Jogja, kota yang selalu memesona. Tidak hanya bagi yang baru pertama mengunjunginya, bahkan untuk yang telah menetap lama. Banyak hal tentang Jogja yang menarik untuk diketahui. Dan semakin dipelajari, semakin ingin diselami.
Jumat, 21 Februari 2020 kemarin kembali Kompasianer Jogja menyelenggarakan event kelas heritage yang kali ini ingin mengulik tentang titik nol kilometer.
Sebenarnya ini adalah session pengganti, setelah event heritage yang digelar Selasa, 18 Februari lalu gagal terselenggara karena kawasan titik nol kilometer dipenuhi lautan manusia yang ingin melihat dari dekat parade drumband dari AAU sambil menikmati moment Selasa Wagean.
Bagi yang belum tahu, di Jogja setiap hari Selasa Wage diadakan semacam event car free day. Di saat itu, kawasan nol kilometer menjadi semacam surga bagi pejalan kaki untuk menikmati setiap jengkal kawasan nol kilometer dengan merdeka tanpa diganggu lalu lalang kendaraan. Sehingga tidak jarang event ini digunakan oleh berbagai komunitas untuk beraktivitas.
Tentang Titik Nol Kilometer
Bagi masyarakat Jogja pasti sudah tidak asing dengan sebutan titik nol kilometer. Titik nol kilometer adalah sebuah persimpangan yang ada di tengah Kota Yogyakarta yang menjadi favorit wisatawan untuk tempat nongkrong sambil menikmati suasana.
Tepatnya titik nol kilometer berada di persimpangan di depan kantor pos besar Jogja yang ada di Jalan Pangurakan. Lokasinya memang sangat strategis, karena tepat berada di jantung kota Jogja. Pusat segala kegiatan ekonomi dan budaya berlangsung. Berada di depan keraton Jogja, dan dekat dengan kawasan Malioboro serta pasar Beringharjo. Sehingga tidak heran, sudah sejak dulu kawasan ini menjadi kawasan yang istimewa.
Yulia sujarwo selaku  tour guide akan mengulik kawasan nol kilometer dari kaca mata sejarah.
Kali ini saya dan teman-teman dipandu MbakYang Menarik di Titik Nol Kilo Meter
Hal pertama yang langsung terlihat ketika kita berada di kawasan nol kilometer, adalah bangunan-bangunan berarsitektur Belanda yang masih kokoh berdiri. Bangunan-bangunan tersebut memiliki fungsi yang vital di masanya. Seperti :
1. Gedung BI
Dulunya, gedung ini dikenal dengan nama Javasche Bank. Dirancang oleh arsitek bernama Hulswitt dan Cuypers, dan didirikan pada tahun 1879 dengan luas sekitar 300 m2.
Bangunan ini didirikan karena geliat perekonomian di Jogja demikian pesat. Pada saat itu Sultan HB VII yang dikenal sebagai sultan sugih banyak mendirikan pabrik gula. Sehingga perputaran uang di Jogja sangatkah cepat.
Ada sekitar 17 pabrik gula yang didirikan pada masanya. Di samping itu uang kertas sudah mulai dikenal, sehingga tidak mungkin menyimpan uang secara tradisional. Layanan kredit mobil juga bisa dilakukan di bank ini.
Sampai sekarang bangunan ini masih kokoh bediri, namun tidak difungsikan lagi. Hanya sebagai museum atau tempat eksibisi yang dibuka diwaktu-waktu tertentu. Padahal sepertinya asyik bisa membayangkan berkeliling memasuki ruang-ruang di gedung ini.
2. Gedung BNI 46
Dulunya gedung ini adalah kantor Nederlandsch indische Levensverzekeringen en Lijfrente Maatschappij (NILLMIJ).