Mohon tunggu...
Hb. Sapto Nugroho
Hb. Sapto Nugroho Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup ini adalah Pikink ( Selalu senang dan bersyukur ), sementara tinggal di Tokyo

senang berbagi cerita

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi - Prabowo - Jokowi

10 Juni 2014   17:56 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:25 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1402372512179825641

[caption id="attachment_341578" align="alignnone" width="621" caption="Kampanye Hitam ( http://romokoko.com )"][/caption]

Banyak pasangan keluarga yang "jadi" karena "kesan pertama". Memang kesan pertama tidak ada unsur kebohongan, kesan pertama muncul apa adanya. Sebaliknya "kesan terakhir" bisa sangat bertentangan dengan "kesan pertama" karena masuknya informasi dari kiri kanan yang mencoba mengubah kesan pertama.

Banyak orang melihat kesan pertama Jokowi saat dia menjadi Walikota Solo, dan disusul saat jadi Gubernur Jakarta. Banyak ejekan bahwa dia tidak bisa memimpin Jakarta, tetapi rakyat sudah tahu informasi mana yang bisa dipercaya. Sangat "kuat"nya kesan pertama Jokowi ini menjadi "momok" yang sangat menakutkan pihak yang menjadi saingannya. Cara yang diambil adalah dengan menyebarkan informasi yang bisa mengubah kesan terhadap Jokowi. Yang sangat disayangkan banyak informasi yang disampaikan adalah informasi yang tidak benar, mulai dari masalah agama, keturunan dan lain sebagainya. Sangat tidak menarik lagi saat menyerang ibu dari capres. Dengan cara-cara seperti ini justru tidak menambah nilai dari penyebar informasi dan calon yang didukungnya , justru semakin meyakinkan bahwa "dia melakukan segala cara untuk bisa menang".

Capres hanya dua orang, sehingga betul-betul menjadi dua kutub yang saling mencoba untuk "menjadi pemenang".  Hendaknya jangan memakai cara yang kurang sehat, bahkan ada yang cenderung memberikan informasi palsu untuk menjatuhkan "image" atau penilaian atau kesan pihak lainnya.  Bukan capres sendiri yang membuat "kampanye" hitam itu tetapi para pendukungnya. Kampanye hitam begitu bebasnya bertaburan, bahkan video di youtube pun diedit sendiri sehingga bisa menjatuhkan pihak yang sengaja mau dibuat "kesan jelek".

Metode atau cara-cara ini yang rupanya dilakukan oleh pihak yang pada awalnya "tidak mendapat" simpati dari rakyat. Mereka menyebarkan informasi yang menjatuhkan lawannya, sehingga kesan pertama bisa menjadi luntur dan akhirnya bersamaan berjalannya waktu kesan akhirlah yang menjadi bahan pertimbangan pemilihan.

Ada calon yang sejak dulu memang sudah mempunyai "kesan baik" di hati masyarakat, sehingga jauh-jauh sebelum masa pemilihan presidenpun dia sudah diharapkan menjadi presiden berikutnya.  Berhadapan dengan tokoh yang sudah berkenan di hati rakyat ini, maka satu2 nya metoda lawannya adalah membuat kampanye hitam untuk mencabut "ketertarikan" rakyat terhadap pilihannya.

Rasa ketakutan yang berlebihan dari salah satu kubu bisa membuat "menghalalkan" segala cara atau mencoba dengan berbagai cara untuk menarik pendukung. Tidak perduli lagi dengan tujuan utama untuk membangun negara, tetapi sudah berubah menjadi "yang penting menang".

Sangat tidak masuk akal lagi menjadikan moment pemilihan presiden disamakan dengan "PERANG" dan betul-betul sangat tidak bisa dimengerti memberikan predikat "HARAM" untuk yang memilih salah satu capres yang ada.  Aneh sekali, sampai segitunya cara-cara untuk membuat orang untuk tidak memilih calon yang ditakutkan menang.

Negara Indonesia terdiri dari banyak suku dan pulau dengan berbagai budaya dan bahasa.  Apa maksudnya dengan "melawan pluralisme" ? Pluralisme adalah sesuatu yang ada di Indonesia , makanya ada ungkapan Bhineka Tunggal Ika.  Melawan pluralisme berarti tidak mengakui negara Indonesia dan mau mendirikan negara baru, ya silahkan ke luar aja dari Indonesia.

Saya hanya mau bilang, dari awal banyak orang sudah menginginkan Jokowi menjadi Presiden, yang sudah menentukan memilih Jokowi janganlah berubah, dan yang belum menentukan pilihlah Jokowi karena dia yang benar-benar mau memajukan Indonesia dengan damai, bukan dengan perang atau sentimen perbedaan agama.  Yang saat ini sudah memilih Prabowo, hendaknya berpikir kembali janganlah hanya "terkesima" dengan wajah atau "ketegasan" ( memang negara kita banyak yang menyebut auto pilot, karena serasa tidak ada presiden ).  Jokowi tegas juga ( bukan harus dengan suara keras atau gebrak meja ) tetapi dalam tindakan mengganti pegawai yang kurang tertib, dan sebaliknya mempertahankan yang benar ( lihat kasus camat di Lenteng Agung ). Jokowi juga akan memimpin Indonesia dengan tegas.

Menjadi presiden tidaklah bekerja sendiri, makanya ada wakil presiden dan para mentrinya.  Para mentri yang diangkat bukan dari "bagi jatah" akan bekerja dengan sungguh2. Sebaliknya menteri yang diangkat karena pembagian jatah makan hasilnya sudah bisa kita lihat dijaman SBY, sebagian besar mereka korupsi, bahkan mentri agamapun tersangkut korupsi ( sangat disayangkan ).

Menjadi pemenang tidak harus "menjatuhkan" lawannya.  Dengan menunjukan apa yang telah dia perbuatpun sudah cukup untuk menilai siapa yang menang dan kalah.  Bagaiman mungkin bilang "semua orang sama dihadapan hukum", sementara anaknya sendiri diperlakukan secara khusus.  Hal semacam ini tidak perlu dijatuhkan tetapi rakyat sendiri sudah bisa menilainya.  Sekolah Tinggi ternyata tidak menjamin orang untuk berpikir logis, banyak yang memilih calon hanya karena satu alumni ( sangat sayang kalau hanya alasan ini ).

Jokowi dan Jusuf Kalla, telah memberikan teladan dengan apa yang mereka lakukan sewaktu memangku jabatan publik sebagai walikota/gubernur dan sebagai wakil presiden atau jabatan lain. Benar sekali yang dikatakan Jokowi, pemerintah perlu mendengarkan suara rakyat agar bisa membuat sejahtera rakyatnya. Tepat sekali yang dikatakan Jusuf Kala, teladan dari pemimpin dalam masalah hukum sangat penting. Kalau pemimpin tidak taat hukum gimana mungkin mau membuat negara ini negara hukum yang benar.

Tidak salah lagi kalau Jokowi-Jusuf Kalla dipilih sebagai presiden dan wakil.

Catatan Pribadi :

Saya sendiri tadinya tidak tertarik untuk menuliskan semacam ini, akan tetapi dengan banyaknya informasi yang tidak benar maka tergerak juga untuk memberikan suatu pendapat agar kita jangan terlalu terpengaruh. Saya sendiri ingin agar Indonesia kita tetapi damai, tidak terjadi peperangan dan Indonesia adalah negara "Bhinike Tunggal Ika", tidak mungkinlah mau dibentuk negara yang "anti pluralisme". Semoga banyak orang semakin sadar akan hal ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun