum sangat penting. Kalau pemimpin tidak taat hukum gimana mungkin mau membuat negara ini negara hukum yang benar.

Tidak salah lagi kalau Jokowi-Jusuf Kalla dipilih sebagai presiden dan wakil.

Catatan Pribadi :

Saya sendiri tadinya tidak tertarik untuk menuliskan semacam ini, akan tetapi dengan banyaknya informasi yang tidak benar maka tergerak juga untuk memberikan suatu pendapat agar kita jangan terlalu terpengaruh. Saya sendiri ingin agar Indonesia kita tetapi damai, tidak terjadi peperangan dan Indonesia adalah negara "Bhinike Tunggal Ika", tidak mungkinlah mau dibentuk negara yang "anti pluralisme". Semoga banyak orang semakin sadar akan hal ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun